Tuesday, May 20, 2008
Wajah Kita Setelah Seratus Tahun
Bersetia kepada suatu peristiwa (l’evenement), kata filsuf Prancis Alain Badiou, adalah bergerak dalam situasi yang disodorkan peristiwa tersebut dengan berpikir...[tentang] situasi tersebut sesuai dengan “peristiwa itu”. Dengan demikian, setiap peristiwa dalam untaian sejarah, adalah tempat di mana kita bersandar dan senantiasa menjadikannya landasan untuk bergerak melanjutkan hidup ke masa yang akan datang.
20 Mei 1908 adalah l’evenement, peristiwa yang melahirkan entitas “kita” untuk menggantikan identitas “kami” yang sebelumnya mewakili beragam etnis dan suku bangsa di dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda. Sebagai kejadian politik pada masanya, peristiwa tersebut memutus hubungan dengan sejarah Hindia Belanda sebagai jajahan dan tampil sebagai singularity baru yang menampilkan dirinya sendiri. Peristiwa itu menyeruak sebagai anti-tesis atas apa yang terjadi di dalam struktur kolonial yang berdasarkan apartheid.
Lahirnya entitas kebangsaan menegaskan persamaan nasib; sekaligus keinginan untuk mengubah nasib itu sendiri dan kebutuhan untuk menjadi satu dalam menghadapi kolonialisme yang – acapkali – brutal. Dengan modal itulah kita menekuni zaman dan kembali bertemu dengan l’evenement yang lain: Manifesto Politik 1925, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan pada akhirnya bermuara pada 17 Agustus 1945. Sejak itulah, Indonesia, meminjam konsep Ben Anderson, sebagai sebuah komunitas yang dibayangkan (an imagined community) lahir.
Namun kini, setelah seratus tahun berlalu semenjak Boedi Oetomo berdiri, 80 tahun sejak Sumpah Pemuda 1928 dan 63 tahun setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, siapakah gerangan diri kita? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab sempurna sejak kali pertama Soedjatmoko melontarkannya pada 1957. “Kita” bukanlah sebuah kata usang yang basi ditelan zaman globalisasi. Menjadi “Kita” merupakan hasil permufakatan besar yang diperjuangkan dengan darah dan airmata. Membangun Indonesia, seperti yang diharapkan oleh seluruh rakyat dan pendiri bangsa, adalah mega-proyek yang harus terus menerus dilakukan sampai pada titik di mana keadilan yang pincang tersisa sebagai kisah kadaluwarsa.
Tentu semua mahfum betul, dalam membangun bangsa ini acapkali kita tersandung, jatuh, tapi kemudian bangkit lagi untuk menyongsong masa depan. Kita pernah terjerumus dalam pergolakan politik yang mengorbankan ratusan ribu jiwa seperti yang terjadi pada 1965-1969; nilai persaudaraan kita pernah porak poranda oleh begitu banyaknya pelanggaran kemanusiaan di Aceh sampai Papua; korupsi bersimarajalela dan bencana alam silih berganti meluluhlantakan bumi Indonesia. Dalam hidup ini, seperti kata penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe, “wir tasten ewig ein problem,” tak ada habis-habisnya kita dihadang masalah.
Pada peristiwa seratus tahun kebangkitan nasional sekarang ini, seyogianya kita merumuskan kembali siapa diri kita, untuk tujuan apa kita menjadi bangsa. Kini adalah momentum yang tepat untuk memutus hubungan dengan masa lalu yang kelam. Bukan berarti melupakannya, tapi belajar dari kesalahan sejarah untuk membuka pintu masa depan yang lebih terang. Semoga.
Monday, March 17, 2008
Dua potong kaki dan Usus yang Terburai
Senin pagi ini (17/03/08), saya memutuskan untuk berangkat ngantor pagi-pagi. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan: mulai dari menulis kolom, menyunting tulisan sampai dengan menulis kata pengantar buat buku biografi Mawie Ananta Jonie, penyair yang kini bermukim di Belanda. Semua harus beres hari ini juga.
Bangun tidur pukul 5:00, saya bergegas mandi, buru-buru berkemas dan langsung ngacir pukul 5:30 subuh. Saya tinggal di Cimanggis, Depok. Sebenarnya kalau hari libur dan jalanan tidak macet, hanya dibutuhkan 40 menit saja via jalan tol untuk mencapai kantor saya di Rawamangun, Jakarta Timur. Tapi hari Senin begini jalanan hampir dipastikan macet. Jadi, cara terbaik menghindari kemacetan adalah berangkat pagi.
Ternyata yang punya pikiran sama dengan saya banyak juga. Jalanan ramai. Masuk ke pintu tol Cibubur pun padat merayap oleh mobil. Dalam hati saya memaki-maki sejadi-jadinya. “kurang pagi...harusnya tadi berangkat jam lima. Lain kali tak boleh lambat,” kata saya membatin.
Sekira 20 meter dari pintu masuk tol Cibubur, ada truk air mineral yang mogok di tepi kiri jalan. Ternyata ini penyebab kemacetan pagi itu. Saya lega. Laju mobil kembali lancar. Saya tak lagi memaki-maki karena dugaan berangkat telat tak terbukti. Sepanjang perjalanan saya mendengarkan siaran Indonesia radio Deutsche Welle. Sejak dulu saya memang maniak Jerman: kursus bahasa Jerman walaupun tak tamat dan sempat bercita-cita sekolah ke Jerman walaupun tak pernah kesampaian. Tapi paling tidak kalo ada orang Jerman yang “ngerasani” saya, saya bisa jitak kepalanya karena saya ngarti sedikit-dikit bahasa Jerman.
Siaran Deutsche Welle kali ini memberitakan tentang banyaknya penduduk Laos terkena ranjau darat. Mereka mencari nafkah dengan cara mengumpulkan rongsokan ranjau sisa perang Vietnam. Dalam hati saya berujar, “buset dah...susah amat nyari makan, sampai taruhan nyawa.” Tapi itu kenyataan hidup di belahan negara dunia ketiga, di mana batas mati dan hidup tipis sekali. Bahwa nyawa adalah sesuatu yang harus dipertaruhkan untuk menyambung hidup. Ironis.
Jalanan ternyata lancar. Keputusan saya berangkat pagi sudah tepat. Di pintu tol Cawang/Cililitan sedikit antre. Pada hari kerja, di pintu tol ini macet parah. Sumber kemacetan terdapat di persimpangan tol arah Tanjung Priok dan Grogol (Tol Dalam Kota). Pagi ini jalan sedikit merayap di sana. Saya tak aneh karena memang begitu biasanya. Tapi saya tengok jarak antara mobil tak terlalu rapat. Saya mulai curiga dan bertanya ada apa gerangan di depan?
Benar saja. Pukul 06:15, sekitar 300 meter selepas pintu tol Cawang, arah menuju Rawamangun/ Tanjung Priok, sebelah kanan jalan, saya lihat ada beberapa pecahan benda plastik. “Mungkin mobil tabrakan,” kata saya dalam hati. Saya terus bergerak perlahan. Beberapa meter kemudian, saya melihat ada sobekan baju dan sebuah benda menyerupai helm (belakangan dari detik.com saya ketahui ternyata benda itu adalah topi). Saya mulai bertanya-tanya, kok bisa-bisanya ada pengendara sepeda motor masuk ke jalan tol. Tapi saya sendiri kurang yakin apakah itu helm atau bukan. Yang pasti saya melihat ada kaca pelindung sebagaimana yang terdapat pada helm.
Yang berani masuk tol biasanya Cuma motor voorijder pengawal presiden. Maklum, rumah Presiden SBY ada di Cikeas. Jadi setiap pagi kalo berangkat ngantor dia selalu lewat Tol Jagorawi. Kalaupun itu adlah mayat pengendara motor Voorijder, pasti helmnya warna putih, bukan hitam seperti yang saya temui. Lagipula tak ada motor tergeletak di sana. Sementara itu presiden juga sedang berada di luar negeri untuk mengikuti konferensi OKI, jadi tak mungkin voorijder iseng-iseng lewat jalan tol.
Saya kembali jalan perlahan sambil melihat terus ke sisi kanan jalan. Ada potongan daging dan darah segar yang tercecer. Saya masih menduga-duga, “oh mungkin ada binatang yang ketabrak.” Saya sering temui ada anjing, kucing atau kambing yang ketabrak mobil di jalan tol. Tapi kali ini saya benar-benar terkejut. Saya melihat ada sepotong kaki tanpa tubuh di sana. Berturut-turut saya melihat ada benda menyerupai tempurung kepala dan tulang, lantas beberapa meter kemudian ada potongan kaki lain sebatas betis dan usus yang terburai. Darah...darah...berceceran mewarnai jalan dan trotoar pembatas jalan tol.
Saya mulai pusing. Mual dan lemas. Saya lihat baru ada seorang petugas jalan tol yang berjalan menuju lokasi. Seorang rekannya yang lain tampak berjalan menyusul. Salah seorang di antaranya memegang handy talky, dan terus berkomunikasi. Saya tak kuat melihat semua ini. Perlahan saya terus berjalan sambil istighfar tiada henti. 25 meter dari TKP saya liha ada dua polisi berjalan terburu-buru. Sebuah mobil yang ternyata dikemudikan oleh polisi, juga berhenti menghampir dua rekan seprofesinya itu. Dia tampak kaget.
Otak saya terus berputar, berpikir, dan menduga-duga penyebab tewasnya mayat tadi. Saya menduga manusia malang itu adalah korban tabrak lari. Tapi dugaan saya itu juga meragukan, karena kalau pun dia korban tabrak lari apakah mayatnya sampai sedemikian hacurnya? Ah..saya kembali menduga, mungkin dia korban pembunuhan yang mayatnya dibuang di jalan tol satu atau dua jam sebelum saya melintasinya. Yang jelas saya tak menemukan kepala korban di sana. Mungkin korban mutilasi. Mungkin....mungkin...mungkin...
Hari ini, saya kehilangan mood untuk menulis, terlebih untuk sarapan. Saya berpikir alangkah sedihnya keluarga korban saat mendengar anggotanya meninggal secara mengenaskan. Setibanya di kantor saya mencoba mengetahui apa yang terjadi lewat situs berita detik.com. Berita baru saya akses sekira pukul 07: 42 atau hampir sejam setelah saya melihat mayat itu. Dari keterangan polisi yang saya baca di detik.com, mayat itu bernama Tatang Sulaeman, warga Paledang Kaler, Sukabumi, Jawa Barat.
Di sekitar ruas jalan tol Cawang sering saya temui orang menyebrang sembarangan. Begitu juga di ruas tol Jakarta-Merak, khususnya saat memasuki wilayah Serang. Padahal pengumuman dilarang menyeberang sudah terpasang di mana-mana. Tapi tetap saja orang menyeberang dan kerap terjadi kecelakaan. Di ruas jalan tol Cawang juga sering saya temui pedagang asongan yang hilir mudik menyeberang jalan untuk menjajakan dagangannya. Dari peristiwa ini saya kembali ingat apa yang disiarkan oleh Deutsche Welle beberapa menit sebelum saya melihat mayat tercabik itu: Di Indonesia ini, sebagaimana mereka yang di Laos, nyawa adalah sesuatu yang harus dipertaruhkan untuk menyambung hidup. Sungguh ironis.
Bangun tidur pukul 5:00, saya bergegas mandi, buru-buru berkemas dan langsung ngacir pukul 5:30 subuh. Saya tinggal di Cimanggis, Depok. Sebenarnya kalau hari libur dan jalanan tidak macet, hanya dibutuhkan 40 menit saja via jalan tol untuk mencapai kantor saya di Rawamangun, Jakarta Timur. Tapi hari Senin begini jalanan hampir dipastikan macet. Jadi, cara terbaik menghindari kemacetan adalah berangkat pagi.
Ternyata yang punya pikiran sama dengan saya banyak juga. Jalanan ramai. Masuk ke pintu tol Cibubur pun padat merayap oleh mobil. Dalam hati saya memaki-maki sejadi-jadinya. “kurang pagi...harusnya tadi berangkat jam lima. Lain kali tak boleh lambat,” kata saya membatin.
Sekira 20 meter dari pintu masuk tol Cibubur, ada truk air mineral yang mogok di tepi kiri jalan. Ternyata ini penyebab kemacetan pagi itu. Saya lega. Laju mobil kembali lancar. Saya tak lagi memaki-maki karena dugaan berangkat telat tak terbukti. Sepanjang perjalanan saya mendengarkan siaran Indonesia radio Deutsche Welle. Sejak dulu saya memang maniak Jerman: kursus bahasa Jerman walaupun tak tamat dan sempat bercita-cita sekolah ke Jerman walaupun tak pernah kesampaian. Tapi paling tidak kalo ada orang Jerman yang “ngerasani” saya, saya bisa jitak kepalanya karena saya ngarti sedikit-dikit bahasa Jerman.
Siaran Deutsche Welle kali ini memberitakan tentang banyaknya penduduk Laos terkena ranjau darat. Mereka mencari nafkah dengan cara mengumpulkan rongsokan ranjau sisa perang Vietnam. Dalam hati saya berujar, “buset dah...susah amat nyari makan, sampai taruhan nyawa.” Tapi itu kenyataan hidup di belahan negara dunia ketiga, di mana batas mati dan hidup tipis sekali. Bahwa nyawa adalah sesuatu yang harus dipertaruhkan untuk menyambung hidup. Ironis.
Jalanan ternyata lancar. Keputusan saya berangkat pagi sudah tepat. Di pintu tol Cawang/Cililitan sedikit antre. Pada hari kerja, di pintu tol ini macet parah. Sumber kemacetan terdapat di persimpangan tol arah Tanjung Priok dan Grogol (Tol Dalam Kota). Pagi ini jalan sedikit merayap di sana. Saya tak aneh karena memang begitu biasanya. Tapi saya tengok jarak antara mobil tak terlalu rapat. Saya mulai curiga dan bertanya ada apa gerangan di depan?
Benar saja. Pukul 06:15, sekitar 300 meter selepas pintu tol Cawang, arah menuju Rawamangun/ Tanjung Priok, sebelah kanan jalan, saya lihat ada beberapa pecahan benda plastik. “Mungkin mobil tabrakan,” kata saya dalam hati. Saya terus bergerak perlahan. Beberapa meter kemudian, saya melihat ada sobekan baju dan sebuah benda menyerupai helm (belakangan dari detik.com saya ketahui ternyata benda itu adalah topi). Saya mulai bertanya-tanya, kok bisa-bisanya ada pengendara sepeda motor masuk ke jalan tol. Tapi saya sendiri kurang yakin apakah itu helm atau bukan. Yang pasti saya melihat ada kaca pelindung sebagaimana yang terdapat pada helm.
Yang berani masuk tol biasanya Cuma motor voorijder pengawal presiden. Maklum, rumah Presiden SBY ada di Cikeas. Jadi setiap pagi kalo berangkat ngantor dia selalu lewat Tol Jagorawi. Kalaupun itu adlah mayat pengendara motor Voorijder, pasti helmnya warna putih, bukan hitam seperti yang saya temui. Lagipula tak ada motor tergeletak di sana. Sementara itu presiden juga sedang berada di luar negeri untuk mengikuti konferensi OKI, jadi tak mungkin voorijder iseng-iseng lewat jalan tol.
Saya kembali jalan perlahan sambil melihat terus ke sisi kanan jalan. Ada potongan daging dan darah segar yang tercecer. Saya masih menduga-duga, “oh mungkin ada binatang yang ketabrak.” Saya sering temui ada anjing, kucing atau kambing yang ketabrak mobil di jalan tol. Tapi kali ini saya benar-benar terkejut. Saya melihat ada sepotong kaki tanpa tubuh di sana. Berturut-turut saya melihat ada benda menyerupai tempurung kepala dan tulang, lantas beberapa meter kemudian ada potongan kaki lain sebatas betis dan usus yang terburai. Darah...darah...berceceran mewarnai jalan dan trotoar pembatas jalan tol.
Saya mulai pusing. Mual dan lemas. Saya lihat baru ada seorang petugas jalan tol yang berjalan menuju lokasi. Seorang rekannya yang lain tampak berjalan menyusul. Salah seorang di antaranya memegang handy talky, dan terus berkomunikasi. Saya tak kuat melihat semua ini. Perlahan saya terus berjalan sambil istighfar tiada henti. 25 meter dari TKP saya liha ada dua polisi berjalan terburu-buru. Sebuah mobil yang ternyata dikemudikan oleh polisi, juga berhenti menghampir dua rekan seprofesinya itu. Dia tampak kaget.
Otak saya terus berputar, berpikir, dan menduga-duga penyebab tewasnya mayat tadi. Saya menduga manusia malang itu adalah korban tabrak lari. Tapi dugaan saya itu juga meragukan, karena kalau pun dia korban tabrak lari apakah mayatnya sampai sedemikian hacurnya? Ah..saya kembali menduga, mungkin dia korban pembunuhan yang mayatnya dibuang di jalan tol satu atau dua jam sebelum saya melintasinya. Yang jelas saya tak menemukan kepala korban di sana. Mungkin korban mutilasi. Mungkin....mungkin...mungkin...
Hari ini, saya kehilangan mood untuk menulis, terlebih untuk sarapan. Saya berpikir alangkah sedihnya keluarga korban saat mendengar anggotanya meninggal secara mengenaskan. Setibanya di kantor saya mencoba mengetahui apa yang terjadi lewat situs berita detik.com. Berita baru saya akses sekira pukul 07: 42 atau hampir sejam setelah saya melihat mayat itu. Dari keterangan polisi yang saya baca di detik.com, mayat itu bernama Tatang Sulaeman, warga Paledang Kaler, Sukabumi, Jawa Barat.
Di sekitar ruas jalan tol Cawang sering saya temui orang menyebrang sembarangan. Begitu juga di ruas tol Jakarta-Merak, khususnya saat memasuki wilayah Serang. Padahal pengumuman dilarang menyeberang sudah terpasang di mana-mana. Tapi tetap saja orang menyeberang dan kerap terjadi kecelakaan. Di ruas jalan tol Cawang juga sering saya temui pedagang asongan yang hilir mudik menyeberang jalan untuk menjajakan dagangannya. Dari peristiwa ini saya kembali ingat apa yang disiarkan oleh Deutsche Welle beberapa menit sebelum saya melihat mayat tercabik itu: Di Indonesia ini, sebagaimana mereka yang di Laos, nyawa adalah sesuatu yang harus dipertaruhkan untuk menyambung hidup. Sungguh ironis.
Wednesday, March 12, 2008
Saya dan Joesoef Isak
Lelaki berkacamata tebal itu langsung duduk di atas tempat tidurnya begitu saya datang malam itu (21/02/08). Dia tersenyum seraya menyapa, “ah..kau.... Bung tahu dari siapa saya di sini?”
“Bapak itu wartawan beken, mana mungkin saya tak tahu kalau bapak dirawat di sini,” ujar saya bercanda.
Isak diam sejenak.
“Ah...sekarang saya tahu, pasti kamu tahu dari Asvi, kan? Barusan si Max juga datang tadi,” katanya
Saya cuma tersenyum. Mengiyakan.
Isak betul. Saya tahu kalau dia sakit dan dirawat di RS Tria Dipa dari pesan singkat yang dikirim oleh Asvi Warman Adam. Asvi adalah sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dia alumnus Ecole des Hautes Etudes Science en Sociales (EHESS), Sorbone, Prancis. Asvi menulis disertasi tentang hubungan dagang Indochina dengan Hindia Belanda di bawah bimbingan mahaguru sejarah Prof Dennys Lombard. Saya pernah jadi asisten Asvi ketika ia menulis biografi pendiri LIPI, Prof Dr Sarwono Prawirohardjo.
Sedangkan Max adalah Max Lane, penerjemah karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Max adalah Indonesianis yang mengajar di University of Sydney, Australia. Kini dia bekerja sebagai fellow research di Department of Malay Studies, National University of Singapore. Max sahabat diskusi saya tentang berbagai persoalan di Indonesia. Faiza Mardzoeki, penulis lakon Nyai Ontosoroh yang pernah dipentaskan di Jakarta beberapa waktu lalu, adalah istri Max. Buku Max yang terbaru adalah Bangsa yang Belum Selesai, diterbitkan tahun lalu oleh Reform Institute.
Joesoef Isak dirawat di RS Tria Dipa karena gangguan pernapasan. Ceritanya bermula ketika dia terlalu bernafsu mengedit biografi Zhou Enlai karya Han Suyin. Paling tidak itu yang dia ceritakan pada saat saya ketika menjenguknya di Tria Dipa. Isak memang gila kerja. Pada usia berkepala tujuh dia masih sanggup menyunting buku setebal 487 halaman itu. Dia lantas merasakan kelelahan yang teramat sangat. Sempat beberapa hari dirawat di RS Ongko Mulyo, Jakarta Timur. Ia tak betah dan minta pulang. Berobat jalan.
Dalam kata pengantar yang ia tulis, tampak kalau Isak mengidolakan Zhou Enlai, Perdana Menteri RRT yang sempat dijuluki sebagai penjilat Mao Dzedong. Buat Isak Zhou adalah politikus ulung yang punya pendirian dan teguh untuk memajukan China. Buatnya, baik Mao, Zhou Enlai maupun Bung Karno adalah tokoh sejarah panutan yang punya sikap di dalam menghadapi dominasi politik-ekonomi Barat.
Isak perokok berat. Operasi by pass jantung tak membuatnya berhenti merokok. Dia merokok seperti kereta bumel dan bisa menghabiskan dua bungkus rokok kretek filter Djarum Super dalam sehari. Nyambung terus tanpa jeda. Terlebih pada saat ngobrol soal sejarah atau pada saat bekerja. Kawan saya Garda Sembiring bercerita kalau datang bertamu ke rumah Isak dan diajak ke ruang kerjanya untuk adu bako, artinya dia cocok pada si tamu. Itulah yang agaknya terjadi pada saya. Kali pertama berkunjung ke rumahnya di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Pak Joesoef mengajak saya masuk ke ruangan kerjanya. Dan...jreeengg.....dia mulai membagi-bagi kisah hidupnya yang berliku, kaya akan pengalaman. Di sela-sela bercerita, tentu saja, asap rokok keluar berkepul-kepul dari mulutnya yang terus saja bersemangat berkisah tentang Indonesia di masa lalu. Tak terasa sore menjelang.
Garda Sembiring ialah aktivis. Dia pernah dijatuhi vonis 12 tahun penjara atas tuduhan melakukan percobaan makar dalam peristiwa 27 Juli 1996. Hukumannya setahun lebih ringan dari Ketua PRD Budiman Sudjatmiko. Bersama aktivis mahasiswa lainnya, Garda mendekam di Penjara Cipinang selama kurang lebih empat tahun. Dia bebas pada 1999 setelah Soeharto terjungkal dari kursi kekuasaan.
Suatu kali pernah saya mengajak serta seorang reporter muda untuk ikut berkenalan dengan tokoh pers ini. Devi, reporter muda itu, sempat terkesima melihat berbagai plakat penghargaan yang ada di ruang tamu, salah satunya pemberian Pemerintah Prancis, Chavalier de l’arts et des lettres (Pejuang Sastra dan Kesenian). Seperti biasa, kami lantas diajak ke ruangan kerjanya. Di sana kami mengobrol sekaligus mewawancarai Isak. Apa yang terjadi? Devi kelenger sempoyongan menghirup asap rokok Djarum yang terus berkepul-kepul di ruangan kerja berukuran 4 x 3 meter persegi itu.
Kalau sudah bekerja di depan komputer Isak lupa sering waktu. Tak jarang baru tidur setelah jarum jam menunjuk ke angka dua atau tiga dini hari. Karuan gaya hidup seperti itu membuat kondisi kesehatan Isak drop kembali. Tapi dia tak kehabisan akal. Isak membeli jamu sachet seharga tiga ribu rupiah. Dia minum dua kali. Hasilnya tokcer. “Tiga hari saya nggak lagi sesak nafas. Ringan semua badan saya,” katanya.
“Sembuh dong, pak?” tanya saya.
“Apaan sembuh? Saya berak darah. Saya tak pernah merasakan sesak nafas sehebat itu. Hemoglobin saya drop sampai enam. Hasilnya ya ini, saya dirawat lagi..hahaha,” ujarnya terkekeh.
Hemoglobin normal buat pria berkisar 13,8 – 17,2 gm/dl. Bisa dibayangkan betapa parahnya kondisi Isak saat itu. Banyak jamu palsu beredar di pasaran menggunakan bahan kimia yang dicampur dengan bahan-bahan alami lainnya supaya tampak seperti jamu betulan. Beberapa tahun lalu pemerintah pernah menyita dan merazia jamu palsu yang beredar pasar. Tapi rupanya produsen jamu palsu itu tak jera untuk memasarkan jamu asli tapi palsu itu kepada masyarakat. Dan Isak jadi korbannya kali ini.
Joesoef Isak adalah wartawan senior. Dia lahir Kampung Ketapang, Jakarta Pusat pada 1928. Ayahnya bekerja di kantor telegraf milik Inggris di Jakarta. Isak memulai pekerjaannya sebagai wartawan di Berita Indonesia, surat kabar republikein pertama yang didirikan oleh beberapa tokoh pers nasional, antara lain S Tahsin. Pada 1949 BM Diah membeli Berita Indonesia dan menggabungkannya dengan koran Merdeka yang didirikannya pada 1 Oktober 1945. Otomatis Isak pun jadi wartawan koran Merdeka dan merintis karier di sana hingga mencapai posisi Pemimpin Redaksi. Pada zamannya, Isak orang besar dan berpengaruh. Dia aktif dalam berbagai organisasi profesi kewartawanan baik di dalam dan di luar negeri, mulai dari ketua PWI Jakarta sampai dengan Sekjen Persatuan Wartawan Asia afrika (PWAA).
Pada 1965 terjadi peristiwa G.30.S. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh berada di belakang kejadian yang menelan korban enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat (AD). Kampanye di koran-koran yang berafiliasi pada AD membangkitkan histeria massa. Di mana-mana anggota dan simpatisan PKI dikejar-kejar, ditangkap, dianiaya dan dibunuh semena-mena, seolah nyawa tujuh orang tentara baru impas tertebus oleh nyawa ratusan ribu bahkan jutaan kaum kiri di Indonesia yang tak bersalah. Isak termasuk mereka yang harus mengalami penahanan paksa tanpa pengadilan.
Pada kurun tahun 1965 – 1967 Isak harus bolak-balik memenuhi panggilan aparat militer untuk diinterogasi. Pada 1967 ia dipenjarakan di Salemba tanpa bukti dan pengadilan apapun. Sekeluarnya dari penjara Salemba, bersama dengan Pramoedya Ananta Toer dan Hasyim Rahman dia mendirikan penerbita Hasta Mitra pada April 1980. Buku pertama yang diterbitkan Hasta Mitra adalah Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam jangka waktu dua minggu buku itu ludes terjual. Tapi agaknya berita gembira itu tak menyenangkan buat pemerintah Orde Baru. Pada 29 Mei 1981 Kejaksaan Agung RI melarang karya maestro sastra Indonesia itu beredar.
Secara tak sadar, melalui keputusan pelarangan itu, Kejaksaan Agung telah menjadi “promotor” yang baik bagi buku Tetralogi Buru. Semakin dilarang, semakin dicari oleh masyarakat. Di kalangan mahasiswa pergerakan, Tetralogi Buru diedarkan secara klandestin, kendati beresiko dibui, seperti yang dilakukan oleh Bonar Tigor Naipospos, mahasiswa-cum-aktivis UGM yang tertangkap oleh aparat militer dengan tuduhan mengedarkan buku terlarang. Verdi, anak tertua Joesoef Isak pun kena getahnya, dia dikeluarkan dari Universitas Indonesia gara-gara mengundang Pramoedya Ananta Toer diskusi di kampusnya.
Karya Pramoedya Ananta Toer ternyata mengundang minat Max Lane, pria Australia yang saat itu bekerja sebagai staff konsul dagang di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Perlahan karya Pramoedya mulai dikenal luas publik internasional, dan berantai diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Isak tak pernah kapok menerbitkan karya-karya Pramoedya. Begitu dilarang, ia menerbitkan serial lain Tetralogi Buru. Seketika pula Kejaksaan Agung memanggil lagi Isak untuk dimintai keterangan. Dalam sebuah interogasinya di Kejaksaan Agung dia ditanya tentang tanggungjawabnya sebagai penerbit “buku sastra marxis” karya Pramoedya Ananta Toer. Isak bertanya balik kepada jaksa itu apakah dia dapat menunjukkan satu kalimat saja yang mengandung “sastra Marxis”? “Saya tak bisa menunjukkan secara pasti yang mana, tapi saya bisa merasakannya,” kata jaksa itu. Bayangkan, buku setebal empat ratus halaman itu bisa dipahami hanya dengan dirasakan!
Itulah yang membuat Isak kesal. Ia mengatakan hal itu sebagai sebuah kedunguan. Cerita itu pula yang dikisahkannya pada berbagai forum, seperti di saat ia berceramah di Universitas Fordham, New York pada 1999 dan pada “Hari Sastra Indonesia” di Paris pada Oktober 2004. Ceramah itu lantas dikutip oleh Bersihar Lubis dalam artikel opininya, Kisah Interogator Dungu, di Koran Tempo edisi 17 Maret 2007. Wartawan senior itu prihatin dengan keputusan Kejaksaan Agung No. 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 yang melarang peredaran 13 buku sejarah sekolah yang tak mencantumkan nama PKI sebagai dalang G.30.S.
Bersihar melihat ada benang merah yang tersambung antara kasus yang pernah dihadapi oleh Joesoef Isak dengan apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung saat melarang buku peredaran sejarah. Kejaksaan Agung tak begitu saja terima dengan tulisan Bersihar. Beberapa jaksa dari Kejaksaan Negeri Depok lantas melaporkan kasus penghinaan institusi negara kepada Polres Depok. Kasus ini berujung pada pengadilan Bersihar Lubis atas tuduhan melanggar pasal 207 KUHP.
Joesoef Isak sempat dihadirkan sebagai saksi. Dalam persidangan itu ia mengatakan tak secara persis mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Bersihar Lubis di Koran Tempo. Bersihar kemudian menunjukan kata “idiocy” yang ada dalam makalah Isak di Universitas Fordham, dari situ ia mengutipnya.
Bagi saya, kata “dungu” yang terlontar dari mulut Isak bisa dipahami dan memang punya alasan kuat. Isak pernah dipenjara selama bertahun-tahun tanpa diadili oleh Orde Baru. Ketika sudah bebas, ia kembali berurusan dengan penguasa, dalam hal ini Kejaksaan Agung yang melarang buku-buku yang diterbitkannya. Pada saat itu pula dia dipaksa mengakui bahwa novel Bumi Manusia mengandung “sastra marxisme”, lebih-lebih tuduhan itu didasarkan oleh “perasaan” saja. Isak cuma manusia biasa, yang amat mungkin jadi emosional dan melontarkan cercaan kepada jaksa. Tapi sebandingkah cercaan itu dengan apa yang dialami oleh Isak: dipenjara 10 tahun; tanpa cukup makan; mendapat stigma buruk; dan dijadikan warga negara kelas kambing oleh rezim Orde Baru?
Sekira Januari 2007, saya pernah mendengar langsung kisah interogasi itu dari Isak. Ia memang terlihat marah. Dan kata dungu itu terlontar begitu saja, melambangkan betapa sebalnya dia kepada Kejaksaan Agung. Tentu saja waktu itu saya tak sadar kalau di kemudian hari cerita ini jadi perkara yang melibatkan rekan seprofesi saya, Bersihar Lubis.
Pada 12 Januari 2008, ketika dalam perjalanan menuju Banten, saya ditelpon oleh Bersihar Lubis. Dia menanyakan apakah saya bersedia menjadi saksi yang meringankan dirinya dalam persidangan yang bakal digelar pada 17 Januari. Saya jawab: siap. Selain saya, Bersihar menghadirkan dua saksi lainnya, yakni Direktur Utama PT Tempo Inti Media Bambang Harimurti dan Pemred Koran Tempo S Malela Mahargasarie. Saya dihadirkan dengan pertimbangan pernah menulis hal yang sama dengan apa yang pernah ditulis oleh Bersihar di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007. Saya menulis artikel Tragika Sejarah dan Libido Kekuasaan untuk koran Jurnal Nasional, 18 November 2007.
Dalam sidang saya memberi kesaksian bahwa apa yang dikutip oleh Bersihar itu benar adanya. Dan saya sendiri pernah mendengar langsung dari Isak bahwa dia mengatakan sebagaimana apa yang dikutip oleh Bersihar Lubis dalam tulisannya di Koran Tempo. Tapi buat saya, demikian kata saya kepada majelis hakim, itu tidak penting. Yang harus dipersoalkan adalah pelarangan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung. Persoalan buku sejarah adalah wacana akademik, bukan politik. Penulisan sejarah tak boleh diintervensi oleh kekuasaan, apalagi digunakan untuk melegitimasi kekuasaan sebuah rezim, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Saya sendiri melihat ada ketidakberesan dalam sidang itu. Paling tidak dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh jaksa kepada saya. “Saudara saksi mengatakan bekerja sebagai redaktur di Jurnal Nasional, apakah jabatan Anda di sana?,” tanya Jaksa Tikyono pada saya. Pertanyaan itu tak saya jawab, karena bingung harus jawab apa. Tampak kalau jaksa tak menguasai perkara yang ditanganinya; paling tidak semestinya dia memahami seluk beluk dunia jurnalisitik: bahwa redaktur itu adalah jabatan dalam sebuah media massa.
Bersihar Lubis akhirnya divonis bersalah oleh majelis hakim PN Depok pada 20 Februari 2008. Dia dihukum satu bulan penjara dengan tiga bulan masa percobaan. Bagi saya ini sebuah keputusan yang menciderai rasa keadilan. Seharusnya hakim dan jaksa merujuk kepada UU Pokok Pers No 40/1999 bukan KUHP dan pihak Kejaksaan Agung semestinya menggunakan hak jawab untuk menyangkal argumen Bersihar Lubis dalam tulisannya.
Proses pengadilan itu juga saya ceritakan pada Joesoef Isak ketika saya menjenguknya. Lagi-lagi dia menceritakan pada saya tentang apa yang dialaminya selama interogasi dengan Kejaksaan Agung tahun 1982 yang lampau. Seperti biasa, Isak selalu bersemangat.
Buat saya, Joesoef Isak orang hebat, kaliber internasional. Dia adalah wartawan yang tak patah semangat, tiada peduli sepatu lars kekuasaan Orde Baru pernah menginjak-injak haknya sebagai manusia merdeka. Satu hal yang selalu saya ingat kalau sedang mampir ke rumahnya, ia selalu memberi wejangan yang bernada provokasi kepada saya, “Bung harus terus berlawan!” kata dia bersemangat sambil mengepulkan asap rokoknya.
Baik, Pak Joesoef, saya akan terus berlawan! Semoga lekas sembuh.
“Bapak itu wartawan beken, mana mungkin saya tak tahu kalau bapak dirawat di sini,” ujar saya bercanda.
Isak diam sejenak.
“Ah...sekarang saya tahu, pasti kamu tahu dari Asvi, kan? Barusan si Max juga datang tadi,” katanya
Saya cuma tersenyum. Mengiyakan.
Isak betul. Saya tahu kalau dia sakit dan dirawat di RS Tria Dipa dari pesan singkat yang dikirim oleh Asvi Warman Adam. Asvi adalah sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dia alumnus Ecole des Hautes Etudes Science en Sociales (EHESS), Sorbone, Prancis. Asvi menulis disertasi tentang hubungan dagang Indochina dengan Hindia Belanda di bawah bimbingan mahaguru sejarah Prof Dennys Lombard. Saya pernah jadi asisten Asvi ketika ia menulis biografi pendiri LIPI, Prof Dr Sarwono Prawirohardjo.
Sedangkan Max adalah Max Lane, penerjemah karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Max adalah Indonesianis yang mengajar di University of Sydney, Australia. Kini dia bekerja sebagai fellow research di Department of Malay Studies, National University of Singapore. Max sahabat diskusi saya tentang berbagai persoalan di Indonesia. Faiza Mardzoeki, penulis lakon Nyai Ontosoroh yang pernah dipentaskan di Jakarta beberapa waktu lalu, adalah istri Max. Buku Max yang terbaru adalah Bangsa yang Belum Selesai, diterbitkan tahun lalu oleh Reform Institute.
Joesoef Isak dirawat di RS Tria Dipa karena gangguan pernapasan. Ceritanya bermula ketika dia terlalu bernafsu mengedit biografi Zhou Enlai karya Han Suyin. Paling tidak itu yang dia ceritakan pada saat saya ketika menjenguknya di Tria Dipa. Isak memang gila kerja. Pada usia berkepala tujuh dia masih sanggup menyunting buku setebal 487 halaman itu. Dia lantas merasakan kelelahan yang teramat sangat. Sempat beberapa hari dirawat di RS Ongko Mulyo, Jakarta Timur. Ia tak betah dan minta pulang. Berobat jalan.
Dalam kata pengantar yang ia tulis, tampak kalau Isak mengidolakan Zhou Enlai, Perdana Menteri RRT yang sempat dijuluki sebagai penjilat Mao Dzedong. Buat Isak Zhou adalah politikus ulung yang punya pendirian dan teguh untuk memajukan China. Buatnya, baik Mao, Zhou Enlai maupun Bung Karno adalah tokoh sejarah panutan yang punya sikap di dalam menghadapi dominasi politik-ekonomi Barat.
Isak perokok berat. Operasi by pass jantung tak membuatnya berhenti merokok. Dia merokok seperti kereta bumel dan bisa menghabiskan dua bungkus rokok kretek filter Djarum Super dalam sehari. Nyambung terus tanpa jeda. Terlebih pada saat ngobrol soal sejarah atau pada saat bekerja. Kawan saya Garda Sembiring bercerita kalau datang bertamu ke rumah Isak dan diajak ke ruang kerjanya untuk adu bako, artinya dia cocok pada si tamu. Itulah yang agaknya terjadi pada saya. Kali pertama berkunjung ke rumahnya di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Pak Joesoef mengajak saya masuk ke ruangan kerjanya. Dan...jreeengg.....dia mulai membagi-bagi kisah hidupnya yang berliku, kaya akan pengalaman. Di sela-sela bercerita, tentu saja, asap rokok keluar berkepul-kepul dari mulutnya yang terus saja bersemangat berkisah tentang Indonesia di masa lalu. Tak terasa sore menjelang.
Garda Sembiring ialah aktivis. Dia pernah dijatuhi vonis 12 tahun penjara atas tuduhan melakukan percobaan makar dalam peristiwa 27 Juli 1996. Hukumannya setahun lebih ringan dari Ketua PRD Budiman Sudjatmiko. Bersama aktivis mahasiswa lainnya, Garda mendekam di Penjara Cipinang selama kurang lebih empat tahun. Dia bebas pada 1999 setelah Soeharto terjungkal dari kursi kekuasaan.
Suatu kali pernah saya mengajak serta seorang reporter muda untuk ikut berkenalan dengan tokoh pers ini. Devi, reporter muda itu, sempat terkesima melihat berbagai plakat penghargaan yang ada di ruang tamu, salah satunya pemberian Pemerintah Prancis, Chavalier de l’arts et des lettres (Pejuang Sastra dan Kesenian). Seperti biasa, kami lantas diajak ke ruangan kerjanya. Di sana kami mengobrol sekaligus mewawancarai Isak. Apa yang terjadi? Devi kelenger sempoyongan menghirup asap rokok Djarum yang terus berkepul-kepul di ruangan kerja berukuran 4 x 3 meter persegi itu.
Kalau sudah bekerja di depan komputer Isak lupa sering waktu. Tak jarang baru tidur setelah jarum jam menunjuk ke angka dua atau tiga dini hari. Karuan gaya hidup seperti itu membuat kondisi kesehatan Isak drop kembali. Tapi dia tak kehabisan akal. Isak membeli jamu sachet seharga tiga ribu rupiah. Dia minum dua kali. Hasilnya tokcer. “Tiga hari saya nggak lagi sesak nafas. Ringan semua badan saya,” katanya.
“Sembuh dong, pak?” tanya saya.
“Apaan sembuh? Saya berak darah. Saya tak pernah merasakan sesak nafas sehebat itu. Hemoglobin saya drop sampai enam. Hasilnya ya ini, saya dirawat lagi..hahaha,” ujarnya terkekeh.
Hemoglobin normal buat pria berkisar 13,8 – 17,2 gm/dl. Bisa dibayangkan betapa parahnya kondisi Isak saat itu. Banyak jamu palsu beredar di pasaran menggunakan bahan kimia yang dicampur dengan bahan-bahan alami lainnya supaya tampak seperti jamu betulan. Beberapa tahun lalu pemerintah pernah menyita dan merazia jamu palsu yang beredar pasar. Tapi rupanya produsen jamu palsu itu tak jera untuk memasarkan jamu asli tapi palsu itu kepada masyarakat. Dan Isak jadi korbannya kali ini.
Joesoef Isak adalah wartawan senior. Dia lahir Kampung Ketapang, Jakarta Pusat pada 1928. Ayahnya bekerja di kantor telegraf milik Inggris di Jakarta. Isak memulai pekerjaannya sebagai wartawan di Berita Indonesia, surat kabar republikein pertama yang didirikan oleh beberapa tokoh pers nasional, antara lain S Tahsin. Pada 1949 BM Diah membeli Berita Indonesia dan menggabungkannya dengan koran Merdeka yang didirikannya pada 1 Oktober 1945. Otomatis Isak pun jadi wartawan koran Merdeka dan merintis karier di sana hingga mencapai posisi Pemimpin Redaksi. Pada zamannya, Isak orang besar dan berpengaruh. Dia aktif dalam berbagai organisasi profesi kewartawanan baik di dalam dan di luar negeri, mulai dari ketua PWI Jakarta sampai dengan Sekjen Persatuan Wartawan Asia afrika (PWAA).
Pada 1965 terjadi peristiwa G.30.S. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh berada di belakang kejadian yang menelan korban enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat (AD). Kampanye di koran-koran yang berafiliasi pada AD membangkitkan histeria massa. Di mana-mana anggota dan simpatisan PKI dikejar-kejar, ditangkap, dianiaya dan dibunuh semena-mena, seolah nyawa tujuh orang tentara baru impas tertebus oleh nyawa ratusan ribu bahkan jutaan kaum kiri di Indonesia yang tak bersalah. Isak termasuk mereka yang harus mengalami penahanan paksa tanpa pengadilan.
Pada kurun tahun 1965 – 1967 Isak harus bolak-balik memenuhi panggilan aparat militer untuk diinterogasi. Pada 1967 ia dipenjarakan di Salemba tanpa bukti dan pengadilan apapun. Sekeluarnya dari penjara Salemba, bersama dengan Pramoedya Ananta Toer dan Hasyim Rahman dia mendirikan penerbita Hasta Mitra pada April 1980. Buku pertama yang diterbitkan Hasta Mitra adalah Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam jangka waktu dua minggu buku itu ludes terjual. Tapi agaknya berita gembira itu tak menyenangkan buat pemerintah Orde Baru. Pada 29 Mei 1981 Kejaksaan Agung RI melarang karya maestro sastra Indonesia itu beredar.
Secara tak sadar, melalui keputusan pelarangan itu, Kejaksaan Agung telah menjadi “promotor” yang baik bagi buku Tetralogi Buru. Semakin dilarang, semakin dicari oleh masyarakat. Di kalangan mahasiswa pergerakan, Tetralogi Buru diedarkan secara klandestin, kendati beresiko dibui, seperti yang dilakukan oleh Bonar Tigor Naipospos, mahasiswa-cum-aktivis UGM yang tertangkap oleh aparat militer dengan tuduhan mengedarkan buku terlarang. Verdi, anak tertua Joesoef Isak pun kena getahnya, dia dikeluarkan dari Universitas Indonesia gara-gara mengundang Pramoedya Ananta Toer diskusi di kampusnya.
Karya Pramoedya Ananta Toer ternyata mengundang minat Max Lane, pria Australia yang saat itu bekerja sebagai staff konsul dagang di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Perlahan karya Pramoedya mulai dikenal luas publik internasional, dan berantai diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Isak tak pernah kapok menerbitkan karya-karya Pramoedya. Begitu dilarang, ia menerbitkan serial lain Tetralogi Buru. Seketika pula Kejaksaan Agung memanggil lagi Isak untuk dimintai keterangan. Dalam sebuah interogasinya di Kejaksaan Agung dia ditanya tentang tanggungjawabnya sebagai penerbit “buku sastra marxis” karya Pramoedya Ananta Toer. Isak bertanya balik kepada jaksa itu apakah dia dapat menunjukkan satu kalimat saja yang mengandung “sastra Marxis”? “Saya tak bisa menunjukkan secara pasti yang mana, tapi saya bisa merasakannya,” kata jaksa itu. Bayangkan, buku setebal empat ratus halaman itu bisa dipahami hanya dengan dirasakan!
Itulah yang membuat Isak kesal. Ia mengatakan hal itu sebagai sebuah kedunguan. Cerita itu pula yang dikisahkannya pada berbagai forum, seperti di saat ia berceramah di Universitas Fordham, New York pada 1999 dan pada “Hari Sastra Indonesia” di Paris pada Oktober 2004. Ceramah itu lantas dikutip oleh Bersihar Lubis dalam artikel opininya, Kisah Interogator Dungu, di Koran Tempo edisi 17 Maret 2007. Wartawan senior itu prihatin dengan keputusan Kejaksaan Agung No. 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 yang melarang peredaran 13 buku sejarah sekolah yang tak mencantumkan nama PKI sebagai dalang G.30.S.
Bersihar melihat ada benang merah yang tersambung antara kasus yang pernah dihadapi oleh Joesoef Isak dengan apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung saat melarang buku peredaran sejarah. Kejaksaan Agung tak begitu saja terima dengan tulisan Bersihar. Beberapa jaksa dari Kejaksaan Negeri Depok lantas melaporkan kasus penghinaan institusi negara kepada Polres Depok. Kasus ini berujung pada pengadilan Bersihar Lubis atas tuduhan melanggar pasal 207 KUHP.
Joesoef Isak sempat dihadirkan sebagai saksi. Dalam persidangan itu ia mengatakan tak secara persis mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Bersihar Lubis di Koran Tempo. Bersihar kemudian menunjukan kata “idiocy” yang ada dalam makalah Isak di Universitas Fordham, dari situ ia mengutipnya.
Bagi saya, kata “dungu” yang terlontar dari mulut Isak bisa dipahami dan memang punya alasan kuat. Isak pernah dipenjara selama bertahun-tahun tanpa diadili oleh Orde Baru. Ketika sudah bebas, ia kembali berurusan dengan penguasa, dalam hal ini Kejaksaan Agung yang melarang buku-buku yang diterbitkannya. Pada saat itu pula dia dipaksa mengakui bahwa novel Bumi Manusia mengandung “sastra marxisme”, lebih-lebih tuduhan itu didasarkan oleh “perasaan” saja. Isak cuma manusia biasa, yang amat mungkin jadi emosional dan melontarkan cercaan kepada jaksa. Tapi sebandingkah cercaan itu dengan apa yang dialami oleh Isak: dipenjara 10 tahun; tanpa cukup makan; mendapat stigma buruk; dan dijadikan warga negara kelas kambing oleh rezim Orde Baru?
Sekira Januari 2007, saya pernah mendengar langsung kisah interogasi itu dari Isak. Ia memang terlihat marah. Dan kata dungu itu terlontar begitu saja, melambangkan betapa sebalnya dia kepada Kejaksaan Agung. Tentu saja waktu itu saya tak sadar kalau di kemudian hari cerita ini jadi perkara yang melibatkan rekan seprofesi saya, Bersihar Lubis.
Pada 12 Januari 2008, ketika dalam perjalanan menuju Banten, saya ditelpon oleh Bersihar Lubis. Dia menanyakan apakah saya bersedia menjadi saksi yang meringankan dirinya dalam persidangan yang bakal digelar pada 17 Januari. Saya jawab: siap. Selain saya, Bersihar menghadirkan dua saksi lainnya, yakni Direktur Utama PT Tempo Inti Media Bambang Harimurti dan Pemred Koran Tempo S Malela Mahargasarie. Saya dihadirkan dengan pertimbangan pernah menulis hal yang sama dengan apa yang pernah ditulis oleh Bersihar di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007. Saya menulis artikel Tragika Sejarah dan Libido Kekuasaan untuk koran Jurnal Nasional, 18 November 2007.
Dalam sidang saya memberi kesaksian bahwa apa yang dikutip oleh Bersihar itu benar adanya. Dan saya sendiri pernah mendengar langsung dari Isak bahwa dia mengatakan sebagaimana apa yang dikutip oleh Bersihar Lubis dalam tulisannya di Koran Tempo. Tapi buat saya, demikian kata saya kepada majelis hakim, itu tidak penting. Yang harus dipersoalkan adalah pelarangan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung. Persoalan buku sejarah adalah wacana akademik, bukan politik. Penulisan sejarah tak boleh diintervensi oleh kekuasaan, apalagi digunakan untuk melegitimasi kekuasaan sebuah rezim, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Saya sendiri melihat ada ketidakberesan dalam sidang itu. Paling tidak dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh jaksa kepada saya. “Saudara saksi mengatakan bekerja sebagai redaktur di Jurnal Nasional, apakah jabatan Anda di sana?,” tanya Jaksa Tikyono pada saya. Pertanyaan itu tak saya jawab, karena bingung harus jawab apa. Tampak kalau jaksa tak menguasai perkara yang ditanganinya; paling tidak semestinya dia memahami seluk beluk dunia jurnalisitik: bahwa redaktur itu adalah jabatan dalam sebuah media massa.
Bersihar Lubis akhirnya divonis bersalah oleh majelis hakim PN Depok pada 20 Februari 2008. Dia dihukum satu bulan penjara dengan tiga bulan masa percobaan. Bagi saya ini sebuah keputusan yang menciderai rasa keadilan. Seharusnya hakim dan jaksa merujuk kepada UU Pokok Pers No 40/1999 bukan KUHP dan pihak Kejaksaan Agung semestinya menggunakan hak jawab untuk menyangkal argumen Bersihar Lubis dalam tulisannya.
Proses pengadilan itu juga saya ceritakan pada Joesoef Isak ketika saya menjenguknya. Lagi-lagi dia menceritakan pada saya tentang apa yang dialaminya selama interogasi dengan Kejaksaan Agung tahun 1982 yang lampau. Seperti biasa, Isak selalu bersemangat.
Buat saya, Joesoef Isak orang hebat, kaliber internasional. Dia adalah wartawan yang tak patah semangat, tiada peduli sepatu lars kekuasaan Orde Baru pernah menginjak-injak haknya sebagai manusia merdeka. Satu hal yang selalu saya ingat kalau sedang mampir ke rumahnya, ia selalu memberi wejangan yang bernada provokasi kepada saya, “Bung harus terus berlawan!” kata dia bersemangat sambil mengepulkan asap rokoknya.
Baik, Pak Joesoef, saya akan terus berlawan! Semoga lekas sembuh.
Persatean, Persotoan, Persatuan
Belakangan ini kita dibikin senewen oleh berita klaim sepihak atas kekayaan budaya Indonesia oleh negeri tetangga. Lagu rasa sayange sampai dengan congklak kini telah diakui sebagai milik negeri jiran, seketika pula kita jadi latah, buru-buru mengiventarisir semua aset warisan budaya bangsa. Getir memang, terlebih ketika kita baru tersadar belakangan tentang hal yang selama ini tak kita anggap sebagai penting.
Tapi bagaimana jadinya kalau bangsa China menuntut atas budaya kuliner mereka yang telah jadi bagian kehidupan kita sehari-hari? Alamaak, bisa pusing hidup ini tanpa kwetiau, capcay, soto, sate, bakso di meja makan kita. Kalau Anda jalan-jalan ke berbagai belahan dunia, kita dapat dengan mudah menemukan makanan China. Soal rasa jangan ditanyakan lagi, pasti cocok dengan lidah melayu.
Tapi satu hal yang tak pernah ditanyakan oleh kita sejak kapan gerangan berbagai jenis makanan itu masuk dan diterima di kalangan masyarakat kita? Sebuah pertanyaan yang tak pernah muncul karena biasanya kita langsung main santap zonder pikir panjang lagi.
Soto, makanan yang sangat populer. Hampir di setiap daerah dapat ditemukan soto dengan variasi yang berbeda, disesuaikan dengan selera di tiap-tiap daerah. Soto Banjar tentu berbeda dengan Soto Madura atau dengan Soto Kudus. Tapi kendati berbeda, judulnya tetap sama: soto. Soto kemungkinan besar dibawa oleh masyarakat China yang datang ke Indonesia. Kapan tepatnya, belum ditemukan sumber yang mencatat kedatangan soto ke Indonesia. Namun “saudara kandung” soto, yakni laksa, diperkirakan telah disantap oleh penduduk Nusantara sejak zaman Majapahit. Dalam piagam Biluluk bertahun 1391 disebutkan kata “hanglaksa” yang berarti pembuat laksa, yang berarti juga pada tahun itu laksa telah dikenal oleh masyarakat.
Sate juga tak kalah populernya di Indonesia. Bumbu kacang pada sate cukup digemari tidak hanya oleh masyarakat Indonesia, tapi juga wisatawan asing yang datang ke Indonesia, “saus yang eksotik,” kata mereka. Sate memang bervariasi. Di Banten ada sate yang tak dilengkapi dengan dengan bumbu kacang, panggang namanya. Di purwakarta juga terkenal dengan sate marangginya. Sate Madura dan sate Betawi adalah dua jenis sate yang paling terkenal dari semua sate di Indonesia.
Ngomong-omong soal bumbu kacang, tentu pelengkap hidangan sate itu takkan ada, kalau kacang tanah tak tersedia. Nah, bagaimana sejarah kehadiran kacang tanah di Indonesia? Menurut Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya kacang tanah dikenal di Nusantara sejak abad ke-17, karena ditemukan pemeriannya di dalam flora Rumphius.
Sementara itu hal yang sama juga diungkapkan oleh Jan Hooyman, seorang tuan tanah di Pondok Gede, dalam Verhandeling over de tegenwoordigen staat van den landbouw in de ommelanden van Batavia (Pembahasan mengenai status pertanian di pinggiran Batavia). Ia mengatakan kalau kacang tanah dibawa masuk ke Batavia oleh orang China sekitar 1755 .
Kalau membicarakan soal persatuan Indonesia agaknya harus juga mengingat soal soto yang menyatukan Indonesia. Karena soto bisa ditemukan hampir di setiap daerah di Indonesia, sehingga soto turut pula menyumbangkan identitas ke-Indonesia- an.
Sementara persatuan Indonesia hendaknya tidak perlu dipaksakan untuk bersatu seperti pada sate. Karena kalau dipaksakan, terlebih secara fasistis, bukan persatuan namanya, tapi persatean. Persatuan harus dibina berdasarkan saling pengertian dan keadilan sosial-ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti bunyi Pancasila sila ke-lima. Hidup Soto! Hidup Sate! Hidup Indonesia!
Tapi bagaimana jadinya kalau bangsa China menuntut atas budaya kuliner mereka yang telah jadi bagian kehidupan kita sehari-hari? Alamaak, bisa pusing hidup ini tanpa kwetiau, capcay, soto, sate, bakso di meja makan kita. Kalau Anda jalan-jalan ke berbagai belahan dunia, kita dapat dengan mudah menemukan makanan China. Soal rasa jangan ditanyakan lagi, pasti cocok dengan lidah melayu.
Tapi satu hal yang tak pernah ditanyakan oleh kita sejak kapan gerangan berbagai jenis makanan itu masuk dan diterima di kalangan masyarakat kita? Sebuah pertanyaan yang tak pernah muncul karena biasanya kita langsung main santap zonder pikir panjang lagi.
Soto, makanan yang sangat populer. Hampir di setiap daerah dapat ditemukan soto dengan variasi yang berbeda, disesuaikan dengan selera di tiap-tiap daerah. Soto Banjar tentu berbeda dengan Soto Madura atau dengan Soto Kudus. Tapi kendati berbeda, judulnya tetap sama: soto. Soto kemungkinan besar dibawa oleh masyarakat China yang datang ke Indonesia. Kapan tepatnya, belum ditemukan sumber yang mencatat kedatangan soto ke Indonesia. Namun “saudara kandung” soto, yakni laksa, diperkirakan telah disantap oleh penduduk Nusantara sejak zaman Majapahit. Dalam piagam Biluluk bertahun 1391 disebutkan kata “hanglaksa” yang berarti pembuat laksa, yang berarti juga pada tahun itu laksa telah dikenal oleh masyarakat.
Sate juga tak kalah populernya di Indonesia. Bumbu kacang pada sate cukup digemari tidak hanya oleh masyarakat Indonesia, tapi juga wisatawan asing yang datang ke Indonesia, “saus yang eksotik,” kata mereka. Sate memang bervariasi. Di Banten ada sate yang tak dilengkapi dengan dengan bumbu kacang, panggang namanya. Di purwakarta juga terkenal dengan sate marangginya. Sate Madura dan sate Betawi adalah dua jenis sate yang paling terkenal dari semua sate di Indonesia.
Ngomong-omong soal bumbu kacang, tentu pelengkap hidangan sate itu takkan ada, kalau kacang tanah tak tersedia. Nah, bagaimana sejarah kehadiran kacang tanah di Indonesia? Menurut Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya kacang tanah dikenal di Nusantara sejak abad ke-17, karena ditemukan pemeriannya di dalam flora Rumphius.
Sementara itu hal yang sama juga diungkapkan oleh Jan Hooyman, seorang tuan tanah di Pondok Gede, dalam Verhandeling over de tegenwoordigen staat van den landbouw in de ommelanden van Batavia (Pembahasan mengenai status pertanian di pinggiran Batavia). Ia mengatakan kalau kacang tanah dibawa masuk ke Batavia oleh orang China sekitar 1755 .
Kalau membicarakan soal persatuan Indonesia agaknya harus juga mengingat soal soto yang menyatukan Indonesia. Karena soto bisa ditemukan hampir di setiap daerah di Indonesia, sehingga soto turut pula menyumbangkan identitas ke-Indonesia- an.
Sementara persatuan Indonesia hendaknya tidak perlu dipaksakan untuk bersatu seperti pada sate. Karena kalau dipaksakan, terlebih secara fasistis, bukan persatuan namanya, tapi persatean. Persatuan harus dibina berdasarkan saling pengertian dan keadilan sosial-ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti bunyi Pancasila sila ke-lima. Hidup Soto! Hidup Sate! Hidup Indonesia!
Tuesday, March 11, 2008
Skandal Seks Meneer Montigny di Rangkasbitung
Penjajahan Belanda atas Indonesia memang mendatangkan beragam kisah. Mulai dari exploitasi sumber daya alam sampai dengan kisah perselingkuhan antara meneer Belanda dengan perempuan pribumi.
Pada zaman kolonial, rakyat bumiputra diposisikan sebagai warga negara terendah di dalam sratatifikasi sosial masyarakat Hindia Belanda. Bahkan orang Indonesia, menurut orang-orang Belanda waktu itu, adalah negeri para monyet, bangsa yang dianggap sebagai penjahat paling kejam dan tak beradab. Persepsi orang Belanda terhadap warga pribumi juga diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer di dalam novelnya Bumi Manusia. Seorang anak muda dari Jawa Tengah yang datang ke Batavia untuk belajar di sekolah kedokteran (STOVIA) dijuluki “Minke oleh gurunya sendiri, yang merupakan plesetan dari kata monkey (monyet). Minke adalah tokoh utama di dalam novel itu.
Perempuan pribumi pun dipandang sebagai perempuan rendahan, yang walau dirias dengan gincu, konde, kebaya plus berhiaskan gelang, cincin dan kalung bermata berlian, tetaplah seorang inlander yang terlihat murahan di hadapan tuan-tuan Belanda. Sehingga pada masa itu muncul ungkapan bahasa Belanda (yang tak bermutu) soal pribumi, al draagt een aap een gouden ring, het us en blijft een leijk ding (meskipun mengenakan cincin emas, seekor monyet tetap saja mahluk yang buruk rupa).
Berdasarkan “doktrin” itulah, Belanda menempatkan pribumi sebagai warga kelas bawah alias inlander. Yang kemudian mereka gunakan pula sebagai dasar untuk mempekerjakan mereka sesuka hati, pula sebagai gundik. Orang-orang Belanda saat itu memandang perempuan pribumi sebagai perempuan yang berhasrat seks tinggi, karena terbiasa menyantap makanan yang berempah-rempah.
Sejarah pergundikan di Indonesia pada masa lalu, dimulai sejak kaum lelaki VOC datang ke kepulauan Hindia tanpa disertai istri-istri mereka. Konon, dari sini pula muncul bantal guling, bantal yang digunakan oleh kaum lelaki Belanda sebagai teman tidur mereka di Hindia. Tentu saja bantal guling tak lagi berfungsi sebagai teman tidur para meneer Belanda, ketika tradisi memelihara perempuan pribumi sebagai gundik sudah dimulai. Gundik memang tak pernah dinikahi secara sah, namun mereka diharuskan melayani meneer Belanda itu sebagaimana layaknya seorang istri.
Kebiasaan yang berlangsung di Hindia Belanda pada masa kolonial, seorang lelaki Belanda memelihara gundik, sebelum ia memutuskan untuk menikahi seorang perempuan Eropa yang sederajat dengannya. Seringkali terjadi lelaki Belanda yang sudah memiliki istri di negerinya, menjadikan perempuan pribumi sebagai gundik. Manakala lelaki Belanda itu menikah resmi dengan perempuan yang sederajat atau istri sahnya dari negeri Belanda datang ke Hindia, maka seorang nyai harus rela meninggalkan statusnya, bahkan melupakan ”suami” dan anak yang pernah dilahirkannya.
Soal esek-esek ini juga yang membuat Muller de Montigny, assisten residen yang bertugas di Rangkasbitung, Lebak, Banten, sejak 6 April 1906 sampai dengan 1908 terjungkal dari jabatannya. Rangkasbitung juga kota dimana Eduard Douwes Dekker yang bernama pena Multatuli, pernah bertugas sebagai assisten residen. Kota ini pula yang menjadi setting peristiwa Lebak dalam novelnya ”Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia”.
Silang sengkarut kasus pergundikan yang dilakukan oleh Muller de Montigny itu tercatat di dalam arsip Departemen Van Binenland Bestuur (BB, Departemen Dalam Negeri) Pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan laporan rahasia Residen Banten Overduyn tertanggal 7 Nopember 1907 No. 234/g kepada Direktur BB yang ditembuskan juga kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Muller de Montigny telah melakukan beberapa tindakan yang tak terpuji: hampir setiap hari dia meminta Ardja, seorang opas patih Lebak untuk mencarikan seorang perempuan. Montigny juga membebani jaro (lurah) desa Aweh (distrik Rangkasbitung) untuk meminta seorang perempuan pribumi bernama Nyi Munah yang dihukum karena perselingkuhan, untuk menjadi pembantunya. Tidak hanya itu, Montigny juga memerintahkan Mas Mangku Sudirdja, sipir penjara negara Rangkasbitung, untuk mencarikan pembantu perempuan pribumi (Nyi Hadji Salatri dan Marsono).
Montigny menjalankan tugas sebagai Asisten Residen Lebak, sendiri, tanpa didampingi seorang istri. Arsip memang tak menjelaskan apa statusnya : perjaka, duda atau sudah menikah. Dari keterangan yang ditulis dalam surat rahasia Residen Overduyn tanggal 25 Maret 1908 No. 92/g disebutkan, bahwa Montigny kurang memiliki sikap menjaga nafsu seksualnya, sehingga berulang kali ia meminta pada opas patih untuk mencari seorang perempuan pribumi untuk menemaninya pada malam hari.
Perilaku seksual Asisten Residen Muller de Montigny dinilai keterlaluan oleh para atasannya. Selain meminta Djamad, opas patih, untuk setor perempuan setiap hari, ia juga memelihara seorang gundik yang diakuinya sebagai pembantu. Seakan belum puas dengan perempuan-perempuan ”setoran” bawahannya, ia juga menyuruh sipir penjara negara di Rangkasbitung untuk menyerahkan kepadanya dua tahanan perempuan pribumi.
Tentu saja Montigny menyangkal semua tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Melalui suratnya kepada Gubernur Jenderal ia menyatakan, bahwa tuduhan-tuduhan itu tak lain karena siasat licik Patih Lebak yang menghendaki Montigny digeser dari posisinya sebagai Asisten Residen Lebak. Ia menyangkal kesaksian Patih Lebak dan Jaksa Lebak yang menyudutkannya, kendati kedua pejabat pribumi itu memberikan keterangan di bawah sumpah. ”Lagipula sangat bodoh dan gilanya saya, bila mengambil perempuan untuk dijadikan gundik, apalagi yang dihukum lantaran selingkuh”, ujar Montigny dalam surat pembelaannya.
Selain dituduh memelihara gundik dan terlibat di dalam skandal seksual, Montigny juga dituduh terlibat di dalam peristiwa peracunan seorang pejabat pribumi. Ia pun menyangkal tuduhan itu, sembari menuduh balik ada konspirasi yang dirancang oleh Bupati Serang untuk meracun dirinya. Belakangan hari terbukti, bahwa racun yang disebut-sebut oleh Montigny yang digunakan untuk meracuninya, ternyata hanyalah obat penyubur jenggot belaka.
Wakil Direktur BB di dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggap 22 April 1908 menyarankan agar Montigny dipecat secara terhormat. Semua pejabat mulai dari Residen Banten Overduyn hingga pejabat pribumi setingkat Patih dan Jaksa menganjurkan agar Montigny segera dipecat dengan tidak hormat dari jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak. Kesemua laporan, selain menyebutkan kesalahan lain, terutama sekali perilaku seksual Montigny yang keterlaluan, sebagai alasan untuk memecatnya tanpa hormat.
Bisa jadi juga, persoalan ini adalah taktik untuk melumpuhkan posisi Montigny. Bila dibandingkan dengan peristiwa Lebak yang sebelumnya menimpa Eduard Douwes Dekker, peristiwa yang dialami oleh Montigny juga melibatkan beberapa pejabat lain, baik dari kalangan Belanda yang dinilai cakap. Mereka punya idealisme yang tinggi, seperti halnya Eduard Douwes Dekker yang memerjuangkan rakyat Lebak, kendati akhirnya tersingkir. Tentu saja idealisme yang tak didukung oleh lingkungan sekitarnya, menimbulkan benih-benih konflik, karena pejabat senior merasa terancam oleh sepak terjang Asisten Residen muda penuh semangat.
Namun demikian, menarik diperhatikan, bahwa Wakil Direktur BB punya pendapat lain soal ini. Dia memandang Montigny perlu dipecat secara terhormat bukan karena prilaku seksualnya yang menyimpang, melainkan karena kurang bisanya dia menjaga relasi baik dengan rekan-rekan sejawatnya. Mungkin pandangan para petinggi kolonial terhadap Aisten Residen Montigny, sesuai dengan jiwa zaman yang sedang berlaku saat itu : pergundikan adalah sebuah hal yang wajar. Dan memelihara nyai yang berasal dari kalangan perempuan pribumi, bukanlah suatu hal yang dilarang. Barangkali saja Wakil Direktur Departemen Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda itu punya opini yang sama dengan orang Belanda lainnya pada saat itu: ”al draagt een aap een gouden ring, het us en blijft leijk ding”.
Pada zaman kolonial, rakyat bumiputra diposisikan sebagai warga negara terendah di dalam sratatifikasi sosial masyarakat Hindia Belanda. Bahkan orang Indonesia, menurut orang-orang Belanda waktu itu, adalah negeri para monyet, bangsa yang dianggap sebagai penjahat paling kejam dan tak beradab. Persepsi orang Belanda terhadap warga pribumi juga diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer di dalam novelnya Bumi Manusia. Seorang anak muda dari Jawa Tengah yang datang ke Batavia untuk belajar di sekolah kedokteran (STOVIA) dijuluki “Minke oleh gurunya sendiri, yang merupakan plesetan dari kata monkey (monyet). Minke adalah tokoh utama di dalam novel itu.
Perempuan pribumi pun dipandang sebagai perempuan rendahan, yang walau dirias dengan gincu, konde, kebaya plus berhiaskan gelang, cincin dan kalung bermata berlian, tetaplah seorang inlander yang terlihat murahan di hadapan tuan-tuan Belanda. Sehingga pada masa itu muncul ungkapan bahasa Belanda (yang tak bermutu) soal pribumi, al draagt een aap een gouden ring, het us en blijft een leijk ding (meskipun mengenakan cincin emas, seekor monyet tetap saja mahluk yang buruk rupa).
Berdasarkan “doktrin” itulah, Belanda menempatkan pribumi sebagai warga kelas bawah alias inlander. Yang kemudian mereka gunakan pula sebagai dasar untuk mempekerjakan mereka sesuka hati, pula sebagai gundik. Orang-orang Belanda saat itu memandang perempuan pribumi sebagai perempuan yang berhasrat seks tinggi, karena terbiasa menyantap makanan yang berempah-rempah.
Sejarah pergundikan di Indonesia pada masa lalu, dimulai sejak kaum lelaki VOC datang ke kepulauan Hindia tanpa disertai istri-istri mereka. Konon, dari sini pula muncul bantal guling, bantal yang digunakan oleh kaum lelaki Belanda sebagai teman tidur mereka di Hindia. Tentu saja bantal guling tak lagi berfungsi sebagai teman tidur para meneer Belanda, ketika tradisi memelihara perempuan pribumi sebagai gundik sudah dimulai. Gundik memang tak pernah dinikahi secara sah, namun mereka diharuskan melayani meneer Belanda itu sebagaimana layaknya seorang istri.
Kebiasaan yang berlangsung di Hindia Belanda pada masa kolonial, seorang lelaki Belanda memelihara gundik, sebelum ia memutuskan untuk menikahi seorang perempuan Eropa yang sederajat dengannya. Seringkali terjadi lelaki Belanda yang sudah memiliki istri di negerinya, menjadikan perempuan pribumi sebagai gundik. Manakala lelaki Belanda itu menikah resmi dengan perempuan yang sederajat atau istri sahnya dari negeri Belanda datang ke Hindia, maka seorang nyai harus rela meninggalkan statusnya, bahkan melupakan ”suami” dan anak yang pernah dilahirkannya.
Soal esek-esek ini juga yang membuat Muller de Montigny, assisten residen yang bertugas di Rangkasbitung, Lebak, Banten, sejak 6 April 1906 sampai dengan 1908 terjungkal dari jabatannya. Rangkasbitung juga kota dimana Eduard Douwes Dekker yang bernama pena Multatuli, pernah bertugas sebagai assisten residen. Kota ini pula yang menjadi setting peristiwa Lebak dalam novelnya ”Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia”.
Silang sengkarut kasus pergundikan yang dilakukan oleh Muller de Montigny itu tercatat di dalam arsip Departemen Van Binenland Bestuur (BB, Departemen Dalam Negeri) Pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan laporan rahasia Residen Banten Overduyn tertanggal 7 Nopember 1907 No. 234/g kepada Direktur BB yang ditembuskan juga kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Muller de Montigny telah melakukan beberapa tindakan yang tak terpuji: hampir setiap hari dia meminta Ardja, seorang opas patih Lebak untuk mencarikan seorang perempuan. Montigny juga membebani jaro (lurah) desa Aweh (distrik Rangkasbitung) untuk meminta seorang perempuan pribumi bernama Nyi Munah yang dihukum karena perselingkuhan, untuk menjadi pembantunya. Tidak hanya itu, Montigny juga memerintahkan Mas Mangku Sudirdja, sipir penjara negara Rangkasbitung, untuk mencarikan pembantu perempuan pribumi (Nyi Hadji Salatri dan Marsono).
Montigny menjalankan tugas sebagai Asisten Residen Lebak, sendiri, tanpa didampingi seorang istri. Arsip memang tak menjelaskan apa statusnya : perjaka, duda atau sudah menikah. Dari keterangan yang ditulis dalam surat rahasia Residen Overduyn tanggal 25 Maret 1908 No. 92/g disebutkan, bahwa Montigny kurang memiliki sikap menjaga nafsu seksualnya, sehingga berulang kali ia meminta pada opas patih untuk mencari seorang perempuan pribumi untuk menemaninya pada malam hari.
Perilaku seksual Asisten Residen Muller de Montigny dinilai keterlaluan oleh para atasannya. Selain meminta Djamad, opas patih, untuk setor perempuan setiap hari, ia juga memelihara seorang gundik yang diakuinya sebagai pembantu. Seakan belum puas dengan perempuan-perempuan ”setoran” bawahannya, ia juga menyuruh sipir penjara negara di Rangkasbitung untuk menyerahkan kepadanya dua tahanan perempuan pribumi.
Tentu saja Montigny menyangkal semua tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Melalui suratnya kepada Gubernur Jenderal ia menyatakan, bahwa tuduhan-tuduhan itu tak lain karena siasat licik Patih Lebak yang menghendaki Montigny digeser dari posisinya sebagai Asisten Residen Lebak. Ia menyangkal kesaksian Patih Lebak dan Jaksa Lebak yang menyudutkannya, kendati kedua pejabat pribumi itu memberikan keterangan di bawah sumpah. ”Lagipula sangat bodoh dan gilanya saya, bila mengambil perempuan untuk dijadikan gundik, apalagi yang dihukum lantaran selingkuh”, ujar Montigny dalam surat pembelaannya.
Selain dituduh memelihara gundik dan terlibat di dalam skandal seksual, Montigny juga dituduh terlibat di dalam peristiwa peracunan seorang pejabat pribumi. Ia pun menyangkal tuduhan itu, sembari menuduh balik ada konspirasi yang dirancang oleh Bupati Serang untuk meracun dirinya. Belakangan hari terbukti, bahwa racun yang disebut-sebut oleh Montigny yang digunakan untuk meracuninya, ternyata hanyalah obat penyubur jenggot belaka.
Wakil Direktur BB di dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggap 22 April 1908 menyarankan agar Montigny dipecat secara terhormat. Semua pejabat mulai dari Residen Banten Overduyn hingga pejabat pribumi setingkat Patih dan Jaksa menganjurkan agar Montigny segera dipecat dengan tidak hormat dari jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak. Kesemua laporan, selain menyebutkan kesalahan lain, terutama sekali perilaku seksual Montigny yang keterlaluan, sebagai alasan untuk memecatnya tanpa hormat.
Bisa jadi juga, persoalan ini adalah taktik untuk melumpuhkan posisi Montigny. Bila dibandingkan dengan peristiwa Lebak yang sebelumnya menimpa Eduard Douwes Dekker, peristiwa yang dialami oleh Montigny juga melibatkan beberapa pejabat lain, baik dari kalangan Belanda yang dinilai cakap. Mereka punya idealisme yang tinggi, seperti halnya Eduard Douwes Dekker yang memerjuangkan rakyat Lebak, kendati akhirnya tersingkir. Tentu saja idealisme yang tak didukung oleh lingkungan sekitarnya, menimbulkan benih-benih konflik, karena pejabat senior merasa terancam oleh sepak terjang Asisten Residen muda penuh semangat.
Namun demikian, menarik diperhatikan, bahwa Wakil Direktur BB punya pendapat lain soal ini. Dia memandang Montigny perlu dipecat secara terhormat bukan karena prilaku seksualnya yang menyimpang, melainkan karena kurang bisanya dia menjaga relasi baik dengan rekan-rekan sejawatnya. Mungkin pandangan para petinggi kolonial terhadap Aisten Residen Montigny, sesuai dengan jiwa zaman yang sedang berlaku saat itu : pergundikan adalah sebuah hal yang wajar. Dan memelihara nyai yang berasal dari kalangan perempuan pribumi, bukanlah suatu hal yang dilarang. Barangkali saja Wakil Direktur Departemen Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda itu punya opini yang sama dengan orang Belanda lainnya pada saat itu: ”al draagt een aap een gouden ring, het us en blijft leijk ding”.
Monday, March 10, 2008
Pelajaran Sejarah untuk Masa Depan
Berhulu pada soal pelajaran sejarah, bermuara di sidang pengadilan. Berdamai dengan masa lalu masih sekadar angan.
Sepertinya pita kaset lagu lama sedang diputar ulang di negeri kita tercinta ini. Tapi sayang, pita kaset terlalu kusut untuk dapat distel lagi. Kebebasan berekspresi yang jadi cita-cita utama reformasi 1998 diciderai dengan pengadilan Bersihar Lubis, wartawan senior yang menulis opini tentang pelarangan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dalam tulisannya di Koran Tempo, 17 Maret 2007 ia menyitir kisah Joesoef Isak, pengelola penerbit Hasta Mitra, yang diperiksa oleh Kejaksaan Agung pada 1981 sehubungan dengan penerbitan novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Saat itu jaksa menuduh Joesoef menerbitkan buku yang mengandung ajaran komunisme. Joesoef kemudian balik bisakah jaksa menunjukan kalimat mana yang mengandung komunisme. Jaksa tak bisa menunjukkan kalimat itu, tapi ia yakin bisa merasakannya. Inilah yang kemudian dikatakan sebagai pangkal kedunguan, bisa juga dimaknai sebagai sebuah situasi yang idiotik, tragic comic yang terlalu getir untuk diulang lagi.
Melalui Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomer No 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 buku sejarah yang tak mencantumkan kata PKI di balik garis miring G.30.S dan tak membahasa peristiwa Pemberontakan Madiun 1948 dilarang beredar. Kemudian atas dasar instruksi Jaksa Agung nomor Ins-003/A/JA/2007 seluruh Kajati dan Kajari di seluruh Indonesia menyita – bahkan – membakar ribuan buku pelajaran sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Beberapa pekan lalu Kejaksaan Negeri Malang, Jawa Timur pun menyita dan membakar ratusan buku pelajaran sejarah dengan alasan yang sama plus alasan lain: ada beberapa buku sejarah yang tak melampirkan peta Indonesia dalam bab tentang Sumpah Pemuda 1928. Padahal tahun 1928 bentuk Indonesia sebagaimana yang kita dapati dalam peta sekarang belum sepenuhnya terwujud. Namun kejaksaan punya pendapat lain.
"Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin (kini Wakil Jaksa Agung RI) pada 9 Maret 2007 atau beberapa hari setelah keputusan Kejaksaan Agung itu diterbitkan. Pernyataan itu mengindikasikan kekurangpahaman institusi Kejaksaan Agung kepada arti sejarah itu sendiri. Seharusnya kalau pihak Kejaksaan Agung mampu menunjukan fakta sejarah yang diputarbalikan, maka seharusnya pula ia bisa menulis sejarah yang dianggap obyektif dan faktual. Sehingga masyarakat, khususnya para pelajar di sekolah tidak dibuat semakin bingung.
Penulisan Sejarah atau “Cuci Piring” Dulu?
Dalam era transisi menuju demokrasi ada dua jalan yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan kasus-kasus masa lalu warisan rezim otoriter. Pertama, pemerintah di era transisi memutuskan secara politik penyelesaian kasus masa lalu kemudian proses penulisan sejarah yang lebih fair dimulai. Atau, kedua, penulisan sejarah dulu baru kemudian pemerintah memutuskan secara politis untuk menyelesaikan kasus masa lalu.
Di Indonesia proses penulisan sejarah menyoal pergolakan politik tahun 1965-1970 dengan versi yang variatif sudah dimulai sejak masa reformasi. Pasca reformasi 1998 beragam buku sejarah yang memuat berbagai macam versi sejarah tentang peristiwa 1965 terbit secara luas. Para sejarawan pun melakukan berbagai penelitian menyangkut peristiwa tersebut. Buku-buku itu diharapkan dapat menyeimbangkan cara pandang masyarakat terhadap pergolakan politik yang terjadi pada masa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pelajaran sejarah di masa Orde Baru dinilai terlalu berpihak pada kekuasaan yang menjadikan PKI dan pengikut Soekarno sebagai lawan politik yang harus diberangus.
Fakta bahwa PKI terlibat di dalam perstiwa Madiun 1948 itu benar terjadi. Bahwa kemudian ada sebagian kecil unsur PKI yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan jenderal Angkatan Darat pada malam 1 Oktober 1965 itu pun betul. Namun permasalahannya, tragedi kemanusiaan yang terjadi pascainsiden berdarah 1 Oktober 1965 pun jauh lebih dahsyat: tak kurang dari 500 ribu orang tewas, 10 ribu orang ditahan di Pulau Buru tanpa didahului proses peradilan dan korban itu belum termasuk terlantarnya sanak keluarga mereka yang tewas dan ditahan. Ini juga fakta sejarah, dan fakta ini pula yang hampir selama 30 tahun Orde Baru berkuasa disembunyikan dari buku sejarah yang mereka tulis sendiri.
Beberapa studi dari sarjana ahli Indonesia seperti Harold Crouch, Ben Anderson, Cathy Kadane, WF. Wertheim dan lain-lain tentang peristiwa 1965 menyebutkan ada beragam faktor yang bermain. Mulai dari keterlibatan PKI, CIA, Soeharto, konflik internal Angkatan Darat dan Soekarno sendiri. Namun hingga hari ini belum ditemukan data yang memunculkan fakta sejarah sahih bahwa salah satu dari nama-nama di atas ialah dalang utama pembunuhan para jenderal. Sehingga kalau salah satu nama di atas itu ditetapkan sebagai satu-satunya dalang peristiwa jelaslah merupakan hasil dari keputusan menduga-raba, gegabah dan ahistoris. Sejarawan Kuntowijoyo menamakan ini sebagai kesalahan interpretasi sekaligus juga mengandung kesalahan reduksionis.
Bahwa PKI seharusnya tidak dicantumkan di balik nama peristiwa G.30.S, itu bisa terjadi karena gerakan Letkol. Untung sendiri hanya menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September, tidak ditambahi atau dikurangi. Penamaan peristiwa dalam sejarah tidak boleh digondeli atas dasar kepentingan politik dengan tujuan legitimasi kekuasaan dikuatirkan bermuara pada fitnah. Tetapi harus berdasar pada fakta yang telah diuji validitasnya. Pencatuman kata PKI di balik kata-kata G.30.S malah justru sebuah pengaburan fakta sejarah, karena kalau mau adil seharusnya semua faktor hasil temuan para peneliti sejarah tersebut disebutkan di balik garing miring setelah kata G.30.S.
Semestinya dalam soal pelajaran sejarah ini Kejaksaan Agung tak perlu mencampuri terlalu jauh. Biarkan para sejarawan bekerja dan Departemen Pendidikan Nasional menentukan bagaimana mestinya pelajaran sejarah diberikan kepada pelajar. Ada begitu banyak kasus yang jauh lebih relevan dengan tugas Kejaksaan Agung yang mesti lekas diselesaikan. Menyelesaikan kasus korupsi BLBI dan menuntaskan kejahatan ekonomi rezim Orde Baru jauh lebih terhormat ketimbang membakar buku pelajaran sejarah.
Satu hal lain, terlepas dari persoalan fakta sejarah, semua persoalan yang mengemuka ini membuktikan bahwa kita belum siap menerima perbedaan. Sementara itu upaya untuk berdamai dengan masa lalu pun hanya tersisa sebagai mimpi dalam tidur panjang yang entah kapan bisa dibangunkan. Padahal, bangsa yang mampu menatap masa depannya dengan optimis adalah bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalunya sendiri. Tengok Jerman yang luluh lantak akibat Perang Dunia II dan holocaust Nazi Jerman tetap bangun dan berdiri tegak tanpa harus saling cakar, saling tuduh dan bisa mereka pun mengoreksi kesalahan yang dibuat oleh para pendahulunya.
Suatu kebiasaan dalam masyarakat kita jika seseorang akan merasa diolok-olok apabila orang lain mengatai-ngatai keadaan yang sesungguhnya dari orang itu. Semisal, etnis Tioghoa di Indonesia akan tersinggung jika dikatakan “Cina”, seorang yang cacat pun amat tersinggung jika dikatakan sebagai cacat, begitu juga si Fulan akan marah bila orang secara jujur mengatakan pada dirinya bahwa dia bodoh. Dalam kasus Bersihar Lubis saya melihat persoalan yang ia kemukakan dalam opininya tersebut tak lain sebagai kritik membangun kepada segenap korp kejaksaan untuk semakin meningkatkan mutu sumber daya manusianya. Sehingga ke depan, takkan ada lagi jaksa yang mengatakan sebuah buku mengandung ajaran komunisme berdasarkan perasaannya.
[] L A I N N Y A []
Jalan Berliku Anak Kemusuk
Indonesia pada masa Orde Baru adalah antitesis kehidupan Soeharto di masa kecil. >> Lanjut
Tragika Sejarah dan Libido Kekuasaan
Orang Belanda bilang, “In het heden ligt verleden, in het nu wat komen zal”, dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang kita juga mendapati apa yang akan datang. >> Lanjut
Sepertinya pita kaset lagu lama sedang diputar ulang di negeri kita tercinta ini. Tapi sayang, pita kaset terlalu kusut untuk dapat distel lagi. Kebebasan berekspresi yang jadi cita-cita utama reformasi 1998 diciderai dengan pengadilan Bersihar Lubis, wartawan senior yang menulis opini tentang pelarangan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dalam tulisannya di Koran Tempo, 17 Maret 2007 ia menyitir kisah Joesoef Isak, pengelola penerbit Hasta Mitra, yang diperiksa oleh Kejaksaan Agung pada 1981 sehubungan dengan penerbitan novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Saat itu jaksa menuduh Joesoef menerbitkan buku yang mengandung ajaran komunisme. Joesoef kemudian balik bisakah jaksa menunjukan kalimat mana yang mengandung komunisme. Jaksa tak bisa menunjukkan kalimat itu, tapi ia yakin bisa merasakannya. Inilah yang kemudian dikatakan sebagai pangkal kedunguan, bisa juga dimaknai sebagai sebuah situasi yang idiotik, tragic comic yang terlalu getir untuk diulang lagi.
Melalui Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomer No 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 buku sejarah yang tak mencantumkan kata PKI di balik garis miring G.30.S dan tak membahasa peristiwa Pemberontakan Madiun 1948 dilarang beredar. Kemudian atas dasar instruksi Jaksa Agung nomor Ins-003/A/JA/2007 seluruh Kajati dan Kajari di seluruh Indonesia menyita – bahkan – membakar ribuan buku pelajaran sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Beberapa pekan lalu Kejaksaan Negeri Malang, Jawa Timur pun menyita dan membakar ratusan buku pelajaran sejarah dengan alasan yang sama plus alasan lain: ada beberapa buku sejarah yang tak melampirkan peta Indonesia dalam bab tentang Sumpah Pemuda 1928. Padahal tahun 1928 bentuk Indonesia sebagaimana yang kita dapati dalam peta sekarang belum sepenuhnya terwujud. Namun kejaksaan punya pendapat lain.
"Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin (kini Wakil Jaksa Agung RI) pada 9 Maret 2007 atau beberapa hari setelah keputusan Kejaksaan Agung itu diterbitkan. Pernyataan itu mengindikasikan kekurangpahaman institusi Kejaksaan Agung kepada arti sejarah itu sendiri. Seharusnya kalau pihak Kejaksaan Agung mampu menunjukan fakta sejarah yang diputarbalikan, maka seharusnya pula ia bisa menulis sejarah yang dianggap obyektif dan faktual. Sehingga masyarakat, khususnya para pelajar di sekolah tidak dibuat semakin bingung.
Penulisan Sejarah atau “Cuci Piring” Dulu?
Dalam era transisi menuju demokrasi ada dua jalan yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan kasus-kasus masa lalu warisan rezim otoriter. Pertama, pemerintah di era transisi memutuskan secara politik penyelesaian kasus masa lalu kemudian proses penulisan sejarah yang lebih fair dimulai. Atau, kedua, penulisan sejarah dulu baru kemudian pemerintah memutuskan secara politis untuk menyelesaikan kasus masa lalu.
Di Indonesia proses penulisan sejarah menyoal pergolakan politik tahun 1965-1970 dengan versi yang variatif sudah dimulai sejak masa reformasi. Pasca reformasi 1998 beragam buku sejarah yang memuat berbagai macam versi sejarah tentang peristiwa 1965 terbit secara luas. Para sejarawan pun melakukan berbagai penelitian menyangkut peristiwa tersebut. Buku-buku itu diharapkan dapat menyeimbangkan cara pandang masyarakat terhadap pergolakan politik yang terjadi pada masa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pelajaran sejarah di masa Orde Baru dinilai terlalu berpihak pada kekuasaan yang menjadikan PKI dan pengikut Soekarno sebagai lawan politik yang harus diberangus.
Fakta bahwa PKI terlibat di dalam perstiwa Madiun 1948 itu benar terjadi. Bahwa kemudian ada sebagian kecil unsur PKI yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan jenderal Angkatan Darat pada malam 1 Oktober 1965 itu pun betul. Namun permasalahannya, tragedi kemanusiaan yang terjadi pascainsiden berdarah 1 Oktober 1965 pun jauh lebih dahsyat: tak kurang dari 500 ribu orang tewas, 10 ribu orang ditahan di Pulau Buru tanpa didahului proses peradilan dan korban itu belum termasuk terlantarnya sanak keluarga mereka yang tewas dan ditahan. Ini juga fakta sejarah, dan fakta ini pula yang hampir selama 30 tahun Orde Baru berkuasa disembunyikan dari buku sejarah yang mereka tulis sendiri.
Beberapa studi dari sarjana ahli Indonesia seperti Harold Crouch, Ben Anderson, Cathy Kadane, WF. Wertheim dan lain-lain tentang peristiwa 1965 menyebutkan ada beragam faktor yang bermain. Mulai dari keterlibatan PKI, CIA, Soeharto, konflik internal Angkatan Darat dan Soekarno sendiri. Namun hingga hari ini belum ditemukan data yang memunculkan fakta sejarah sahih bahwa salah satu dari nama-nama di atas ialah dalang utama pembunuhan para jenderal. Sehingga kalau salah satu nama di atas itu ditetapkan sebagai satu-satunya dalang peristiwa jelaslah merupakan hasil dari keputusan menduga-raba, gegabah dan ahistoris. Sejarawan Kuntowijoyo menamakan ini sebagai kesalahan interpretasi sekaligus juga mengandung kesalahan reduksionis.
Bahwa PKI seharusnya tidak dicantumkan di balik nama peristiwa G.30.S, itu bisa terjadi karena gerakan Letkol. Untung sendiri hanya menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September, tidak ditambahi atau dikurangi. Penamaan peristiwa dalam sejarah tidak boleh digondeli atas dasar kepentingan politik dengan tujuan legitimasi kekuasaan dikuatirkan bermuara pada fitnah. Tetapi harus berdasar pada fakta yang telah diuji validitasnya. Pencatuman kata PKI di balik kata-kata G.30.S malah justru sebuah pengaburan fakta sejarah, karena kalau mau adil seharusnya semua faktor hasil temuan para peneliti sejarah tersebut disebutkan di balik garing miring setelah kata G.30.S.
Semestinya dalam soal pelajaran sejarah ini Kejaksaan Agung tak perlu mencampuri terlalu jauh. Biarkan para sejarawan bekerja dan Departemen Pendidikan Nasional menentukan bagaimana mestinya pelajaran sejarah diberikan kepada pelajar. Ada begitu banyak kasus yang jauh lebih relevan dengan tugas Kejaksaan Agung yang mesti lekas diselesaikan. Menyelesaikan kasus korupsi BLBI dan menuntaskan kejahatan ekonomi rezim Orde Baru jauh lebih terhormat ketimbang membakar buku pelajaran sejarah.
Satu hal lain, terlepas dari persoalan fakta sejarah, semua persoalan yang mengemuka ini membuktikan bahwa kita belum siap menerima perbedaan. Sementara itu upaya untuk berdamai dengan masa lalu pun hanya tersisa sebagai mimpi dalam tidur panjang yang entah kapan bisa dibangunkan. Padahal, bangsa yang mampu menatap masa depannya dengan optimis adalah bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalunya sendiri. Tengok Jerman yang luluh lantak akibat Perang Dunia II dan holocaust Nazi Jerman tetap bangun dan berdiri tegak tanpa harus saling cakar, saling tuduh dan bisa mereka pun mengoreksi kesalahan yang dibuat oleh para pendahulunya.
Suatu kebiasaan dalam masyarakat kita jika seseorang akan merasa diolok-olok apabila orang lain mengatai-ngatai keadaan yang sesungguhnya dari orang itu. Semisal, etnis Tioghoa di Indonesia akan tersinggung jika dikatakan “Cina”, seorang yang cacat pun amat tersinggung jika dikatakan sebagai cacat, begitu juga si Fulan akan marah bila orang secara jujur mengatakan pada dirinya bahwa dia bodoh. Dalam kasus Bersihar Lubis saya melihat persoalan yang ia kemukakan dalam opininya tersebut tak lain sebagai kritik membangun kepada segenap korp kejaksaan untuk semakin meningkatkan mutu sumber daya manusianya. Sehingga ke depan, takkan ada lagi jaksa yang mengatakan sebuah buku mengandung ajaran komunisme berdasarkan perasaannya.
[] L A I N N Y A []
Jalan Berliku Anak Kemusuk
Indonesia pada masa Orde Baru adalah antitesis kehidupan Soeharto di masa kecil. >> Lanjut
Tragika Sejarah dan Libido Kekuasaan
Orang Belanda bilang, “In het heden ligt verleden, in het nu wat komen zal”, dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang kita juga mendapati apa yang akan datang. >> Lanjut
Bandit-bandit Revolusioner
Pernah terjadi dalam suatu zaman, bandit berubah jadi jagoan.
Kata bandit selalu diasosiasikan dengan dunia kejahatan dan kekejaman. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain terbitan Pustaka Sinar Harapan (2001) kata “bandit” diartikan sebagai “penjahat besar.”
Kini istilah bandit yang “setengah pingsan” itu mengemuka kembali setelah beberapa hari lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla mengutarakan bahwa tidak semuanya pejabat itu bandit.
Profesi bandit memang selalu berhubungan dengan kriminalitas. Namun jika ditilik lebih jauh, dunia perbanditan bisa dikaitkan dengan gejala-gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Di Indonesia, perbanditan memang pernah turut mewarnai jalannya sejarah. Benggol, lenggaong, kecu, jago dan jawara adalah istilah-istilah yang disepadankan kepada orang-orang yang bermukim di dunia perbanditan.
Banyak mitos yang menyelubungi kisah perbanditan. Di Inggris Robinhood dikenal sebagai bandit dermawan yang punya kode etik: hanya merampok orang kaya dan membagikan hasil rampokannya pada orang-orang miskin.
Terminologi atau istilah mengenai perbanditan biasanya memang dipandang dari sudut yang subyektif, tergantung dari mana istilah itu diberikan. Biasanya terminologi itu muncul dari kalangan penguasa. Menurut sejarawan Suhartono W Pranoto di dalam bukunya “Bandit-Bandit di Pedesaan Jawa: Studi Historis 1850-1942” perbanditan selalu mengacu pada perbuatan individu atau kelompok yang menentang hukum. Selanjutnya, bandit itu mencakup pengertian: perampok berkawan; seorang yang mencuri; membunuh dengan cara kejam dan tanpa rasa malu (gangster); seorang yang mendapatkan keuntungan secara tidak wajar; dan musuh.
Perbanditan pada zaman kolonial juga bisa dipahami sebagai bentuk resistensi politik terhadap penguasa. Kata bandit memang berkonotasi buruk. Dan penamaan itu memang diberikan oleh pemerintah kolonial di dalam laporan-laporannya, terutama di dalam proces verbaal terhadap pelaku yang kebetulan adalah rakyat pribumi.
Ada beberapa sarjana yang pernah meneliti tentang dunia perbanditan, di antaranya Eric J. Hobsbawm, sejarawan Inggris yang mendefinisikan bandit sebagai seorang dari anggota kelompok yang menyerang dan merampok dengan kekerasan. Namun demikian menurut Hobsbawm, bandit terbagi ke dalam dua kategori, bandit biasa (ordinary bandit) dan bandit sosial (social bandit).
Dalam sejarah Indonesia, khususnya pada periode awal abad ke19, sulit membedakan perbanditan dengan kriminalitas biasa. Sejak pertengahan abad ke-19 pengaruh kultur barat makin kuat ke pedesaan. Pengaruh ini makin marak dengan hadirnya perkebunan dan pabrik di pedesaan Jawa sebagai pusat eksploitasi agraris. Terpuruknya kehidupan ekonomi di kalangan rakyat bawah mendorong munculnya kriminalitas yang acapkali dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat yang punya muatan politis di dalam menjalankan aksinya.
Di antara para bandit yang terkenal di zaman kolonial adalah Mas Jakaria dari Banten. Karir banditnya berlangsung dari tahun 1811-1827. Mendiang ayah Jakaria juga seorang bandit yang dijuluki sebagai pemberontak oleh pemerintah kolonial. Mas Jakaria melancarkan aksinya kepada golongan kaya dan membagikan hasil kejahatannya untuk rakyat miskin. Dari aksinya itu Suhartono mengategorikan Mas Jakaria sebagai bandit sosial.
Bandit sosial lain yang juga terkenal adalah Saniin Gede yang hidup pada abad ke-19. Menurut penuturan Multatuli di dalam Max Havelaar perbanditan di Banten sudah terorganisasikan sejak awal abad ke-19. Sama halnya dengan Mas Jakaria, Saniin Gede juga membagikan rampasannya kepada rakyat jelata.
Salah satu bandit sosial yang melakukan pembangkangan terhadap penguasa kolonial adalah Entong Gendut. Perbanditan ala Entong Gendut yang dilakukan pada 1916 itu merupakan simbol resistensi anti tuan tanah. Entong Gendut mewakili ketidakpuasan petani tanah partikelir di Tanjung Timur, Afdeling Jatinegara, Batavia. Perlawanan Entong Gendut ini kemudian berkembang menjadi gerakan quasi-religius (Suhartono: 1995, 136).
Gerakan perlawanan terhadap penguasa kolonial itu terjadi pada tanggal 7 Maret 1916. Saat itu Asisten Wedana Pasar Rebo mendatangi Taba untuk melakukan eksekusi. Seluruh harta kekayaannya harus ia lego untuk mebayar hutang sebesar f.7,20. Entong Gendut yang pada waktu itu sudah terkenal sebagai jago Betawi mencoba menggagalkan upaya Asisten Wedana itu. Pada tanggal 5 April 1916 Entong Gendut dan anak buahnya membubarkan pertunjukan topeng di rumah Nyonya Van der Vasse Rollinson di Villa Nova. Sementara itu rumah tuan tanah Tanjung Timur D.C. Ament dilempari batu oleh sekelompok penduduk.
Karena keberpihakannya pada petani dalam sekejap pendukungnya semakin bertambah banyak. Pada 9 April 1916 Entong Gendut menawan Asisten Wedana. Aksi-aksinya tersebut menimbulkan keresahan di kalangan penguasa kolonial, termasuk Asisten Residen Jatinegara tentunya. Oleh karena itu pada tanggal 10 April 1916 Asisten Residen berserta dengan pasukannya mencoba menangkap Entong Gendut yang disertai 40 orang pengikutnya. Namun tanpa diduga oleh polisi yang mengepungnya, Entong Gendut dan anak buahnya menyerang mereka sembari meneriakkan sabilillah. Perlawanan Entong Gendut dapat dipatahkan seketika dan Entong Gendut sendiri tewas diterjang peluru polisi.
Perbanditan lain yang juga masuk ke dalam kategori resistensi politik adalah gerakan Kaiin Bapa Kayah. Ia adalah petani kecil dari aderah Tangerang. Sejak zaman VOC daerah Tangerang menjadi tanah partikelir yang disewakan kepada orang-orang Tionghoa secara turun-temurun. Petani setempat yang menggarap lahan di sana dikenai pajak (cuke) sebesar seperlima hasil panen. Selain cuke, petani juga masih dibebani oleh pajak kompenian, sebuah aturan pajak dari VOC yang diberlakukan kepada petani untuk membayar pemakaian tanah untuk rumah, pekarangan dan tegalan. Pajak kompenian itu lantas digunakan untuk membiayai perbaikan jalan, jembatan dan ronda.
Dalam sebuah pesta khitan anak tirinya pada 9 dan 10 Februari 1922 ia mengumumkan dirinya akan menjadi raja di tanah Pangkalan dan Tanah Melayu. Saat itu ia berjanji akan mengusir orang Tionghoa sekaligus menghapuskan pajak cuke dan kompenian. Ia pun melancarkan aksinya dengan menangkapi warga Tionghoa dan yang berjanji akan pulang ke negerinya dibebaskan. Namun gerombolan Kaiin Bapa Kayah dapat dihentikan setelah terjadi baku tembak dengan polisi.
Dalam model perbanditan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah itu merupakan manifestasi dari kekecewaan petani terhadap tingginya beban pajak. Padahal hidup mereka sehari-hari amat mengandalkan tanah partikelir itu.
Secara umum pada periode paruh kedua abad ke-18 hingga awal abad ke-19 pemerintah kolonial selalu dibuat resah dengan maraknya gerakan perbanditan. Beberapa aksi itu memang lahir dari keadaan sosial ekonomi yang memprihatinkan. Namun tidak sedikit juga perbanditan yang memang motivasinya kriminal murni.
Secara umum situasi keamanan di Hindia Belanda, khususnya di Banten dan Batavia diliputi oleh keadaan yang kurang kondusif. Di sana sini terjadi kemelorotan ekonomi, terutama di kalangan rakyat pribumi kelas bawah. Keadaan yang demikian menjadi pemicu bagi munculnya gerakan perbanditan, baik yang bersifat kriminal biasa maupun yang bersifat sosio-politik.
Memasuki periode revolusi atau pasca kemerdekaan RI pun perbanditan tak kalah menariknya untuk disimak. Dalam periode ini terjadi kekaburan identitas di antara dua elemen sosial yang sebenarnya sangat kontradiktif. Bandit yang menjadi pejuang dan pejuang yang menjadi bandit.
Pada masa revolusi , para bandit atau yang kerap disebut jagoan dihadapkan pada dua pilihan: menjadi seorang kriminal atau revolusioner. Akan tetapi pada kenyataannya para jagoan itu itu mencampuradukkan dua dunia yang bertolak belakang itu untuk kepentingan pribadinya. Seorang penjahat sejati menganggap revolusi sebagai kesempatan baik untuk melakukan kejahatan. Seringkali, pemimpin bandit mencari legitimasi untuk revolusi dengan cara mengadopsi status formal seorang penguasa (Julianto Ibrahim: 2004, 221).
Anton Lucas di dalam karyanya “Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi” juga mengungkapkan adanya peran para bandit yang disebut lenggaong di dalam revolusi. Dalam “peristiwa tiga daerah” di Brebes, Tegal dan Pekalongan mereka memimpin aksi dombreng dan menyerang lurah-lurah dan mantan pejabat kolonial semasa revolusi sosial bulan Oktober 1945. Aksi-aksi tersebut lebih terlihat sebagai bentuk pembalasan terhadap struktur kekuasaan masa lalu yang tidak lagi punya kekuatan untuk berkuasa.
Dombreng berasal dari kata “tong” dan “breng”, dua bunyi kata Jawa yang menggambarkan pukulan pada kayu atau kaleng kosong, kentongan kayu (atau apa saja) yang dipukul para pengaraknya. Memang pada arak-arakan dombreng selalu diiringi bunyi kentongan sebagai tanda untuk menyiarkan berita bahwa mereka telah menangkap pencuri desa yang dalam hal ini merujuk kepada para pejabat desa yang korupsi (Lucas: 1989, 143).
Contoh menarik dari aksi lenggaong (baca: bandit) pada masa revolusi adalah Barisan Cengkrong (arit) di Comal. Tokohnya adalah Idris, dan Tarbu sebagai wakilnya. Kelompok ini sering makan di warung-warung pinggir jalan tanpa bayar. Kelompok ini mengangkat Ilham seorang guru desa bekas anggota Sarekat Rakyat dan Sarekat Islam sebagai penasihat politiknya. Barisan Cengkrong melancarkan aksinya dengan memecat lurah Petarukan yang korup. Barisan ini kemudian membagi-bagikan hasil rampasan harta lurah itu kepada rakyat. Tak hanya itu, Barisan Cengkrong juga mengambil alih Pabrik Gula Petarukan.
Lenggaong lain yang juga sama terkenalnya adalah Kutil. Pada bulan Oktober 1945 dedengkot lenggaong ini mendirikan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan menggunakan kantor Bank Rakyat Talang sebagai markasnya. Tujuannya membentuk AMRI ini adalah pembagian kekayaan kepada rakyat, dan tentu saja untuk mendapatkan itu semua ia melaksanakan aksi-aksi perampasan. Tujuan lain dari gerakan yang dipimpinnya adalah menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi agen NICA.
Pada akhir peristiwa Tiga Daerah aksi-aksi para lenggaong tersebut berhasil ditumpas oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebagian anggotanya dipenjara di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.
Dari sejarah diketahui bahwa kemunculan perbanditan tidak terlepas dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mengungkungi setiap zaman. Pada periode kolonial, perbanditan, khususnya yang bernuasa resitensi politik, merupakan reaksi dari penindasan penguasa kolonial. Sedangkan pada masa revolusi, seperti yang terjadi pada “Peristiwa Tiga Daerah” perbanditan mengemuka sebagai manifestasi perasaan dendam kepada pejabat kolonial dan keterpurukan kehidupan ekonomi yang membelit kehidupan rakyat.
Kata bandit selalu diasosiasikan dengan dunia kejahatan dan kekejaman. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain terbitan Pustaka Sinar Harapan (2001) kata “bandit” diartikan sebagai “penjahat besar.”
Kini istilah bandit yang “setengah pingsan” itu mengemuka kembali setelah beberapa hari lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla mengutarakan bahwa tidak semuanya pejabat itu bandit.
Profesi bandit memang selalu berhubungan dengan kriminalitas. Namun jika ditilik lebih jauh, dunia perbanditan bisa dikaitkan dengan gejala-gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Di Indonesia, perbanditan memang pernah turut mewarnai jalannya sejarah. Benggol, lenggaong, kecu, jago dan jawara adalah istilah-istilah yang disepadankan kepada orang-orang yang bermukim di dunia perbanditan.
Banyak mitos yang menyelubungi kisah perbanditan. Di Inggris Robinhood dikenal sebagai bandit dermawan yang punya kode etik: hanya merampok orang kaya dan membagikan hasil rampokannya pada orang-orang miskin.
Terminologi atau istilah mengenai perbanditan biasanya memang dipandang dari sudut yang subyektif, tergantung dari mana istilah itu diberikan. Biasanya terminologi itu muncul dari kalangan penguasa. Menurut sejarawan Suhartono W Pranoto di dalam bukunya “Bandit-Bandit di Pedesaan Jawa: Studi Historis 1850-1942” perbanditan selalu mengacu pada perbuatan individu atau kelompok yang menentang hukum. Selanjutnya, bandit itu mencakup pengertian: perampok berkawan; seorang yang mencuri; membunuh dengan cara kejam dan tanpa rasa malu (gangster); seorang yang mendapatkan keuntungan secara tidak wajar; dan musuh.
Perbanditan pada zaman kolonial juga bisa dipahami sebagai bentuk resistensi politik terhadap penguasa. Kata bandit memang berkonotasi buruk. Dan penamaan itu memang diberikan oleh pemerintah kolonial di dalam laporan-laporannya, terutama di dalam proces verbaal terhadap pelaku yang kebetulan adalah rakyat pribumi.
Ada beberapa sarjana yang pernah meneliti tentang dunia perbanditan, di antaranya Eric J. Hobsbawm, sejarawan Inggris yang mendefinisikan bandit sebagai seorang dari anggota kelompok yang menyerang dan merampok dengan kekerasan. Namun demikian menurut Hobsbawm, bandit terbagi ke dalam dua kategori, bandit biasa (ordinary bandit) dan bandit sosial (social bandit).
Dalam sejarah Indonesia, khususnya pada periode awal abad ke19, sulit membedakan perbanditan dengan kriminalitas biasa. Sejak pertengahan abad ke-19 pengaruh kultur barat makin kuat ke pedesaan. Pengaruh ini makin marak dengan hadirnya perkebunan dan pabrik di pedesaan Jawa sebagai pusat eksploitasi agraris. Terpuruknya kehidupan ekonomi di kalangan rakyat bawah mendorong munculnya kriminalitas yang acapkali dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat yang punya muatan politis di dalam menjalankan aksinya.
Di antara para bandit yang terkenal di zaman kolonial adalah Mas Jakaria dari Banten. Karir banditnya berlangsung dari tahun 1811-1827. Mendiang ayah Jakaria juga seorang bandit yang dijuluki sebagai pemberontak oleh pemerintah kolonial. Mas Jakaria melancarkan aksinya kepada golongan kaya dan membagikan hasil kejahatannya untuk rakyat miskin. Dari aksinya itu Suhartono mengategorikan Mas Jakaria sebagai bandit sosial.
Bandit sosial lain yang juga terkenal adalah Saniin Gede yang hidup pada abad ke-19. Menurut penuturan Multatuli di dalam Max Havelaar perbanditan di Banten sudah terorganisasikan sejak awal abad ke-19. Sama halnya dengan Mas Jakaria, Saniin Gede juga membagikan rampasannya kepada rakyat jelata.
Salah satu bandit sosial yang melakukan pembangkangan terhadap penguasa kolonial adalah Entong Gendut. Perbanditan ala Entong Gendut yang dilakukan pada 1916 itu merupakan simbol resistensi anti tuan tanah. Entong Gendut mewakili ketidakpuasan petani tanah partikelir di Tanjung Timur, Afdeling Jatinegara, Batavia. Perlawanan Entong Gendut ini kemudian berkembang menjadi gerakan quasi-religius (Suhartono: 1995, 136).
Gerakan perlawanan terhadap penguasa kolonial itu terjadi pada tanggal 7 Maret 1916. Saat itu Asisten Wedana Pasar Rebo mendatangi Taba untuk melakukan eksekusi. Seluruh harta kekayaannya harus ia lego untuk mebayar hutang sebesar f.7,20. Entong Gendut yang pada waktu itu sudah terkenal sebagai jago Betawi mencoba menggagalkan upaya Asisten Wedana itu. Pada tanggal 5 April 1916 Entong Gendut dan anak buahnya membubarkan pertunjukan topeng di rumah Nyonya Van der Vasse Rollinson di Villa Nova. Sementara itu rumah tuan tanah Tanjung Timur D.C. Ament dilempari batu oleh sekelompok penduduk.
Karena keberpihakannya pada petani dalam sekejap pendukungnya semakin bertambah banyak. Pada 9 April 1916 Entong Gendut menawan Asisten Wedana. Aksi-aksinya tersebut menimbulkan keresahan di kalangan penguasa kolonial, termasuk Asisten Residen Jatinegara tentunya. Oleh karena itu pada tanggal 10 April 1916 Asisten Residen berserta dengan pasukannya mencoba menangkap Entong Gendut yang disertai 40 orang pengikutnya. Namun tanpa diduga oleh polisi yang mengepungnya, Entong Gendut dan anak buahnya menyerang mereka sembari meneriakkan sabilillah. Perlawanan Entong Gendut dapat dipatahkan seketika dan Entong Gendut sendiri tewas diterjang peluru polisi.
Perbanditan lain yang juga masuk ke dalam kategori resistensi politik adalah gerakan Kaiin Bapa Kayah. Ia adalah petani kecil dari aderah Tangerang. Sejak zaman VOC daerah Tangerang menjadi tanah partikelir yang disewakan kepada orang-orang Tionghoa secara turun-temurun. Petani setempat yang menggarap lahan di sana dikenai pajak (cuke) sebesar seperlima hasil panen. Selain cuke, petani juga masih dibebani oleh pajak kompenian, sebuah aturan pajak dari VOC yang diberlakukan kepada petani untuk membayar pemakaian tanah untuk rumah, pekarangan dan tegalan. Pajak kompenian itu lantas digunakan untuk membiayai perbaikan jalan, jembatan dan ronda.
Dalam sebuah pesta khitan anak tirinya pada 9 dan 10 Februari 1922 ia mengumumkan dirinya akan menjadi raja di tanah Pangkalan dan Tanah Melayu. Saat itu ia berjanji akan mengusir orang Tionghoa sekaligus menghapuskan pajak cuke dan kompenian. Ia pun melancarkan aksinya dengan menangkapi warga Tionghoa dan yang berjanji akan pulang ke negerinya dibebaskan. Namun gerombolan Kaiin Bapa Kayah dapat dihentikan setelah terjadi baku tembak dengan polisi.
Dalam model perbanditan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah itu merupakan manifestasi dari kekecewaan petani terhadap tingginya beban pajak. Padahal hidup mereka sehari-hari amat mengandalkan tanah partikelir itu.
Secara umum pada periode paruh kedua abad ke-18 hingga awal abad ke-19 pemerintah kolonial selalu dibuat resah dengan maraknya gerakan perbanditan. Beberapa aksi itu memang lahir dari keadaan sosial ekonomi yang memprihatinkan. Namun tidak sedikit juga perbanditan yang memang motivasinya kriminal murni.
Secara umum situasi keamanan di Hindia Belanda, khususnya di Banten dan Batavia diliputi oleh keadaan yang kurang kondusif. Di sana sini terjadi kemelorotan ekonomi, terutama di kalangan rakyat pribumi kelas bawah. Keadaan yang demikian menjadi pemicu bagi munculnya gerakan perbanditan, baik yang bersifat kriminal biasa maupun yang bersifat sosio-politik.
Memasuki periode revolusi atau pasca kemerdekaan RI pun perbanditan tak kalah menariknya untuk disimak. Dalam periode ini terjadi kekaburan identitas di antara dua elemen sosial yang sebenarnya sangat kontradiktif. Bandit yang menjadi pejuang dan pejuang yang menjadi bandit.
Pada masa revolusi , para bandit atau yang kerap disebut jagoan dihadapkan pada dua pilihan: menjadi seorang kriminal atau revolusioner. Akan tetapi pada kenyataannya para jagoan itu itu mencampuradukkan dua dunia yang bertolak belakang itu untuk kepentingan pribadinya. Seorang penjahat sejati menganggap revolusi sebagai kesempatan baik untuk melakukan kejahatan. Seringkali, pemimpin bandit mencari legitimasi untuk revolusi dengan cara mengadopsi status formal seorang penguasa (Julianto Ibrahim: 2004, 221).
Anton Lucas di dalam karyanya “Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi” juga mengungkapkan adanya peran para bandit yang disebut lenggaong di dalam revolusi. Dalam “peristiwa tiga daerah” di Brebes, Tegal dan Pekalongan mereka memimpin aksi dombreng dan menyerang lurah-lurah dan mantan pejabat kolonial semasa revolusi sosial bulan Oktober 1945. Aksi-aksi tersebut lebih terlihat sebagai bentuk pembalasan terhadap struktur kekuasaan masa lalu yang tidak lagi punya kekuatan untuk berkuasa.
Dombreng berasal dari kata “tong” dan “breng”, dua bunyi kata Jawa yang menggambarkan pukulan pada kayu atau kaleng kosong, kentongan kayu (atau apa saja) yang dipukul para pengaraknya. Memang pada arak-arakan dombreng selalu diiringi bunyi kentongan sebagai tanda untuk menyiarkan berita bahwa mereka telah menangkap pencuri desa yang dalam hal ini merujuk kepada para pejabat desa yang korupsi (Lucas: 1989, 143).
Contoh menarik dari aksi lenggaong (baca: bandit) pada masa revolusi adalah Barisan Cengkrong (arit) di Comal. Tokohnya adalah Idris, dan Tarbu sebagai wakilnya. Kelompok ini sering makan di warung-warung pinggir jalan tanpa bayar. Kelompok ini mengangkat Ilham seorang guru desa bekas anggota Sarekat Rakyat dan Sarekat Islam sebagai penasihat politiknya. Barisan Cengkrong melancarkan aksinya dengan memecat lurah Petarukan yang korup. Barisan ini kemudian membagi-bagikan hasil rampasan harta lurah itu kepada rakyat. Tak hanya itu, Barisan Cengkrong juga mengambil alih Pabrik Gula Petarukan.
Lenggaong lain yang juga sama terkenalnya adalah Kutil. Pada bulan Oktober 1945 dedengkot lenggaong ini mendirikan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan menggunakan kantor Bank Rakyat Talang sebagai markasnya. Tujuannya membentuk AMRI ini adalah pembagian kekayaan kepada rakyat, dan tentu saja untuk mendapatkan itu semua ia melaksanakan aksi-aksi perampasan. Tujuan lain dari gerakan yang dipimpinnya adalah menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi agen NICA.
Pada akhir peristiwa Tiga Daerah aksi-aksi para lenggaong tersebut berhasil ditumpas oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebagian anggotanya dipenjara di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.
Dari sejarah diketahui bahwa kemunculan perbanditan tidak terlepas dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mengungkungi setiap zaman. Pada periode kolonial, perbanditan, khususnya yang bernuasa resitensi politik, merupakan reaksi dari penindasan penguasa kolonial. Sedangkan pada masa revolusi, seperti yang terjadi pada “Peristiwa Tiga Daerah” perbanditan mengemuka sebagai manifestasi perasaan dendam kepada pejabat kolonial dan keterpurukan kehidupan ekonomi yang membelit kehidupan rakyat.
Menimbang Kepahlawanan Soeharto
Bung Karno baru digelari pahlawan 14 tahun setelah kematiannya, sedangkan Bung Hatta harus menunggu lima tahun. Bagaimana dengan Soeharto?
Setelah Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari lalu, ada beragam pendapat yang mengemuka: sebagian masyarakat mengenangnya sebagai bapak pembangunan, sementara yang lain mengenangnya sebagai diktator. Bahkan Partai Golkar melalui beberapa petingginya mengusulkan agar mantan Presiden Soeharto digelari pahlawan. Munculnya berbagai kontroversi itu tak lepas dari keberhasilan Orde Baru di dalam mempropagandakan figur Soeharto sebagai penyelamat bangsa dari kehancuran ekonomi dan pencipta stabilitas negara. Ingatan sebagian masyarakat terhadap Soeharto pun tak pernah lepas dari citra yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru.
Pengertian pahlawan menurut Peraturan Presiden No. 33/1964 adalah: a) warga negara RI yang gugur dalam perjuangan dalam membela bangsa dan negara, b) warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannnya. Apakah mantan presiden Soeharto memenuhi ketentuan ini?
Nama Soeharto mulai populer ketika ia disebut-sebut sebagai perwira yang menginisiasi sekaligus memimpin Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Melalui serangan itu tentara Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam sekaligus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih eksis. Pada 1979, untuk menunjukkan peran penting Soeharto dalam SO 1 Maret 1949 itu dibuatlah film Janur Kuning yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja. Film itu kemudian menjadi tontonan wajib bagi semua lapisan rakyat, tak terkecuali siswa SD yang diharuskan menontonnya di bioskop-bioskop. Tak berhenti di sana, versi sejarah itu pun ditulis dalam buku-buku sejarah yang kemudian diajarkan kepada siswa sekolah.
Namun ketika tahun 1998 Soeharto tak lagi menjabat presiden muncul versi lain tentang peran Soeharto dalam SO 1 Maret 1949. Tentu saja versi-versi itu berbeda dengan apa yang selama Orde Baru sajikan kepada masyarakat. Dalam Pledoi Kolonel Abdul Latief misalnya, dikatakan bahwa pada saat serangan itu berlangsung ia menemui Soeharto sedang berada di front belakang sembari menyantap soto babat. Pengakuan lain yang juga berlawanan dengan versi resmi Orde Baru adalah tentang penggagas SO 1 Maret 1949 yang ternyata bukan digagas oleh Soeharto sendiri, melainkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Awal 1956 Soeharto jadi Panglima TT-IV/Diponegoro di Semarang. Pada saat itu, bekerjasama dengan pengusaha Bob Hasan, ia menjalankan aktivitas extra-militer menyelundupkan gula ke Singapura untuk dibarter dengan beras. Kelak Bob Hasan menjadi “partner” bisnisnya ketika ia berkuasa sebagai presiden di masa Orde Baru. Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan penyelundupan itu ia lakukan untuk mengatasi kekurangan pangan di Jawa Tengah. Namun demikian aktivitas extra-militer itu pula yang menyebabkannya diberhentikan sebagai panglima dan diperintahkan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung.
Robert Elson dalam Biografi Politik Soeharto mencatat pemberantasan korupsi di kalangan tentara tak terlepas dari peran penting Jenderal Nasution yang membentuk Inspektorat Jenderal Angkatan Bersenjata sebagai “tangan kanannya”. Pada April 1957 ia mengeluarkan perintah untuk menyelidiki tindakan korupsi di setiap komando teritorial, termasuk di antaranya TT IV pimpinan Soeharto. Atas mediasi Jenderal Gatot Subroto kepada pucuk pimpinan Angkatan Darat, Soeharto urung dipecat dari kedinasan tentara. Kariernya pun terselamatkan.
Pada saat konfrontasi dengan Malaysia berlangsung, Soeharto dipercaya menjabat Wakil Panglima Komando Siaga Mandala (Kolaga). Dalam pada itu ia telah memperhitungkan kalau kekuatan militer Indonesia tak sebanding dengan Malaysia yang didukung oleh Inggris dan Australia. Upaya penerjunan pasukan infiltran ke wilayah Malaysia seringkali gagal. Melihat beberapa kegagalan itu Soeharto lebih memilih untuk melakukan “jalan lain” di dalam menyelesaikan konfrontasi. Ia menugasi beberapa pembantunya untuk mengadakan kontak dengan pihak Malaysia yang kemudian menjadi langkah awal normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Tentu saja operasi-operasi itu dilakukan tanpa sepengetahuan Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi ABRI.
Pintu menuju kekuasaan semakin terbuka lebar ketika terjadi peristiwa 1 Oktober 1965. Posisi lowong yang ditinggalkan oleh Jenderal A Yani memberikan kesempatan kepada Soeharto untuk melancarkan perang terhadap PKI, musuh bebuyutan Angkatan Darat. Soeharto mengatakan ”....kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka.” Dalam otobiografi yang disusun oleh Ramadhan KH dan G Dwipayana itu pula ia jelaskan taktik Angkatan Darat membasmi komunis, “Tetapi saya tidak mau melibatkan AD secara langsung dalam pertentangan-pertentangan itu, kecuali pada saat-saat yang tepat dan terpaksa. Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya masing-masing...” ujar Soeharto.
Cara yang ditempuh Soeharto itu justru membawa petaka besar bagi bangsa Indonesia. Ratusan ribu orang (sumber lain mengatakan 3 juta) tewas dalam tragedi pembantaian massal sepanjang tahun 1965 - 1969. Sekira 10 ribu anggota dan simpatisan PKI ditahan di Pulau Buru tanpa terlebih dulu melalui proses pengadilan. Mereka dituduh terlibat, baik secara langsung maupun tidak, dalam peristiwa pembunuhan tujuh jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Di banyak daerah, anggota PNI (Ali Sastro-Surachman) pun tak luput dari penangkapan. Beberapa sarjana menyebut peristiwa itu sebagai “periode sejarah tersembunyi” yang tak pernah diungkap secara bebas semasa Soeharto berkuasa.
Konsolidasi kekuasaan Orde Baru membutuhkan kepastian stabilitas politik. Bukan hanya komunisme, semua yang hal yang dinilai bertalian erat dengan kekuasaan Soekarno dan memiliki potensi kontra dengan Orde Baru diminimalisasi sedemikian rupa. Hal itu sesuai dengan tugas Kabinet Pelita I: pemilihan umum; stabilitas politik; pembersihan aparatur negara; dan stabilitas ekonomi serta pembangunan lima tahun pertama.
Atas dasar stabilitas politik pula pemerintah Soeharto melakukan fusi terhadap partai-partai politik di tahun 1973. Golongan Karya jadi mesin politik Orde Baru yang hampir bisa dipastikan selalu memenangkan setiap kali penyelenggaraan pemilu. Soeharto selalu punya argumen bahwa era liberal di tahun 1950-an dengan sistem multipartai tak membawa Indonesia pada kemakmuran.
Pembangunan, stabilitas politik dan keamanan jadi tolok ukur keberhasilan Orde Baru, kendati pencapaian tersebut harus ditempuh dengan cara-cara yang mengabaikan demokrasi dan hak azasi manusia. Keberhasilan pembangunan yang dipuja-puji banyak pihak menjadi selubung penutup penderitaan rakyat di pelbagai sudut lain Indonesia. Harus pula dilihat sebagai sebuah fakta bahwa pembangunan di masa Soeharto berkuasa bertumpu pada “bantuan lunak” lembaga donor internasional yang semakin lama semakin berlipat ganda bunganya. Ketika Soeharto berhenti pada 1998, ia meninggalkan warisan utang (pemerintah dan swasta) sebesar US$ 150 miliar.
Warisan lain yang juga perlu diingat adalah korban pelanggaran kemanusiaan yang sejak Soeharto berkuasa (secara de facto) pada 1965, mulai dari pembantaian massal 1965-1969, pembuangan ke Pulau Buru, terlunta-luntanya nasib eksil di luar negeri, Tanjung Priok, penembakan misterius, Peristiwa Lampung, 27 Juli 1996, korban operasi militer di Aceh dan Papua, penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa Trisakti.
Bahwa ada sebagian orang mengatakan ia pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat sah-sah saja, tapi bagaimana dengan mereka yang justru dirugikan oleh pemerintah Orde Baru? Bukankah Perpres No.33/1964 mengatur bahwa seseorang yang membuat cacat nilai perjuangannnya tak memenuhi syarat untuk jadi pahlawan. Maka demi keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia baik yang sempat merasakan manisnya kue pembangunan maupun yang sebaliknya, cukup rasanya Soeharto dikenang sebagaimana adanya, tidak secara berlebihan apalagi sampai terlontar ide untuk memberinya gelar pahlawan.
Setelah Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari lalu, ada beragam pendapat yang mengemuka: sebagian masyarakat mengenangnya sebagai bapak pembangunan, sementara yang lain mengenangnya sebagai diktator. Bahkan Partai Golkar melalui beberapa petingginya mengusulkan agar mantan Presiden Soeharto digelari pahlawan. Munculnya berbagai kontroversi itu tak lepas dari keberhasilan Orde Baru di dalam mempropagandakan figur Soeharto sebagai penyelamat bangsa dari kehancuran ekonomi dan pencipta stabilitas negara. Ingatan sebagian masyarakat terhadap Soeharto pun tak pernah lepas dari citra yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru.
Pengertian pahlawan menurut Peraturan Presiden No. 33/1964 adalah: a) warga negara RI yang gugur dalam perjuangan dalam membela bangsa dan negara, b) warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannnya. Apakah mantan presiden Soeharto memenuhi ketentuan ini?
Nama Soeharto mulai populer ketika ia disebut-sebut sebagai perwira yang menginisiasi sekaligus memimpin Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Melalui serangan itu tentara Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam sekaligus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih eksis. Pada 1979, untuk menunjukkan peran penting Soeharto dalam SO 1 Maret 1949 itu dibuatlah film Janur Kuning yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja. Film itu kemudian menjadi tontonan wajib bagi semua lapisan rakyat, tak terkecuali siswa SD yang diharuskan menontonnya di bioskop-bioskop. Tak berhenti di sana, versi sejarah itu pun ditulis dalam buku-buku sejarah yang kemudian diajarkan kepada siswa sekolah.
Namun ketika tahun 1998 Soeharto tak lagi menjabat presiden muncul versi lain tentang peran Soeharto dalam SO 1 Maret 1949. Tentu saja versi-versi itu berbeda dengan apa yang selama Orde Baru sajikan kepada masyarakat. Dalam Pledoi Kolonel Abdul Latief misalnya, dikatakan bahwa pada saat serangan itu berlangsung ia menemui Soeharto sedang berada di front belakang sembari menyantap soto babat. Pengakuan lain yang juga berlawanan dengan versi resmi Orde Baru adalah tentang penggagas SO 1 Maret 1949 yang ternyata bukan digagas oleh Soeharto sendiri, melainkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Awal 1956 Soeharto jadi Panglima TT-IV/Diponegoro di Semarang. Pada saat itu, bekerjasama dengan pengusaha Bob Hasan, ia menjalankan aktivitas extra-militer menyelundupkan gula ke Singapura untuk dibarter dengan beras. Kelak Bob Hasan menjadi “partner” bisnisnya ketika ia berkuasa sebagai presiden di masa Orde Baru. Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan penyelundupan itu ia lakukan untuk mengatasi kekurangan pangan di Jawa Tengah. Namun demikian aktivitas extra-militer itu pula yang menyebabkannya diberhentikan sebagai panglima dan diperintahkan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung.
Robert Elson dalam Biografi Politik Soeharto mencatat pemberantasan korupsi di kalangan tentara tak terlepas dari peran penting Jenderal Nasution yang membentuk Inspektorat Jenderal Angkatan Bersenjata sebagai “tangan kanannya”. Pada April 1957 ia mengeluarkan perintah untuk menyelidiki tindakan korupsi di setiap komando teritorial, termasuk di antaranya TT IV pimpinan Soeharto. Atas mediasi Jenderal Gatot Subroto kepada pucuk pimpinan Angkatan Darat, Soeharto urung dipecat dari kedinasan tentara. Kariernya pun terselamatkan.
Pada saat konfrontasi dengan Malaysia berlangsung, Soeharto dipercaya menjabat Wakil Panglima Komando Siaga Mandala (Kolaga). Dalam pada itu ia telah memperhitungkan kalau kekuatan militer Indonesia tak sebanding dengan Malaysia yang didukung oleh Inggris dan Australia. Upaya penerjunan pasukan infiltran ke wilayah Malaysia seringkali gagal. Melihat beberapa kegagalan itu Soeharto lebih memilih untuk melakukan “jalan lain” di dalam menyelesaikan konfrontasi. Ia menugasi beberapa pembantunya untuk mengadakan kontak dengan pihak Malaysia yang kemudian menjadi langkah awal normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Tentu saja operasi-operasi itu dilakukan tanpa sepengetahuan Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi ABRI.
Pintu menuju kekuasaan semakin terbuka lebar ketika terjadi peristiwa 1 Oktober 1965. Posisi lowong yang ditinggalkan oleh Jenderal A Yani memberikan kesempatan kepada Soeharto untuk melancarkan perang terhadap PKI, musuh bebuyutan Angkatan Darat. Soeharto mengatakan ”....kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka.” Dalam otobiografi yang disusun oleh Ramadhan KH dan G Dwipayana itu pula ia jelaskan taktik Angkatan Darat membasmi komunis, “Tetapi saya tidak mau melibatkan AD secara langsung dalam pertentangan-pertentangan itu, kecuali pada saat-saat yang tepat dan terpaksa. Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya masing-masing...” ujar Soeharto.
Cara yang ditempuh Soeharto itu justru membawa petaka besar bagi bangsa Indonesia. Ratusan ribu orang (sumber lain mengatakan 3 juta) tewas dalam tragedi pembantaian massal sepanjang tahun 1965 - 1969. Sekira 10 ribu anggota dan simpatisan PKI ditahan di Pulau Buru tanpa terlebih dulu melalui proses pengadilan. Mereka dituduh terlibat, baik secara langsung maupun tidak, dalam peristiwa pembunuhan tujuh jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Di banyak daerah, anggota PNI (Ali Sastro-Surachman) pun tak luput dari penangkapan. Beberapa sarjana menyebut peristiwa itu sebagai “periode sejarah tersembunyi” yang tak pernah diungkap secara bebas semasa Soeharto berkuasa.
Konsolidasi kekuasaan Orde Baru membutuhkan kepastian stabilitas politik. Bukan hanya komunisme, semua yang hal yang dinilai bertalian erat dengan kekuasaan Soekarno dan memiliki potensi kontra dengan Orde Baru diminimalisasi sedemikian rupa. Hal itu sesuai dengan tugas Kabinet Pelita I: pemilihan umum; stabilitas politik; pembersihan aparatur negara; dan stabilitas ekonomi serta pembangunan lima tahun pertama.
Atas dasar stabilitas politik pula pemerintah Soeharto melakukan fusi terhadap partai-partai politik di tahun 1973. Golongan Karya jadi mesin politik Orde Baru yang hampir bisa dipastikan selalu memenangkan setiap kali penyelenggaraan pemilu. Soeharto selalu punya argumen bahwa era liberal di tahun 1950-an dengan sistem multipartai tak membawa Indonesia pada kemakmuran.
Pembangunan, stabilitas politik dan keamanan jadi tolok ukur keberhasilan Orde Baru, kendati pencapaian tersebut harus ditempuh dengan cara-cara yang mengabaikan demokrasi dan hak azasi manusia. Keberhasilan pembangunan yang dipuja-puji banyak pihak menjadi selubung penutup penderitaan rakyat di pelbagai sudut lain Indonesia. Harus pula dilihat sebagai sebuah fakta bahwa pembangunan di masa Soeharto berkuasa bertumpu pada “bantuan lunak” lembaga donor internasional yang semakin lama semakin berlipat ganda bunganya. Ketika Soeharto berhenti pada 1998, ia meninggalkan warisan utang (pemerintah dan swasta) sebesar US$ 150 miliar.
Warisan lain yang juga perlu diingat adalah korban pelanggaran kemanusiaan yang sejak Soeharto berkuasa (secara de facto) pada 1965, mulai dari pembantaian massal 1965-1969, pembuangan ke Pulau Buru, terlunta-luntanya nasib eksil di luar negeri, Tanjung Priok, penembakan misterius, Peristiwa Lampung, 27 Juli 1996, korban operasi militer di Aceh dan Papua, penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa Trisakti.
Bahwa ada sebagian orang mengatakan ia pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat sah-sah saja, tapi bagaimana dengan mereka yang justru dirugikan oleh pemerintah Orde Baru? Bukankah Perpres No.33/1964 mengatur bahwa seseorang yang membuat cacat nilai perjuangannnya tak memenuhi syarat untuk jadi pahlawan. Maka demi keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia baik yang sempat merasakan manisnya kue pembangunan maupun yang sebaliknya, cukup rasanya Soeharto dikenang sebagaimana adanya, tidak secara berlebihan apalagi sampai terlontar ide untuk memberinya gelar pahlawan.
Jalan Berliku Anak Kemusuk
Indonesia pada masa Orde Baru adalah antitesis kehidupan Soeharto di masa kecil.
“Saya mengalami banyak penderitaan yang tidak mungkin dialami oleh orang-orang lain,” ujar Soeharto dalam otobiografinya. Kehidupan Soeharto memang suram: terlahir dari orangtua yang bercerai dan harus hidup berpindah-pindah asuhan semasa belia samapi dengan remaja. Bahkan sekalipun diukur dari standar kehidupan keluarga di Jawa pada masa itu, ketika perceraian dianggap hal biasa, hidup Soeharto terlalu nelangsa untuk dibandingkan dengan yang lain. Kedua orangtua Soeharto, Kertosudiro dan Sukirah bercerai selang lima minggu setelah kelahirannya pada 8 Juni 1921. Ayahnya menikah lagi, begitu juga dengan Sukirah dua tahun setelah perceraiannya.
Praktis untuk beberapa lamanya Soeharto tumbuh tanpa didampingi ayahnya. Sementara Sukirah yang mungkin mengalami kelelahan mental selama proses melahirkan dan perceraian yang tiba-tiba, menderita tekanan psikis yang cukup berat. Dalam pengertian kedokteran zaman kini kemungkinan ia menderita baby blues syndrom, hal itu pula yang membuatnya meninggalkan Soeharto yang baru berusia 40 hari untuk pergi bertapa ngebleng selama beberapa hari. Sukirah yang “hilang” itu membuat panik keluarga, tujuh hari kemudian ia ditemukan dalam keadaan lemah pada sebuah rumah di dusun Kemusuk.
Keadaan fisik dan psikis demikian membuat Sukirah tak mampu merawat anaknya. Keluarga kemudian memutuskan supaya Soeharto diasuh oleh kakak perempuan Kertosudiro, istri dari Kromodiwiryo, bidan yang membantu proses persalinan Sukirah. Pada usia empat tahun Soeharto kembali diasuh oleh ibunya yang kini telah menikah lagi. Paling tidak sampai menginjak masa remaja, Soeharto selalu mengalami tarik-ulur asuhan antara keluarga ayahnya dengan ibunya sendiri.
Salah satu periode “gelap” dalam sejarah kehidupan Soeharto yaitu soal asal-usulnya sendiri. Ketidakjelasan riwayat Soeharto itu pula yang mendorong awak redaksi Majalah POP di Jakarta menurunkan laporan mengenai asal-usulnya pada 1974. Diberitakan bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipoero, seorang priayi keturunan Hamengkubuwono II yang membuang Soeharto yang berusia enam tahun bersama dengan ibunya kepada seorang penduduk desa Kertorejo. Padmosudiro, ayah Soeharto versi Majalah POP melakukan itu karena harus menikahi putri seorang kepala distrik berpengaruh (RE Elson: 2005, hal 29). Membaca laporan itu Soeharto berang. Ia mengadakan konferensi pers di Bina Graha, membantah gosip yang diembuskan Majalah POP. Belasan orang tua dan kawan sepermainannya dihadirkan di sana, dan mereka serempak mengatakan bahwa Soeharto adalah anak petani dari desa Kemusuk. Majalah POP lantas dibreidel karena dianggap mengganggu stabilitas nasional dan menciptakan ketidakpercayaan pada pemimpinnya.
Kontroversi mengenai asal usul Soeharto tak berhenti di sana. Versi resmi yang mengutip langsung keterangan Soeharto pun tidak menyurutkan kebingungan mengenai siapa orang tua Soeharto yang sebenarnya. Melalui OG Roeder dalam The Smiling General Soeharto mengatakan ibu Kertosoediro (nenek Soeharto dari pihak ayah) sebagai bidan yang membantu kelahirannya, pada lain kesempatan Soeharto mengatakan tante dari pihak ayahnyalah yang menolong Sukirah saat melahirkan Soeharto. Semua pernyataan yang membingungkan itu justru datang dari Soeharto sendiri, sehingga semakin mempertebal dugaan bahwa sebetulnya Soeharto lahir dari keluarga yang lebih dari sekadar biasa-biasa saja.
RE Elson dalam biografi politik Soeharto mengatakan gambaran kabur itu menghasilkan sebuah “kesimpulan” bahwa Soeharto adalah anak dari hasil perkawinan di bawah tangan dari seorang pria berstatus sosial cukup tinggi. Ia memprediksi hal itu dengan melihat kenyataan bahwa ayah biologis Soeharto masih bisa mengawasi dia dari jauh dan tetap turut campur tangan secara tidak langsung di dalam mengasuh Soeharto. Alasan lain yang juga memerkuat dugaan bahwa Soeharto bukan orang biasa adalah standar pendidikan yang ditempuhnya terlalu baik untuk ukuran “anak petani” pada masa itu. Satu kabar mengejutkan datang dari Mashuri, mantan tetangga sekaligus sahabat dekat Soeharto, yang mengatakan bahwa ayah biologis Soeharto adalah pedagang kelontong keturunan China.
Kehidupan yang penuh penderitaan dan masa kanak-kanak Soeharto yang kurang cemerlang membawa dampak psikologis bagi diri Soeharto. Kelak turut memengaruhi berbagai keputusannya yang menyangkut soal perekonomian dan – terutama – soal anak-anaknya. Ia seperti terobsesi pada kemakmuran yang semata-mata ia persempit maknanya menjadi pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan rakyat. Tak aneh jika semasa ia berkuasa, Soeharto menomorsatukan ekonomi ketimbang bidang lainnya. Ia juga tak mau melihat anaknya hidup menderita, sebagaimana yang ia pernah alami semasa kecil.
Berbeda dengan Soekarno atau Sjahrir yang sejak dini telah terbiasa membaca buku, Soeharto hanya akrab dengan filsafat Jawa yang ia pelajari dari Kiai Daryatmo di Wuryantoro. Filosofi hidup Soeharto tidak serumit Soekarno atau Sjahrir yang intim dengan pemikiran Karl Marx atau Ernest Renan. Cukup tiga aja: aja kagetan (jangan kaget), aja gumunan (jangan heran) dan aja dumeh (jangan mentang-mentang), Soeharto meniti jalan hidupnya.
Dengan tiga azimat sakti itu pula ia mengatur strategi ketika meletus peristiwa G.30.S 1965. Kolonel Abdul Latief mengaku telah melapor pada Soeharto perihal akan adanya gerakan dari sebagian perwira Angkatan Darat yang tak puas dengan kepemimpinan beberapa jenderal. Soeharto tidak kaget (aja kagetan), ia tetap menunggu apa yang bakal terjadi keesokan harinya.
Ternyata sejumlah perwira tinggi diculik pada dini hari 1 Oktober 1965. Melalui Hamid, juru kamera TVRI Soeharto mendapat laporan adanya suara tembakan. Beberapa jam kemudian atas perintah Umar Wirahadikusumah, Letkol. Sadjiman melaporkan kepada Soeharto tentang situasi di sekitar Monas yang dipenuhi tentara tak dikenal. Soeharto yang sudah mengetahui informasi hilangnya para jenderal segera mengumpulkan informasi dan tidak merasa heran dengan kejadian itu (aja gumunan). Ia sadar langkah apa yang harus dilakukanya. Merujuk pada kebiasaan di Angkatan Darat, mana kala Jenderal Yani berhalangan tugas, Soeharto mengambilalih posisi pimpinan Komando Angkatan Darat. Pada saat itulah ia melakoni ajaran ketiga dari Kiai Daryatmo: aja dumeh (jangan mentang-mentang).
Jalan berliku yang licin ia tempuh untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno. Dengan janji sanggup mengatasi keamanan dan keselamatan bangsa, ia meminta surat perintah dari Soekarno untuk melakukan semua itu sekaligus mengatakan pada Soekarno ia akan “mikul dhuwur mendhem jero” (memikul setinggi-tingginya jasa orang tua dan memendam sedalam-dalamnya kesalahan orang tua) Berbekal Surat Perintah Sebelas Maret 1966 itulah Soeharto meraih posisi puncak sebagai presiden. Ia tak bergeming betapa pun Soekarno mengemukakan dalam pidato 17 Agustus 1966 bahwa SP 11 Maret bukan suatu “transfer of sovereignity”, bukan peralihan kekuasaan. Para sejarawan menyebut apa yang dilakukan oleh Soeharto itu sebagai kudeta ala Jawa: merangkak pelan, tapi mematikan.
Setelah berkuasa jadi presiden, agaknya Soeharto mulai melupakan ajaran guru spiritualnya. Tahun 1974, ketika terjadi huru-hara 15 Januari (Malari), ia menutup beberapa koran termasuk di antaranya Pedoman milik Rosihan Anwar. Saat ditanya oleh Menteri Penerangan Mashuri SH soal bagaimana tindakan terhadap Pedoman, Soeharto menjawab “wis pateni wae!” (sudah, bunuh/tutup saja!). Soeharto menistakan ajaran aja kagetan, karena peristiwa Malari 1974 dan pemberitaan minor tentang ia dan istrinya di Pedoman membuatnya panik dan marah.
Dresden, 7 April 1995 sekelompok pengunjuk rasa mencaci-maki dan menghalang-halangi rombongan Presiden Soeharto yang sedang berkunjung ke kota itu Dalam perjalanan udara pulang ke Jakarta ia mengatakan kepada pers “akan menggebuk” mereka yang terlibat aksi itu. Beberapa aktivis ditangkap, termasuk di antaranya Sri Bintang Pamungkas. Soeharto tak mawas diri, ia malah heran mengapa ada orang yang begitu membenci dirinya. Lagi-lagi ia lupa soal ilmu aja gumunan yang sebelumnya ia pegang teguh.
Semakin lama ia berkuasa, semakin lupa pula ia menjalankan ajaran terakhir Kiai Daryatmo, aja dumeh. Soeharto menggunakan kekuasaannya untuk memberi izin kepada Tommy Soeharto mengimpor mobil dari Korea tanpa dibebani satu sen pun pajak. Izin itu dituangkan dalam Keputusan Presiden tentang mobil nasional (Keppres) No. 42/ 1996.
Entah karena tulah atau mungkin putaran roda sejarah, kekuasaan Soeharto akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998 setelah didahului oleh krisis ekonomi yang menghumbalang
Indonesia. Ribuan mahasiwa turun ke jalan menuntut Soeharto mundur. Dan ketika kekuasaannya berada di ujung tanduk, Soeharto teringat kembali pada filosofi Jawa yang ia dapat dari Kiai Daryatmo sekian puluh tahun lalu: lengser keprabon, mandeg pandhita.
“Saya mengalami banyak penderitaan yang tidak mungkin dialami oleh orang-orang lain,” ujar Soeharto dalam otobiografinya. Kehidupan Soeharto memang suram: terlahir dari orangtua yang bercerai dan harus hidup berpindah-pindah asuhan semasa belia samapi dengan remaja. Bahkan sekalipun diukur dari standar kehidupan keluarga di Jawa pada masa itu, ketika perceraian dianggap hal biasa, hidup Soeharto terlalu nelangsa untuk dibandingkan dengan yang lain. Kedua orangtua Soeharto, Kertosudiro dan Sukirah bercerai selang lima minggu setelah kelahirannya pada 8 Juni 1921. Ayahnya menikah lagi, begitu juga dengan Sukirah dua tahun setelah perceraiannya.
Praktis untuk beberapa lamanya Soeharto tumbuh tanpa didampingi ayahnya. Sementara Sukirah yang mungkin mengalami kelelahan mental selama proses melahirkan dan perceraian yang tiba-tiba, menderita tekanan psikis yang cukup berat. Dalam pengertian kedokteran zaman kini kemungkinan ia menderita baby blues syndrom, hal itu pula yang membuatnya meninggalkan Soeharto yang baru berusia 40 hari untuk pergi bertapa ngebleng selama beberapa hari. Sukirah yang “hilang” itu membuat panik keluarga, tujuh hari kemudian ia ditemukan dalam keadaan lemah pada sebuah rumah di dusun Kemusuk.
Keadaan fisik dan psikis demikian membuat Sukirah tak mampu merawat anaknya. Keluarga kemudian memutuskan supaya Soeharto diasuh oleh kakak perempuan Kertosudiro, istri dari Kromodiwiryo, bidan yang membantu proses persalinan Sukirah. Pada usia empat tahun Soeharto kembali diasuh oleh ibunya yang kini telah menikah lagi. Paling tidak sampai menginjak masa remaja, Soeharto selalu mengalami tarik-ulur asuhan antara keluarga ayahnya dengan ibunya sendiri.
Salah satu periode “gelap” dalam sejarah kehidupan Soeharto yaitu soal asal-usulnya sendiri. Ketidakjelasan riwayat Soeharto itu pula yang mendorong awak redaksi Majalah POP di Jakarta menurunkan laporan mengenai asal-usulnya pada 1974. Diberitakan bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipoero, seorang priayi keturunan Hamengkubuwono II yang membuang Soeharto yang berusia enam tahun bersama dengan ibunya kepada seorang penduduk desa Kertorejo. Padmosudiro, ayah Soeharto versi Majalah POP melakukan itu karena harus menikahi putri seorang kepala distrik berpengaruh (RE Elson: 2005, hal 29). Membaca laporan itu Soeharto berang. Ia mengadakan konferensi pers di Bina Graha, membantah gosip yang diembuskan Majalah POP. Belasan orang tua dan kawan sepermainannya dihadirkan di sana, dan mereka serempak mengatakan bahwa Soeharto adalah anak petani dari desa Kemusuk. Majalah POP lantas dibreidel karena dianggap mengganggu stabilitas nasional dan menciptakan ketidakpercayaan pada pemimpinnya.
Kontroversi mengenai asal usul Soeharto tak berhenti di sana. Versi resmi yang mengutip langsung keterangan Soeharto pun tidak menyurutkan kebingungan mengenai siapa orang tua Soeharto yang sebenarnya. Melalui OG Roeder dalam The Smiling General Soeharto mengatakan ibu Kertosoediro (nenek Soeharto dari pihak ayah) sebagai bidan yang membantu kelahirannya, pada lain kesempatan Soeharto mengatakan tante dari pihak ayahnyalah yang menolong Sukirah saat melahirkan Soeharto. Semua pernyataan yang membingungkan itu justru datang dari Soeharto sendiri, sehingga semakin mempertebal dugaan bahwa sebetulnya Soeharto lahir dari keluarga yang lebih dari sekadar biasa-biasa saja.
RE Elson dalam biografi politik Soeharto mengatakan gambaran kabur itu menghasilkan sebuah “kesimpulan” bahwa Soeharto adalah anak dari hasil perkawinan di bawah tangan dari seorang pria berstatus sosial cukup tinggi. Ia memprediksi hal itu dengan melihat kenyataan bahwa ayah biologis Soeharto masih bisa mengawasi dia dari jauh dan tetap turut campur tangan secara tidak langsung di dalam mengasuh Soeharto. Alasan lain yang juga memerkuat dugaan bahwa Soeharto bukan orang biasa adalah standar pendidikan yang ditempuhnya terlalu baik untuk ukuran “anak petani” pada masa itu. Satu kabar mengejutkan datang dari Mashuri, mantan tetangga sekaligus sahabat dekat Soeharto, yang mengatakan bahwa ayah biologis Soeharto adalah pedagang kelontong keturunan China.
Kehidupan yang penuh penderitaan dan masa kanak-kanak Soeharto yang kurang cemerlang membawa dampak psikologis bagi diri Soeharto. Kelak turut memengaruhi berbagai keputusannya yang menyangkut soal perekonomian dan – terutama – soal anak-anaknya. Ia seperti terobsesi pada kemakmuran yang semata-mata ia persempit maknanya menjadi pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan rakyat. Tak aneh jika semasa ia berkuasa, Soeharto menomorsatukan ekonomi ketimbang bidang lainnya. Ia juga tak mau melihat anaknya hidup menderita, sebagaimana yang ia pernah alami semasa kecil.
Berbeda dengan Soekarno atau Sjahrir yang sejak dini telah terbiasa membaca buku, Soeharto hanya akrab dengan filsafat Jawa yang ia pelajari dari Kiai Daryatmo di Wuryantoro. Filosofi hidup Soeharto tidak serumit Soekarno atau Sjahrir yang intim dengan pemikiran Karl Marx atau Ernest Renan. Cukup tiga aja: aja kagetan (jangan kaget), aja gumunan (jangan heran) dan aja dumeh (jangan mentang-mentang), Soeharto meniti jalan hidupnya.
Dengan tiga azimat sakti itu pula ia mengatur strategi ketika meletus peristiwa G.30.S 1965. Kolonel Abdul Latief mengaku telah melapor pada Soeharto perihal akan adanya gerakan dari sebagian perwira Angkatan Darat yang tak puas dengan kepemimpinan beberapa jenderal. Soeharto tidak kaget (aja kagetan), ia tetap menunggu apa yang bakal terjadi keesokan harinya.
Ternyata sejumlah perwira tinggi diculik pada dini hari 1 Oktober 1965. Melalui Hamid, juru kamera TVRI Soeharto mendapat laporan adanya suara tembakan. Beberapa jam kemudian atas perintah Umar Wirahadikusumah, Letkol. Sadjiman melaporkan kepada Soeharto tentang situasi di sekitar Monas yang dipenuhi tentara tak dikenal. Soeharto yang sudah mengetahui informasi hilangnya para jenderal segera mengumpulkan informasi dan tidak merasa heran dengan kejadian itu (aja gumunan). Ia sadar langkah apa yang harus dilakukanya. Merujuk pada kebiasaan di Angkatan Darat, mana kala Jenderal Yani berhalangan tugas, Soeharto mengambilalih posisi pimpinan Komando Angkatan Darat. Pada saat itulah ia melakoni ajaran ketiga dari Kiai Daryatmo: aja dumeh (jangan mentang-mentang).
Jalan berliku yang licin ia tempuh untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno. Dengan janji sanggup mengatasi keamanan dan keselamatan bangsa, ia meminta surat perintah dari Soekarno untuk melakukan semua itu sekaligus mengatakan pada Soekarno ia akan “mikul dhuwur mendhem jero” (memikul setinggi-tingginya jasa orang tua dan memendam sedalam-dalamnya kesalahan orang tua) Berbekal Surat Perintah Sebelas Maret 1966 itulah Soeharto meraih posisi puncak sebagai presiden. Ia tak bergeming betapa pun Soekarno mengemukakan dalam pidato 17 Agustus 1966 bahwa SP 11 Maret bukan suatu “transfer of sovereignity”, bukan peralihan kekuasaan. Para sejarawan menyebut apa yang dilakukan oleh Soeharto itu sebagai kudeta ala Jawa: merangkak pelan, tapi mematikan.
Setelah berkuasa jadi presiden, agaknya Soeharto mulai melupakan ajaran guru spiritualnya. Tahun 1974, ketika terjadi huru-hara 15 Januari (Malari), ia menutup beberapa koran termasuk di antaranya Pedoman milik Rosihan Anwar. Saat ditanya oleh Menteri Penerangan Mashuri SH soal bagaimana tindakan terhadap Pedoman, Soeharto menjawab “wis pateni wae!” (sudah, bunuh/tutup saja!). Soeharto menistakan ajaran aja kagetan, karena peristiwa Malari 1974 dan pemberitaan minor tentang ia dan istrinya di Pedoman membuatnya panik dan marah.
Dresden, 7 April 1995 sekelompok pengunjuk rasa mencaci-maki dan menghalang-halangi rombongan Presiden Soeharto yang sedang berkunjung ke kota itu Dalam perjalanan udara pulang ke Jakarta ia mengatakan kepada pers “akan menggebuk” mereka yang terlibat aksi itu. Beberapa aktivis ditangkap, termasuk di antaranya Sri Bintang Pamungkas. Soeharto tak mawas diri, ia malah heran mengapa ada orang yang begitu membenci dirinya. Lagi-lagi ia lupa soal ilmu aja gumunan yang sebelumnya ia pegang teguh.
Semakin lama ia berkuasa, semakin lupa pula ia menjalankan ajaran terakhir Kiai Daryatmo, aja dumeh. Soeharto menggunakan kekuasaannya untuk memberi izin kepada Tommy Soeharto mengimpor mobil dari Korea tanpa dibebani satu sen pun pajak. Izin itu dituangkan dalam Keputusan Presiden tentang mobil nasional (Keppres) No. 42/ 1996.
Entah karena tulah atau mungkin putaran roda sejarah, kekuasaan Soeharto akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998 setelah didahului oleh krisis ekonomi yang menghumbalang
Indonesia. Ribuan mahasiwa turun ke jalan menuntut Soeharto mundur. Dan ketika kekuasaannya berada di ujung tanduk, Soeharto teringat kembali pada filosofi Jawa yang ia dapat dari Kiai Daryatmo sekian puluh tahun lalu: lengser keprabon, mandeg pandhita.
Tragika Sejarah dan Libido Kekuasaan
Orang Belanda bilang, “In het heden ligt verleden, in het nu wat komen zal”, dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang kita juga mendapati apa yang akan datang.
Pada 2002 sebuah lembaga riset sejarah di Semarang menyelenggarakan penelitian mengenai kesadaran sejarah di kalangan pelajar SMA se-Kotamadya Semarang. Dalam riset itu ditanyakan apa yang pelajar ketahui tentang Bung Hatta selain sebagai proklamator. Hasil penelitian yang dilakukan selama dua minggu itu cukup mengejutkan: 80,1 persen pelajar SMA di Semarang tak kenal Bung Hatta kecuali sebagai proklamator. Titik.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, kurangnya bahan bacaan sejarah menjadi faktor utama penyebab rendahnya pengetahuan pelajar SMA terhadap sejarah bangsanya sendiri. Kalau pun buku bacaan sejarah di beberapa sekolah banyak tersedia, buku itu cuma jadi penghias rak perpustakaan saja. Tak menarik minat baca pelajar.
Sejarah memang identik dengan segala soal yang sudah usang, uzur dan tak lagi layak untuk diperbincangkan. Apalagi kalau soal yang usang dan uzur itu mengenai hal yang sangat menyakitkan. Membuat perih untuk dikenang, sehingga ada baiknya untuk dibuang. Namun bagaimana halnya bila peristiwa perih itu menjadi bagian pengalaman dari sebuah bangsa. Apakah perlu dilupakan atau terus diingat seraya mengambil pelajaran dari peristiwa itu untuk tak diulangi pada kini dan yang akan datang? Sebuah pertanyaan klise yang selalu diulang tapi sulit untuk dijawab.
Sejarah seibarat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena dari KTP orang bisa tahu tentang jatidiri seseorang. Begitu pun melalui sejarah, sebuah bangsa bisa tahu identitasnya. Namun sulitnya, sejarah, yang selalu dilupakan oleh manusia itu, acapkali digunakan sebagai alat legitimasi kebenaran seraya memahami sejarah dengan cara pandang yang hitam-putih, jagoan-penjahat.
Hari-hari belakangan ini kita banyak memiliki contoh betapa kita, sebagai bangsa, alpa dalam memahami sejarah sebagai satu pelajaran yang bijak. Pada zaman Orde Baru, kebenaran dalam versi sejarah diklaim sepihak. Penguasa – seakan-akan – tak ingin ada pluralitas narasi sejarah yang mengandung beragam versi dengan klaim kebenaran yang berlainan pula.
Pembakaran buku-buku pelajaran sejarah di beberapa daerah, seperti di Malang pada 12 November kemarin, memerlihatkan betapa sejarah masih dipahami secara hitam dan putih. Seperti diketahui, ihwal pemusnahan buku sejarah itu adalah tak dicantumkannya kata PKI di balik nama peristiwa G.30.S. Buku-buku tersebut dianggap menyesatkan dan memutarbalikan fakta yang terjadi. Hal serupa ini pula yang dilakukan oleh rezim Hittler pada Mei 1938 di Berlin, Jerman. Mereka beramai-ramai membakar buku karya Sigmund Freud, Albert Einstein, Thomas Mann, Jack London, HG Wells serta berbagai penulis lain.
Kesadaran Sejarah
Tanpa kesadaran sejarah, sulit bagi para pendiri bangsa ini untuk melancarkan gerakan kemerdekaan. Soekarno membaca dan kemudian memahami kondisi bangsanya dari kisah penderitaan yang terekam dalam novel karya Max Havelaar. Sementara itu Nehru mencoba menemukan jatidirinya dengan mempelajari sejarah India yang kemudian ia tuliskan dalam buku Discovery of India. Sistem pendidikan kolonial tak memberikan kesempatan kepada masyarakat di koloninya untuk mengenal dan memahami dirinya sendiri. Penguasa kolonial menyebarkan politik alienasi karena dengan demikian masyarakat di bawah sistem kolonial kehilangan kepribadian dan identitasnya.
Penguasa kolonial sekuat tenaga untuk mendistribusikan pelajaran sejarah dengan cara pandang yang mereka miliki. Dalam pelajaran sejarah versi Belanda, Diponegoro bukan seorang pahlawan Jawa nan gagah berani melainkan tak lebih dari seorang pecundang saja. Sehingga atas dalil dan dengan cara apa pun akan dipergunakan oleh rezim kolonial untuk menangkapnya.
Tapi tidak demikian dengan mereka yang telah tersadarkan secara historis. Seorang Diponegoro tetap pahlawan dan penebar semangat perlawanan terhadap kesemenaan bangsa penjajah. Kesadaran ini pula yang lantas ditularkan oleh Soekarno melalui pidatonya, menggenapi bangkitnya kesadaran sejarah masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu.
Berbeda dengan motif pemerintah kolonial yang menguasai kebenaran sejarah demi kelanggengan kekuasaannya, para aktivis politik nasionalis justru menghadirkan wajah lain sejarah bangsanya demi meraih kedaulatan sendiri. Tuduhan menghasut rakyat dan menyebarkan kebencian kepada pemerintah pun mereka terima.
Versi yang kontra dengan sejarah produk kolonial itulah yang kemudian dijadikan mainstream dalam sejarah Indonesia pascakemerdekaan. Melalui kongres sejarawan pada 1957 ditetapkan bahwa penulisan sejarah harus menempatkan tokoh bangsa Indonesia sebagai faktor dalam sejarah, menegasi apa yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah kolonial. Dalam soal ini sejarah berfungsi sebagai fondasi nasionalisme Indonesia yang menstimulasi kesadaran kolektif masyarakat terhadap masa lalu bangsanya sendiri. Pada akhirnya mereka bisa mengenali sekaligus memiliki jati diri yang utuh sebagai bagian dari sebuah bangsa yang merdeka.
Destruksi besar-besaran dalam pengajaran sejarah di Indonesia terjadi pada masa Orde Baru. Sejarah tampil bagaikan doktrin yang tak bisa tidak diperdebatkan “kebenarannya”. Seperti jembatan yang menghubungkan satu tepian sungai ke tepian di seberangnya, Orde Baru mencoba mencari akar legalitas kekuasaannya melalui penulisan kisah masa lalunya sendiri. Pemutaran film Pengchianatan G.30.S/PKI karya Arifin C. Noer juga dilakukan sebagai bagian dari upaya mendominasi ingatan atas peristiwa yang menjadi tonggak awal berdirinya Orde Baru.
Disadari atau tidak, politik penguasaan ingatan melalui karya sejarah itu memengaruhi sikap masyarakat dalam soal mengingat sesuatu. Dengan kata lain masyarakat menderita amnesia yang secara langsung berpengaruh pula pada sikap mereka yang apatis terhadap produksi kesalahan di masa lalu dan reproduksi kesalahan itu di masa kini. Itu bisa terjadi karena masyarakat tak dibiarkan memiliki ingatan dan mengenali sejarahnya sendiri tanpa campur tangan penguasa. Jangankan untuk mengingat atau memertanyakan peristiwa penting yang telah berlalu puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu, peristiwa yang belum lama terjadi pun tak lagi mengisi ruang ingatan masyarakat. Sebut saja kasus kaburnya koruptor Edy Tanzil, tiada satu pun orang di negeri ini yang menanyakan di manakah gerangan kini dia berada.
Distribusi ingatan masa lalu melalui pelajaran sejarah pun dilakukan sepenuhnya atas persetujuan penguasa melalui lembaga-lembaga standarisasi pelajaran. Bahkan pada era Orde Baru, Kejaksaan Agung yang tak memiliki kompetensi dalam soal kurikulum dan keilmuan (sejarah) pun bisa memberangus buku sejarah tanpa harus mengetahui (atau menguasai) kaidah ilmu sejarah.
Sebuah cerita lucu – kalau tak boleh disebut konyol – dikisahkan oleh Joesoef Isak, pengelola penerbit Hasta Mitra. Pada suatu hari di era jaya Orde Baru, ia dipanggil oleh Kejaksaan Agung RI utuk diminta pertanggungjawabannya atas penerbitan novel Pramoedya Ananta Toer. “Novel (Tetralogi Buru) ini mengandung ajaran komunisme yang dilarang pemerintah,” kata sang jaksa kepada Isak. “Bagaimana Anda tahu?” tanya Isak. Jaksa itu pun segera membalas,“Ya, saya tahu, perasaan saya mengatakan demikian”.
Jaksa tadi, dalam beberapa hal, mirip dengan anak-anak SMA di Semarang yang tak mengenal Bung Hatta kecuali sebagai proklamator. Bedanya, pelajar SMA itu mengenal Bung Hatta sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia bukan berdasar pada perasaan mereka. Dengan demikian, agenda terpenting yang harus dilakukan kini adalah terus memberikan wawasan sejarah kepada masyarakat agar mereka tak jadi alien di tengah bangsanya sendiri. Tentu saja sejarah yang dipisahkan dari kepentingan politik dan libido kekuasaan.
Pada 2002 sebuah lembaga riset sejarah di Semarang menyelenggarakan penelitian mengenai kesadaran sejarah di kalangan pelajar SMA se-Kotamadya Semarang. Dalam riset itu ditanyakan apa yang pelajar ketahui tentang Bung Hatta selain sebagai proklamator. Hasil penelitian yang dilakukan selama dua minggu itu cukup mengejutkan: 80,1 persen pelajar SMA di Semarang tak kenal Bung Hatta kecuali sebagai proklamator. Titik.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, kurangnya bahan bacaan sejarah menjadi faktor utama penyebab rendahnya pengetahuan pelajar SMA terhadap sejarah bangsanya sendiri. Kalau pun buku bacaan sejarah di beberapa sekolah banyak tersedia, buku itu cuma jadi penghias rak perpustakaan saja. Tak menarik minat baca pelajar.
Sejarah memang identik dengan segala soal yang sudah usang, uzur dan tak lagi layak untuk diperbincangkan. Apalagi kalau soal yang usang dan uzur itu mengenai hal yang sangat menyakitkan. Membuat perih untuk dikenang, sehingga ada baiknya untuk dibuang. Namun bagaimana halnya bila peristiwa perih itu menjadi bagian pengalaman dari sebuah bangsa. Apakah perlu dilupakan atau terus diingat seraya mengambil pelajaran dari peristiwa itu untuk tak diulangi pada kini dan yang akan datang? Sebuah pertanyaan klise yang selalu diulang tapi sulit untuk dijawab.
Sejarah seibarat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena dari KTP orang bisa tahu tentang jatidiri seseorang. Begitu pun melalui sejarah, sebuah bangsa bisa tahu identitasnya. Namun sulitnya, sejarah, yang selalu dilupakan oleh manusia itu, acapkali digunakan sebagai alat legitimasi kebenaran seraya memahami sejarah dengan cara pandang yang hitam-putih, jagoan-penjahat.
Hari-hari belakangan ini kita banyak memiliki contoh betapa kita, sebagai bangsa, alpa dalam memahami sejarah sebagai satu pelajaran yang bijak. Pada zaman Orde Baru, kebenaran dalam versi sejarah diklaim sepihak. Penguasa – seakan-akan – tak ingin ada pluralitas narasi sejarah yang mengandung beragam versi dengan klaim kebenaran yang berlainan pula.
Pembakaran buku-buku pelajaran sejarah di beberapa daerah, seperti di Malang pada 12 November kemarin, memerlihatkan betapa sejarah masih dipahami secara hitam dan putih. Seperti diketahui, ihwal pemusnahan buku sejarah itu adalah tak dicantumkannya kata PKI di balik nama peristiwa G.30.S. Buku-buku tersebut dianggap menyesatkan dan memutarbalikan fakta yang terjadi. Hal serupa ini pula yang dilakukan oleh rezim Hittler pada Mei 1938 di Berlin, Jerman. Mereka beramai-ramai membakar buku karya Sigmund Freud, Albert Einstein, Thomas Mann, Jack London, HG Wells serta berbagai penulis lain.
Kesadaran Sejarah
Tanpa kesadaran sejarah, sulit bagi para pendiri bangsa ini untuk melancarkan gerakan kemerdekaan. Soekarno membaca dan kemudian memahami kondisi bangsanya dari kisah penderitaan yang terekam dalam novel karya Max Havelaar. Sementara itu Nehru mencoba menemukan jatidirinya dengan mempelajari sejarah India yang kemudian ia tuliskan dalam buku Discovery of India. Sistem pendidikan kolonial tak memberikan kesempatan kepada masyarakat di koloninya untuk mengenal dan memahami dirinya sendiri. Penguasa kolonial menyebarkan politik alienasi karena dengan demikian masyarakat di bawah sistem kolonial kehilangan kepribadian dan identitasnya.
Penguasa kolonial sekuat tenaga untuk mendistribusikan pelajaran sejarah dengan cara pandang yang mereka miliki. Dalam pelajaran sejarah versi Belanda, Diponegoro bukan seorang pahlawan Jawa nan gagah berani melainkan tak lebih dari seorang pecundang saja. Sehingga atas dalil dan dengan cara apa pun akan dipergunakan oleh rezim kolonial untuk menangkapnya.
Tapi tidak demikian dengan mereka yang telah tersadarkan secara historis. Seorang Diponegoro tetap pahlawan dan penebar semangat perlawanan terhadap kesemenaan bangsa penjajah. Kesadaran ini pula yang lantas ditularkan oleh Soekarno melalui pidatonya, menggenapi bangkitnya kesadaran sejarah masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu.
Berbeda dengan motif pemerintah kolonial yang menguasai kebenaran sejarah demi kelanggengan kekuasaannya, para aktivis politik nasionalis justru menghadirkan wajah lain sejarah bangsanya demi meraih kedaulatan sendiri. Tuduhan menghasut rakyat dan menyebarkan kebencian kepada pemerintah pun mereka terima.
Versi yang kontra dengan sejarah produk kolonial itulah yang kemudian dijadikan mainstream dalam sejarah Indonesia pascakemerdekaan. Melalui kongres sejarawan pada 1957 ditetapkan bahwa penulisan sejarah harus menempatkan tokoh bangsa Indonesia sebagai faktor dalam sejarah, menegasi apa yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah kolonial. Dalam soal ini sejarah berfungsi sebagai fondasi nasionalisme Indonesia yang menstimulasi kesadaran kolektif masyarakat terhadap masa lalu bangsanya sendiri. Pada akhirnya mereka bisa mengenali sekaligus memiliki jati diri yang utuh sebagai bagian dari sebuah bangsa yang merdeka.
Destruksi besar-besaran dalam pengajaran sejarah di Indonesia terjadi pada masa Orde Baru. Sejarah tampil bagaikan doktrin yang tak bisa tidak diperdebatkan “kebenarannya”. Seperti jembatan yang menghubungkan satu tepian sungai ke tepian di seberangnya, Orde Baru mencoba mencari akar legalitas kekuasaannya melalui penulisan kisah masa lalunya sendiri. Pemutaran film Pengchianatan G.30.S/PKI karya Arifin C. Noer juga dilakukan sebagai bagian dari upaya mendominasi ingatan atas peristiwa yang menjadi tonggak awal berdirinya Orde Baru.
Disadari atau tidak, politik penguasaan ingatan melalui karya sejarah itu memengaruhi sikap masyarakat dalam soal mengingat sesuatu. Dengan kata lain masyarakat menderita amnesia yang secara langsung berpengaruh pula pada sikap mereka yang apatis terhadap produksi kesalahan di masa lalu dan reproduksi kesalahan itu di masa kini. Itu bisa terjadi karena masyarakat tak dibiarkan memiliki ingatan dan mengenali sejarahnya sendiri tanpa campur tangan penguasa. Jangankan untuk mengingat atau memertanyakan peristiwa penting yang telah berlalu puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu, peristiwa yang belum lama terjadi pun tak lagi mengisi ruang ingatan masyarakat. Sebut saja kasus kaburnya koruptor Edy Tanzil, tiada satu pun orang di negeri ini yang menanyakan di manakah gerangan kini dia berada.
Distribusi ingatan masa lalu melalui pelajaran sejarah pun dilakukan sepenuhnya atas persetujuan penguasa melalui lembaga-lembaga standarisasi pelajaran. Bahkan pada era Orde Baru, Kejaksaan Agung yang tak memiliki kompetensi dalam soal kurikulum dan keilmuan (sejarah) pun bisa memberangus buku sejarah tanpa harus mengetahui (atau menguasai) kaidah ilmu sejarah.
Sebuah cerita lucu – kalau tak boleh disebut konyol – dikisahkan oleh Joesoef Isak, pengelola penerbit Hasta Mitra. Pada suatu hari di era jaya Orde Baru, ia dipanggil oleh Kejaksaan Agung RI utuk diminta pertanggungjawabannya atas penerbitan novel Pramoedya Ananta Toer. “Novel (Tetralogi Buru) ini mengandung ajaran komunisme yang dilarang pemerintah,” kata sang jaksa kepada Isak. “Bagaimana Anda tahu?” tanya Isak. Jaksa itu pun segera membalas,“Ya, saya tahu, perasaan saya mengatakan demikian”.
Jaksa tadi, dalam beberapa hal, mirip dengan anak-anak SMA di Semarang yang tak mengenal Bung Hatta kecuali sebagai proklamator. Bedanya, pelajar SMA itu mengenal Bung Hatta sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia bukan berdasar pada perasaan mereka. Dengan demikian, agenda terpenting yang harus dilakukan kini adalah terus memberikan wawasan sejarah kepada masyarakat agar mereka tak jadi alien di tengah bangsanya sendiri. Tentu saja sejarah yang dipisahkan dari kepentingan politik dan libido kekuasaan.
Dari Nyi Loro Kidul sampai Soeharto
Kedudukan sejarah di dalam masyarakat sama pentingnya dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang memuat informasi tentang asal-usul seseorang. Begitupula sejarah, ia memberikan informasi mengenai dari mana dan bagaimana sebuah masyarakat bisa timbul dan menempati sebuah wilayah tertentu. Tak bisa dibayangkan bilamana ada sekelompok masyarakat yang tidak bisa menjelaskan dari mana mereka berasal, siapa pendahulu mereka di masa yang lalu. Mungkin saja bisa ada: mereka yang terdiri dari sekumpulan orang-orang yang mengidap amnesia.
Di negara kita sejarah selalu saja jadi urusan. Bukan apa-apa, bila perdebatan sudah mengarah kepada sejarah, yang muncul hanyalah klaim sepihak (legitimasi). Masing-masing pihak berlomba-lomba untuk mengklaim bahwa merekalah yang paling berjasa di masa lalu. Ujung-ujungnya bisa ditebak, pemuasan libido kekuasaan yang jadi tujuan.
Sejarah yang terbakukan di negeri ini memang erat kaitannya dengan kekuasaan. Tradisi penulisan semacam ini diwarisi sejak zaman para pujangga istana menulis babad mengenai para raja. Menurut Sartono Kartodirdjo (2005), apologisme atau legitimisme hadir secara menonjol sekali dalam historiografi tradisional. Kesemuanya melacak asal mula wangsa yang memerintah ke sumber yang mistis atau legendaris. Tentu saja hal itu ditujukan untuk melegitimasi sebuah kekuasaan.
Dalam proses memperkuat legitimasi wangsa Mataram misalnya, diciptakanlah mitos Nyi Loro Kidul yang disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawi sebagai pasangan abadi para raja-raja Mataram. Padahal menurut Pramoedya Ananta Toer, mitos Nyi Loro Kidul diciptakan oleh para pujangga istana sebagai jalan mengalihkan kekecewaan rakyat karena Sultan Agung gagal total menguasai Laut Jawa. Tak mengapa Laut Jawa lepas, karena toh Mataram masih punya Laut Selatan, di mana bersemayam Nyi Loro Kidul. Kemudian tercipta pula mitos turunannya: tabu mengenakan baju hijau di wilayah pantai selatan. Pemberlakuan tabu itu ditujukan untuk memutus asosiasi orang (Mataram) pada seragam hijau pasukan kompeni Belanda.
Pada masa kolonial para sejarawan Belanda menulis sejarahnya sendiri. Mereka mencoba menjelaskan kehadiran bangsa kulit putih dari negeri atas-angin sebagai satu tugas suci untuk memakmurkan rakyat Hindia sekaligus membuatnya beradab. Salah satu buku yang melegitimasikan kehadiran kaum kolonialis di negeri ini adalah “Geschiedenis van Nederlandsch-Indie” karya FW. Stapel.
Uniknya, sementara kehadiran Belanda mengancam legitimasi kekuasaan Mataram, pujangga istana pun menyusun serat Baron Sakender yang melegitimasi kehadiran Murjangkung (Jan Pieterszoon Coen) sebagai kekuasaan alternatif setelah Mataram. Dalam serat Baron Sakender itu Murjangkung disebut-sebut sebagai anak lelaki yang lahir dari perkawinan Sukmul dengan Putri Sunda. Sehingga wajar jika Murjangkung menguasai dan berkedudukan di Batavia.
Kekuasaan kolonial kemudian runtuh. Republik Indonesia berdiri. Sejarah yang ditulis berdasarkan mitos tidak serta merta berhenti. Bahkan sejarah ditulis untuk memproduksi mitos. Muhammad Yamin menulis 6.000 Tahun Sang Merah-Putih yang menghasilkan mitos bahwa warna merah-putih telah dikenal sejak enam abad lampau. Ia lantas menulis pula bahwa negara Republik Indonesia adalah bentuk pemerintah ketiga di nusantara yang mewarisi kekuasaan Sriwijaya-Syailendra dan kemudian Singasari-Majapahit. Argumentasi itu mengingatkan kita pada mitos The Third Reich milik Adolf Hittler nun pada masa Nazi-Jerman dulu.
Mitos dan legitimisme yang bercampur-aduk di dalam penulisan sejarah tradisional ternyata masih terus saja diadopsi oleh para sejarawan. Di awal kekuasaan Orde Baru muncul nama Nugroho Notosusanto. Ia memimpin sejumlah proyek penulisan sejarah. Salah satu yang dihasilkannya adalah Sejarah Nasional Indonesia (SNI) jilid VI yang melegitimasikan Orde Baru sebagai penguasa pasca keruntuhan Orde Lama. Serangkaian penulisan sejarah dilakukan untuk melegitimasi kepemimpinan Soeharto: ia dinobatkan sebagai pencetus ide Serangan Oemoem 1 Maret 1949, ditampilkan sebagai penyelamat bangsa Indonesia dari bahaya komunisme dan perannya ditonjolkan di dalam berbagai film sejarah. Walhasil, sejarah pun hadir sebagai doktrin kekuasaan ketimbang ilmu pengetahuan.
Setelah Soeharto mundur dari kekuasaan, meminjam istilah sejarawan Australia Gerry van Klinken, penulisan sejarah di Indonesia memasuki tahap “Battle for History”. Pada periode ini setiap kelompok mengajukan versi sejarahnya masing-masing. Korban politik Orde Baru menulis sejarah berdasarkan pengalamannya; sebaliknya lawan politik mereka di masa lalu juga melakukan hal yang sama. Hersri Setiawan menulis memoarnya selama ditahan di Pulau Buru, sementara itu Taufik Ismail menulis Katastrofi Mendunia.
Jika membawa perdebatan versi sejarah ini ke dalam ranah akademis yang demokratis, tentu saja hal ini sebuah hal yang menguntungkan. Mengingat selama hampir 30 tahun di bawah kekuasaan Orde Baru, pelajaran sejarah diajarkan secara sepihak, berdasarkan monoversi yang bersandar pada klaim kebenaran penguasa. Di sana-sini memang terjadi kebingungan. Guru-guru kerepotan menghadapi pertanyaan kritis murid-muridnya menyoal peristiwa G.30.S 1965. Tapi tentu itu lebih baik daripada mencekoki mereka (murid sekolah) dengan versi tunggal yang kebenarannya – menurut kaidah ilmu sejarah – masih perlu dipertanyakan kembali.
Pendek kata, pelajaran sejarah di negeri ini, terlebih pasca penarikan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung RI, tidak pernah beranjak lebih baik. Karena lagi-lagi yang diajarkan adalah sejarah yang dipenuhi mitos dan legitimasi kekuasaan. Jadi apa bedanya Nyi Loro Kidul dengan Albert Einstein? Nah lho!
Di negara kita sejarah selalu saja jadi urusan. Bukan apa-apa, bila perdebatan sudah mengarah kepada sejarah, yang muncul hanyalah klaim sepihak (legitimasi). Masing-masing pihak berlomba-lomba untuk mengklaim bahwa merekalah yang paling berjasa di masa lalu. Ujung-ujungnya bisa ditebak, pemuasan libido kekuasaan yang jadi tujuan.
Sejarah yang terbakukan di negeri ini memang erat kaitannya dengan kekuasaan. Tradisi penulisan semacam ini diwarisi sejak zaman para pujangga istana menulis babad mengenai para raja. Menurut Sartono Kartodirdjo (2005), apologisme atau legitimisme hadir secara menonjol sekali dalam historiografi tradisional. Kesemuanya melacak asal mula wangsa yang memerintah ke sumber yang mistis atau legendaris. Tentu saja hal itu ditujukan untuk melegitimasi sebuah kekuasaan.
Dalam proses memperkuat legitimasi wangsa Mataram misalnya, diciptakanlah mitos Nyi Loro Kidul yang disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawi sebagai pasangan abadi para raja-raja Mataram. Padahal menurut Pramoedya Ananta Toer, mitos Nyi Loro Kidul diciptakan oleh para pujangga istana sebagai jalan mengalihkan kekecewaan rakyat karena Sultan Agung gagal total menguasai Laut Jawa. Tak mengapa Laut Jawa lepas, karena toh Mataram masih punya Laut Selatan, di mana bersemayam Nyi Loro Kidul. Kemudian tercipta pula mitos turunannya: tabu mengenakan baju hijau di wilayah pantai selatan. Pemberlakuan tabu itu ditujukan untuk memutus asosiasi orang (Mataram) pada seragam hijau pasukan kompeni Belanda.
Pada masa kolonial para sejarawan Belanda menulis sejarahnya sendiri. Mereka mencoba menjelaskan kehadiran bangsa kulit putih dari negeri atas-angin sebagai satu tugas suci untuk memakmurkan rakyat Hindia sekaligus membuatnya beradab. Salah satu buku yang melegitimasikan kehadiran kaum kolonialis di negeri ini adalah “Geschiedenis van Nederlandsch-Indie” karya FW. Stapel.
Uniknya, sementara kehadiran Belanda mengancam legitimasi kekuasaan Mataram, pujangga istana pun menyusun serat Baron Sakender yang melegitimasi kehadiran Murjangkung (Jan Pieterszoon Coen) sebagai kekuasaan alternatif setelah Mataram. Dalam serat Baron Sakender itu Murjangkung disebut-sebut sebagai anak lelaki yang lahir dari perkawinan Sukmul dengan Putri Sunda. Sehingga wajar jika Murjangkung menguasai dan berkedudukan di Batavia.
Kekuasaan kolonial kemudian runtuh. Republik Indonesia berdiri. Sejarah yang ditulis berdasarkan mitos tidak serta merta berhenti. Bahkan sejarah ditulis untuk memproduksi mitos. Muhammad Yamin menulis 6.000 Tahun Sang Merah-Putih yang menghasilkan mitos bahwa warna merah-putih telah dikenal sejak enam abad lampau. Ia lantas menulis pula bahwa negara Republik Indonesia adalah bentuk pemerintah ketiga di nusantara yang mewarisi kekuasaan Sriwijaya-Syailendra dan kemudian Singasari-Majapahit. Argumentasi itu mengingatkan kita pada mitos The Third Reich milik Adolf Hittler nun pada masa Nazi-Jerman dulu.
Mitos dan legitimisme yang bercampur-aduk di dalam penulisan sejarah tradisional ternyata masih terus saja diadopsi oleh para sejarawan. Di awal kekuasaan Orde Baru muncul nama Nugroho Notosusanto. Ia memimpin sejumlah proyek penulisan sejarah. Salah satu yang dihasilkannya adalah Sejarah Nasional Indonesia (SNI) jilid VI yang melegitimasikan Orde Baru sebagai penguasa pasca keruntuhan Orde Lama. Serangkaian penulisan sejarah dilakukan untuk melegitimasi kepemimpinan Soeharto: ia dinobatkan sebagai pencetus ide Serangan Oemoem 1 Maret 1949, ditampilkan sebagai penyelamat bangsa Indonesia dari bahaya komunisme dan perannya ditonjolkan di dalam berbagai film sejarah. Walhasil, sejarah pun hadir sebagai doktrin kekuasaan ketimbang ilmu pengetahuan.
Setelah Soeharto mundur dari kekuasaan, meminjam istilah sejarawan Australia Gerry van Klinken, penulisan sejarah di Indonesia memasuki tahap “Battle for History”. Pada periode ini setiap kelompok mengajukan versi sejarahnya masing-masing. Korban politik Orde Baru menulis sejarah berdasarkan pengalamannya; sebaliknya lawan politik mereka di masa lalu juga melakukan hal yang sama. Hersri Setiawan menulis memoarnya selama ditahan di Pulau Buru, sementara itu Taufik Ismail menulis Katastrofi Mendunia.
Jika membawa perdebatan versi sejarah ini ke dalam ranah akademis yang demokratis, tentu saja hal ini sebuah hal yang menguntungkan. Mengingat selama hampir 30 tahun di bawah kekuasaan Orde Baru, pelajaran sejarah diajarkan secara sepihak, berdasarkan monoversi yang bersandar pada klaim kebenaran penguasa. Di sana-sini memang terjadi kebingungan. Guru-guru kerepotan menghadapi pertanyaan kritis murid-muridnya menyoal peristiwa G.30.S 1965. Tapi tentu itu lebih baik daripada mencekoki mereka (murid sekolah) dengan versi tunggal yang kebenarannya – menurut kaidah ilmu sejarah – masih perlu dipertanyakan kembali.
Pendek kata, pelajaran sejarah di negeri ini, terlebih pasca penarikan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung RI, tidak pernah beranjak lebih baik. Karena lagi-lagi yang diajarkan adalah sejarah yang dipenuhi mitos dan legitimasi kekuasaan. Jadi apa bedanya Nyi Loro Kidul dengan Albert Einstein? Nah lho!
Culik
Mungkin Anda masih ingat bagaimana cara orangtua melarang kita untuk main: “Awas, nanti ada culik, lho!” Ya, kata culik memang sudah akrab sejak kita masih kecil. Imajinasi kita terhadap culik pun beragam macam bentuknya. Mulai dari kalong wewe gombel, sejenis hantu perempuan berambut panjang yang gemar menculik anak-anak kecil, hingga culik modern yang berambut gondrong lengkap dengan senjata di tangan ala mafioso Sisilia nun di Italia sana.
Boleh percaya atau tidak, sejarah perubahan politik di negeri Indonesia yang tercinta ini selalu bermula dengan hal yang berbau-bau culik-menculik. Mau bukti? Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 diawali dengan peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok oleh para pemuda. Ide penculikan tersebut datang dari pemuda Sukarni, Ahmad Subardjo, Chaerul Saleh dan Adam Malik.
Kemudian, peralihan kekuasaan dari Bung Karno ke Pak Harto juga dimulai dengan peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat ke Lubang Buaya. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai G.30.S 1965. Ada banyak versi yang mengiringi peristiwa itu, mulai dari keterlibatan PKI, CIA sampai dengan intrik Soeharto untuk melakukan kudeta secara merangkak.
Menjelang runtuhnya kekuasaan Pak Harto, urusan culik-menculik ternyata masih terus saja berlangsung. Paling tidak ada puluhan aktivis mahasiswa yang hilang diculik paksa dalam kurun tahun 1997-1998. Tiga belas di antaranya hingga kini belum juga diketahui bagaimana nasibnya.
Bagaimana seandainya peristiwa penculikan tidak mengawali peristiwa bersejarah itu? Mungkin saja jalan sejarah negeri ini akan lain sama sekali dari buku-buku sejarah yang kita baca hari ini. Bak pistol yang meletuskan peluru, ada picu yang memulakannya. Pada tiga periode bersejarah itu, peristiwa penculikan seibarat picu yang mendorong proses sejarah yang terus berlanjut ke masa berikutnya.
Kalau pada peristiwa penculikan yang pertama menghasilkan kemerdekaan dan sukacita bagi bangsa Indonesia, maka pada peristiwa penculikan G.30.S 1965 dan kasus penculikan penghujung kekuasaan Soeharto menyebabkan dukacita yang mendalam.
Peristiwa G.30.S 1965 menjadi titik berangkat kekuasaan Orde Baru untuk menggantikan Soekarno. Peristiwa itu juga, mengutip pendapat Bertrand Russel, menjadi awal dari tragedi kemanusiaan terbesar pada abad ke-20 setelah holocaust di Jerman. Bukan hanya keluarga para jenderal AD yang berduka, tapi juga ribuan keluarga dari berbagai pelosok daerah di Indonesia mesti menanggung derita kehilangan sanak familinya.
Garis linear sejarah ternyata terus sinambung. Tak terputus. Kurun tahun 1997-1998 merupakan satu periode perulangan sejarah, dimana penculikan kembali terjadi. Mereka yang dianggap vokal dan anti pemerintah Soeharto dijadikan sasaran penculikan. Ada yang kembali, ada yang tidak. Hingga kini sekitar 14 aktivis hilang tak tentu rimbanya. Ada kabar penyair Widji Thukul, salah satu korban penculikan masih hidup, tapi sayangnya itu cuma kabar burung yang tak jelas di mana sarangnya. Sembilan tahun sudah penculikan aktivis berlalu, pemimpin datang dan pergi silih berganti, tapi sampai kasus ini belum juga terselesaikan.
Berbagai upaya untuk mencari penculik dan menemukan korban culik selalu menemui jalan buntu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang seyogianya dibentuk untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk untuk urusan penculikan ini, juga sudah wafat.
Lantas yang paling gress baru-baru ini, alih-alih cari jalan keluar, Jaksa Agung dan Komisi III DPR, Senin (29/1) lalu malah saling tunjuk hidung tentang siapa yang semestinya bekerja duluan untuk menyelesaikan perkara ini...weleh... Membaca berita itu mungkin culiknya malah ketawa-ketiwi sambil duduk-duduk, makan kacang goreng pula.
Kita pasti sepakat, bahwa dalam setiap kejadian ada makna yang bisa dipetik dan dipelajari. Manusia memang harus belajar dari kesalahan yang terjadi pada masa lampau, kalau kata orang Yunani Istoria magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan. Seperti juga kata orang Jerman yang sanggup mengatasi beban masa lalunya lewat slogan bewaltigung der vergangenheit.
Manusia memang tempatnya salah, dan seringkali kesalahan itu terjadi pada lubang yang sama. Oleh karena itu, untuk mengakhiri siklus culik-menculik yang mungkin saja terjadi pada peristiwa perubahan politik di masa selanjutnya, penyelesaian secara tuntas melalui jalur hukum. Itulah jalan terbaik yang harus ditempuh. Siapa tahu, ketika Anda melarang anak Anda bermain dengan “teror” yang sama dengan orang tua Anda dulu, anak-anak Anda akan bilang, “culiknya udah ketangkep, kok.” Tabik.
Boleh percaya atau tidak, sejarah perubahan politik di negeri Indonesia yang tercinta ini selalu bermula dengan hal yang berbau-bau culik-menculik. Mau bukti? Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 diawali dengan peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok oleh para pemuda. Ide penculikan tersebut datang dari pemuda Sukarni, Ahmad Subardjo, Chaerul Saleh dan Adam Malik.
Kemudian, peralihan kekuasaan dari Bung Karno ke Pak Harto juga dimulai dengan peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat ke Lubang Buaya. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai G.30.S 1965. Ada banyak versi yang mengiringi peristiwa itu, mulai dari keterlibatan PKI, CIA sampai dengan intrik Soeharto untuk melakukan kudeta secara merangkak.
Menjelang runtuhnya kekuasaan Pak Harto, urusan culik-menculik ternyata masih terus saja berlangsung. Paling tidak ada puluhan aktivis mahasiswa yang hilang diculik paksa dalam kurun tahun 1997-1998. Tiga belas di antaranya hingga kini belum juga diketahui bagaimana nasibnya.
Bagaimana seandainya peristiwa penculikan tidak mengawali peristiwa bersejarah itu? Mungkin saja jalan sejarah negeri ini akan lain sama sekali dari buku-buku sejarah yang kita baca hari ini. Bak pistol yang meletuskan peluru, ada picu yang memulakannya. Pada tiga periode bersejarah itu, peristiwa penculikan seibarat picu yang mendorong proses sejarah yang terus berlanjut ke masa berikutnya.
Kalau pada peristiwa penculikan yang pertama menghasilkan kemerdekaan dan sukacita bagi bangsa Indonesia, maka pada peristiwa penculikan G.30.S 1965 dan kasus penculikan penghujung kekuasaan Soeharto menyebabkan dukacita yang mendalam.
Peristiwa G.30.S 1965 menjadi titik berangkat kekuasaan Orde Baru untuk menggantikan Soekarno. Peristiwa itu juga, mengutip pendapat Bertrand Russel, menjadi awal dari tragedi kemanusiaan terbesar pada abad ke-20 setelah holocaust di Jerman. Bukan hanya keluarga para jenderal AD yang berduka, tapi juga ribuan keluarga dari berbagai pelosok daerah di Indonesia mesti menanggung derita kehilangan sanak familinya.
Garis linear sejarah ternyata terus sinambung. Tak terputus. Kurun tahun 1997-1998 merupakan satu periode perulangan sejarah, dimana penculikan kembali terjadi. Mereka yang dianggap vokal dan anti pemerintah Soeharto dijadikan sasaran penculikan. Ada yang kembali, ada yang tidak. Hingga kini sekitar 14 aktivis hilang tak tentu rimbanya. Ada kabar penyair Widji Thukul, salah satu korban penculikan masih hidup, tapi sayangnya itu cuma kabar burung yang tak jelas di mana sarangnya. Sembilan tahun sudah penculikan aktivis berlalu, pemimpin datang dan pergi silih berganti, tapi sampai kasus ini belum juga terselesaikan.
Berbagai upaya untuk mencari penculik dan menemukan korban culik selalu menemui jalan buntu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang seyogianya dibentuk untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk untuk urusan penculikan ini, juga sudah wafat.
Lantas yang paling gress baru-baru ini, alih-alih cari jalan keluar, Jaksa Agung dan Komisi III DPR, Senin (29/1) lalu malah saling tunjuk hidung tentang siapa yang semestinya bekerja duluan untuk menyelesaikan perkara ini...weleh... Membaca berita itu mungkin culiknya malah ketawa-ketiwi sambil duduk-duduk, makan kacang goreng pula.
Kita pasti sepakat, bahwa dalam setiap kejadian ada makna yang bisa dipetik dan dipelajari. Manusia memang harus belajar dari kesalahan yang terjadi pada masa lampau, kalau kata orang Yunani Istoria magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan. Seperti juga kata orang Jerman yang sanggup mengatasi beban masa lalunya lewat slogan bewaltigung der vergangenheit.
Manusia memang tempatnya salah, dan seringkali kesalahan itu terjadi pada lubang yang sama. Oleh karena itu, untuk mengakhiri siklus culik-menculik yang mungkin saja terjadi pada peristiwa perubahan politik di masa selanjutnya, penyelesaian secara tuntas melalui jalur hukum. Itulah jalan terbaik yang harus ditempuh. Siapa tahu, ketika Anda melarang anak Anda bermain dengan “teror” yang sama dengan orang tua Anda dulu, anak-anak Anda akan bilang, “culiknya udah ketangkep, kok.” Tabik.
Burjo, Tauge, Kucai
Jika Anda hidup di Pulau Jawa sebelum abad 19 jangan pernah berharap bisa menyantap bubur kacang hijau. Bubur kacang hijau atau beken disebut burjo yang dibuat dari kacang hijau dicampur gula merah, santan dan ketan hitam memang belum hadir di nusantara pada abad itu. Karena kacang hijau (phaseolus radiatus) bahan baku utama makanan tersebut baru hadir dan dikenal luas di Jawa sekira pertengan abad 19.
Jan Hooyman, seorang tuan tanah di Pondok Gede yang mencatat budi daya varietas tanaman dalam Verhandeling over de tegenwoordigen staat van den landbouw in de ommelanden van Batavia (Pembahasan mengenai status pertanian di pinggiran Batavia) belum menyebut-nyebut kacau hijau sebagai tumbuhan yang mulai ditanam di Batavia. Sementara itu Isaac Titsingh, pemimpin loji di Deshima, Jepang sejak 1780 – 1785 menulis sebuah artikel di Verhandelingen terbitan 1781 tentang pengolahan kacang hijau di Jepang. Verhandeling adalah laporan pembahasan di mana Hooyman turut pula menulis di sana. Kemungkinan besar, merujuk pada interpretasi sejarawan Dennys Lombard, kacau hijau belum masuk ke Jawa pada tahun itu.
Namun demikian dalam dagregister (laporan) VOC bertanggal 31 Juli 1670 - 31 Juli 1675 ditemukan kata-kata groene cadjangh yang juga bisa berarti kacang hijau. Tapi budidaya kacang hijau baru menyebar luas setelah orang-orang Tionghoa membawa dan menanamnya di Pulau Jawa. Sir Thomas Raffles, Gubernur Jenderal Hindia di bawah Inggris dalam History of Java menyebutkan bahwa orang-orang China menanam kacang hijau yang dibawa dari Jepang ke Jawa.
Dari beberapa literatur klasik itu bisa dimungkinkan jika kacang hijau dibawa dari Jepang dan orang-orang Chinalah yang berjasa di dalam mengembangkannya di Jawa. Kacang hijau kemudian melahirkan beberapa produk makanan turunannya, sebut saja semisal bakpia dan bakpao. Dua kue yang kini populer di kalangan masyarakat Indonesia itu pun, dilihat dari namanya, sudah pasti diperkenalkan oleh bangsa China. Kacang hijau pada masa kolonial dijadikan ransum yang praktis bagi militer dan para pelaut di zaman kolonial.
Produk turunan lain dari jenis tumbuhan yang bernama kacang hijau adalah tauge atau dan kecambah. Jadi kalau Anda juga hidup pada zaman sebelum abad 19, jangan pernah berharap bisa menikmati sayur tauge atau mungkin tahu goreng isi tauge. Tapi tahu sendiri sudah ada sejak 902 Masehi (824 Saka), sebagaimana disebutkan dalam sebuah piagam berbahasa Jawa kuno dari Jawa Timur bahwa tahu telah dihidangkan sebagai makanan dalam sebuah pesta makan.
Selain tauge ada satu lagi jenis sayuran yang juga dibawa dan diperkenalkan oleh orang-orang China, kucai. Sama dengan tauge, kucai juga kerapkali dihidangkan dengan cara ditumis dicampur dengan tahu. Tauge goreng makanan (yang diklaim) khas Kota Bogor malah memertemukan sekaligus beberapa jenis kuliner China: mie, kucai, tauge dan tauco. Baik burjo, tauge atau pun kucai sama-sama baiknya buat kesehatan. Satu yang pasti makanan-makan itu bisa terjangkau oleh semua kalangan. Menyantap burjo di kalangan mahasiswa dilakukan demi penghematan. Selain karena murah harganya, juga lezat rasanya. Pada saat yang bersamaan muncul sindiran kepada mereka tentang hadirnya sebuah kelas sosial baru dalam masyarakat, yakni burjois: suatu kelas masyarakat yang hanya mampu menyantap burjo saja. Tentu saja kelas burjo berbeda dengan mahasiswa kelas borju(is) yang tak kuatir menyantap apa pun karena jatah kiriman lancar dan selalu berlebih.
Jan Hooyman, seorang tuan tanah di Pondok Gede yang mencatat budi daya varietas tanaman dalam Verhandeling over de tegenwoordigen staat van den landbouw in de ommelanden van Batavia (Pembahasan mengenai status pertanian di pinggiran Batavia) belum menyebut-nyebut kacau hijau sebagai tumbuhan yang mulai ditanam di Batavia. Sementara itu Isaac Titsingh, pemimpin loji di Deshima, Jepang sejak 1780 – 1785 menulis sebuah artikel di Verhandelingen terbitan 1781 tentang pengolahan kacang hijau di Jepang. Verhandeling adalah laporan pembahasan di mana Hooyman turut pula menulis di sana. Kemungkinan besar, merujuk pada interpretasi sejarawan Dennys Lombard, kacau hijau belum masuk ke Jawa pada tahun itu.
Namun demikian dalam dagregister (laporan) VOC bertanggal 31 Juli 1670 - 31 Juli 1675 ditemukan kata-kata groene cadjangh yang juga bisa berarti kacang hijau. Tapi budidaya kacang hijau baru menyebar luas setelah orang-orang Tionghoa membawa dan menanamnya di Pulau Jawa. Sir Thomas Raffles, Gubernur Jenderal Hindia di bawah Inggris dalam History of Java menyebutkan bahwa orang-orang China menanam kacang hijau yang dibawa dari Jepang ke Jawa.
Dari beberapa literatur klasik itu bisa dimungkinkan jika kacang hijau dibawa dari Jepang dan orang-orang Chinalah yang berjasa di dalam mengembangkannya di Jawa. Kacang hijau kemudian melahirkan beberapa produk makanan turunannya, sebut saja semisal bakpia dan bakpao. Dua kue yang kini populer di kalangan masyarakat Indonesia itu pun, dilihat dari namanya, sudah pasti diperkenalkan oleh bangsa China. Kacang hijau pada masa kolonial dijadikan ransum yang praktis bagi militer dan para pelaut di zaman kolonial.
Produk turunan lain dari jenis tumbuhan yang bernama kacang hijau adalah tauge atau dan kecambah. Jadi kalau Anda juga hidup pada zaman sebelum abad 19, jangan pernah berharap bisa menikmati sayur tauge atau mungkin tahu goreng isi tauge. Tapi tahu sendiri sudah ada sejak 902 Masehi (824 Saka), sebagaimana disebutkan dalam sebuah piagam berbahasa Jawa kuno dari Jawa Timur bahwa tahu telah dihidangkan sebagai makanan dalam sebuah pesta makan.
Selain tauge ada satu lagi jenis sayuran yang juga dibawa dan diperkenalkan oleh orang-orang China, kucai. Sama dengan tauge, kucai juga kerapkali dihidangkan dengan cara ditumis dicampur dengan tahu. Tauge goreng makanan (yang diklaim) khas Kota Bogor malah memertemukan sekaligus beberapa jenis kuliner China: mie, kucai, tauge dan tauco. Baik burjo, tauge atau pun kucai sama-sama baiknya buat kesehatan. Satu yang pasti makanan-makan itu bisa terjangkau oleh semua kalangan. Menyantap burjo di kalangan mahasiswa dilakukan demi penghematan. Selain karena murah harganya, juga lezat rasanya. Pada saat yang bersamaan muncul sindiran kepada mereka tentang hadirnya sebuah kelas sosial baru dalam masyarakat, yakni burjois: suatu kelas masyarakat yang hanya mampu menyantap burjo saja. Tentu saja kelas burjo berbeda dengan mahasiswa kelas borju(is) yang tak kuatir menyantap apa pun karena jatah kiriman lancar dan selalu berlebih.
Subscribe to:
Posts (Atom)