Wednesday, March 12, 2008

Saya dan Joesoef Isak

Lelaki berkacamata tebal itu langsung duduk di atas tempat tidurnya begitu saya datang malam itu (21/02/08). Dia tersenyum seraya menyapa, “ah..kau.... Bung tahu dari siapa saya di sini?”

“Bapak itu wartawan beken, mana mungkin saya tak tahu kalau bapak dirawat di sini,” ujar saya bercanda.

Isak diam sejenak.

“Ah...sekarang saya tahu, pasti kamu tahu dari Asvi, kan? Barusan si Max juga datang tadi,” katanya

Saya cuma tersenyum. Mengiyakan.

Isak betul. Saya tahu kalau dia sakit dan dirawat di RS Tria Dipa dari pesan singkat yang dikirim oleh Asvi Warman Adam. Asvi adalah sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dia alumnus Ecole des Hautes Etudes Science en Sociales (EHESS), Sorbone, Prancis. Asvi menulis disertasi tentang hubungan dagang Indochina dengan Hindia Belanda di bawah bimbingan mahaguru sejarah Prof Dennys Lombard. Saya pernah jadi asisten Asvi ketika ia menulis biografi pendiri LIPI, Prof Dr Sarwono Prawirohardjo.

Sedangkan Max adalah Max Lane, penerjemah karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Max adalah Indonesianis yang mengajar di University of Sydney, Australia. Kini dia bekerja sebagai fellow research di Department of Malay Studies, National University of Singapore. Max sahabat diskusi saya tentang berbagai persoalan di Indonesia. Faiza Mardzoeki, penulis lakon Nyai Ontosoroh yang pernah dipentaskan di Jakarta beberapa waktu lalu, adalah istri Max. Buku Max yang terbaru adalah Bangsa yang Belum Selesai, diterbitkan tahun lalu oleh Reform Institute.

Joesoef Isak dirawat di RS Tria Dipa karena gangguan pernapasan. Ceritanya bermula ketika dia terlalu bernafsu mengedit biografi Zhou Enlai karya Han Suyin. Paling tidak itu yang dia ceritakan pada saat saya ketika menjenguknya di Tria Dipa. Isak memang gila kerja. Pada usia berkepala tujuh dia masih sanggup menyunting buku setebal 487 halaman itu. Dia lantas merasakan kelelahan yang teramat sangat. Sempat beberapa hari dirawat di RS Ongko Mulyo, Jakarta Timur. Ia tak betah dan minta pulang. Berobat jalan.

Dalam kata pengantar yang ia tulis, tampak kalau Isak mengidolakan Zhou Enlai, Perdana Menteri RRT yang sempat dijuluki sebagai penjilat Mao Dzedong. Buat Isak Zhou adalah politikus ulung yang punya pendirian dan teguh untuk memajukan China. Buatnya, baik Mao, Zhou Enlai maupun Bung Karno adalah tokoh sejarah panutan yang punya sikap di dalam menghadapi dominasi politik-ekonomi Barat.

Isak perokok berat. Operasi by pass jantung tak membuatnya berhenti merokok. Dia merokok seperti kereta bumel dan bisa menghabiskan dua bungkus rokok kretek filter Djarum Super dalam sehari. Nyambung terus tanpa jeda. Terlebih pada saat ngobrol soal sejarah atau pada saat bekerja. Kawan saya Garda Sembiring bercerita kalau datang bertamu ke rumah Isak dan diajak ke ruang kerjanya untuk adu bako, artinya dia cocok pada si tamu. Itulah yang agaknya terjadi pada saya. Kali pertama berkunjung ke rumahnya di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Pak Joesoef mengajak saya masuk ke ruangan kerjanya. Dan...jreeengg.....dia mulai membagi-bagi kisah hidupnya yang berliku, kaya akan pengalaman. Di sela-sela bercerita, tentu saja, asap rokok keluar berkepul-kepul dari mulutnya yang terus saja bersemangat berkisah tentang Indonesia di masa lalu. Tak terasa sore menjelang.

Garda Sembiring ialah aktivis. Dia pernah dijatuhi vonis 12 tahun penjara atas tuduhan melakukan percobaan makar dalam peristiwa 27 Juli 1996. Hukumannya setahun lebih ringan dari Ketua PRD Budiman Sudjatmiko. Bersama aktivis mahasiswa lainnya, Garda mendekam di Penjara Cipinang selama kurang lebih empat tahun. Dia bebas pada 1999 setelah Soeharto terjungkal dari kursi kekuasaan.

Suatu kali pernah saya mengajak serta seorang reporter muda untuk ikut berkenalan dengan tokoh pers ini. Devi, reporter muda itu, sempat terkesima melihat berbagai plakat penghargaan yang ada di ruang tamu, salah satunya pemberian Pemerintah Prancis, Chavalier de l’arts et des lettres (Pejuang Sastra dan Kesenian). Seperti biasa, kami lantas diajak ke ruangan kerjanya. Di sana kami mengobrol sekaligus mewawancarai Isak. Apa yang terjadi? Devi kelenger sempoyongan menghirup asap rokok Djarum yang terus berkepul-kepul di ruangan kerja berukuran 4 x 3 meter persegi itu.

Kalau sudah bekerja di depan komputer Isak lupa sering waktu. Tak jarang baru tidur setelah jarum jam menunjuk ke angka dua atau tiga dini hari. Karuan gaya hidup seperti itu membuat kondisi kesehatan Isak drop kembali. Tapi dia tak kehabisan akal. Isak membeli jamu sachet seharga tiga ribu rupiah. Dia minum dua kali. Hasilnya tokcer. “Tiga hari saya nggak lagi sesak nafas. Ringan semua badan saya,” katanya.

“Sembuh dong, pak?” tanya saya.

“Apaan sembuh? Saya berak darah. Saya tak pernah merasakan sesak nafas sehebat itu. Hemoglobin saya drop sampai enam. Hasilnya ya ini, saya dirawat lagi..hahaha,” ujarnya terkekeh.

Hemoglobin normal buat pria berkisar 13,8 – 17,2 gm/dl. Bisa dibayangkan betapa parahnya kondisi Isak saat itu. Banyak jamu palsu beredar di pasaran menggunakan bahan kimia yang dicampur dengan bahan-bahan alami lainnya supaya tampak seperti jamu betulan. Beberapa tahun lalu pemerintah pernah menyita dan merazia jamu palsu yang beredar pasar. Tapi rupanya produsen jamu palsu itu tak jera untuk memasarkan jamu asli tapi palsu itu kepada masyarakat. Dan Isak jadi korbannya kali ini.

Joesoef Isak adalah wartawan senior. Dia lahir Kampung Ketapang, Jakarta Pusat pada 1928. Ayahnya bekerja di kantor telegraf milik Inggris di Jakarta. Isak memulai pekerjaannya sebagai wartawan di Berita Indonesia, surat kabar republikein pertama yang didirikan oleh beberapa tokoh pers nasional, antara lain S Tahsin. Pada 1949 BM Diah membeli Berita Indonesia dan menggabungkannya dengan koran Merdeka yang didirikannya pada 1 Oktober 1945. Otomatis Isak pun jadi wartawan koran Merdeka dan merintis karier di sana hingga mencapai posisi Pemimpin Redaksi. Pada zamannya, Isak orang besar dan berpengaruh. Dia aktif dalam berbagai organisasi profesi kewartawanan baik di dalam dan di luar negeri, mulai dari ketua PWI Jakarta sampai dengan Sekjen Persatuan Wartawan Asia afrika (PWAA).

Pada 1965 terjadi peristiwa G.30.S. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh berada di belakang kejadian yang menelan korban enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat (AD). Kampanye di koran-koran yang berafiliasi pada AD membangkitkan histeria massa. Di mana-mana anggota dan simpatisan PKI dikejar-kejar, ditangkap, dianiaya dan dibunuh semena-mena, seolah nyawa tujuh orang tentara baru impas tertebus oleh nyawa ratusan ribu bahkan jutaan kaum kiri di Indonesia yang tak bersalah. Isak termasuk mereka yang harus mengalami penahanan paksa tanpa pengadilan.

Pada kurun tahun 1965 – 1967 Isak harus bolak-balik memenuhi panggilan aparat militer untuk diinterogasi. Pada 1967 ia dipenjarakan di Salemba tanpa bukti dan pengadilan apapun. Sekeluarnya dari penjara Salemba, bersama dengan Pramoedya Ananta Toer dan Hasyim Rahman dia mendirikan penerbita Hasta Mitra pada April 1980. Buku pertama yang diterbitkan Hasta Mitra adalah Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam jangka waktu dua minggu buku itu ludes terjual. Tapi agaknya berita gembira itu tak menyenangkan buat pemerintah Orde Baru. Pada 29 Mei 1981 Kejaksaan Agung RI melarang karya maestro sastra Indonesia itu beredar.

Secara tak sadar, melalui keputusan pelarangan itu, Kejaksaan Agung telah menjadi “promotor” yang baik bagi buku Tetralogi Buru. Semakin dilarang, semakin dicari oleh masyarakat. Di kalangan mahasiswa pergerakan, Tetralogi Buru diedarkan secara klandestin, kendati beresiko dibui, seperti yang dilakukan oleh Bonar Tigor Naipospos, mahasiswa-cum-aktivis UGM yang tertangkap oleh aparat militer dengan tuduhan mengedarkan buku terlarang. Verdi, anak tertua Joesoef Isak pun kena getahnya, dia dikeluarkan dari Universitas Indonesia gara-gara mengundang Pramoedya Ananta Toer diskusi di kampusnya.

Karya Pramoedya Ananta Toer ternyata mengundang minat Max Lane, pria Australia yang saat itu bekerja sebagai staff konsul dagang di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Perlahan karya Pramoedya mulai dikenal luas publik internasional, dan berantai diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Isak tak pernah kapok menerbitkan karya-karya Pramoedya. Begitu dilarang, ia menerbitkan serial lain Tetralogi Buru. Seketika pula Kejaksaan Agung memanggil lagi Isak untuk dimintai keterangan. Dalam sebuah interogasinya di Kejaksaan Agung dia ditanya tentang tanggungjawabnya sebagai penerbit “buku sastra marxis” karya Pramoedya Ananta Toer. Isak bertanya balik kepada jaksa itu apakah dia dapat menunjukkan satu kalimat saja yang mengandung “sastra Marxis”? “Saya tak bisa menunjukkan secara pasti yang mana, tapi saya bisa merasakannya,” kata jaksa itu. Bayangkan, buku setebal empat ratus halaman itu bisa dipahami hanya dengan dirasakan!

Itulah yang membuat Isak kesal. Ia mengatakan hal itu sebagai sebuah kedunguan. Cerita itu pula yang dikisahkannya pada berbagai forum, seperti di saat ia berceramah di Universitas Fordham, New York pada 1999 dan pada “Hari Sastra Indonesia” di Paris pada Oktober 2004. Ceramah itu lantas dikutip oleh Bersihar Lubis dalam artikel opininya, Kisah Interogator Dungu, di Koran Tempo edisi 17 Maret 2007. Wartawan senior itu prihatin dengan keputusan Kejaksaan Agung No. 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 yang melarang peredaran 13 buku sejarah sekolah yang tak mencantumkan nama PKI sebagai dalang G.30.S.

Bersihar melihat ada benang merah yang tersambung antara kasus yang pernah dihadapi oleh Joesoef Isak dengan apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung saat melarang buku peredaran sejarah. Kejaksaan Agung tak begitu saja terima dengan tulisan Bersihar. Beberapa jaksa dari Kejaksaan Negeri Depok lantas melaporkan kasus penghinaan institusi negara kepada Polres Depok. Kasus ini berujung pada pengadilan Bersihar Lubis atas tuduhan melanggar pasal 207 KUHP.

Joesoef Isak sempat dihadirkan sebagai saksi. Dalam persidangan itu ia mengatakan tak secara persis mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Bersihar Lubis di Koran Tempo. Bersihar kemudian menunjukan kata “idiocy” yang ada dalam makalah Isak di Universitas Fordham, dari situ ia mengutipnya.

Bagi saya, kata “dungu” yang terlontar dari mulut Isak bisa dipahami dan memang punya alasan kuat. Isak pernah dipenjara selama bertahun-tahun tanpa diadili oleh Orde Baru. Ketika sudah bebas, ia kembali berurusan dengan penguasa, dalam hal ini Kejaksaan Agung yang melarang buku-buku yang diterbitkannya. Pada saat itu pula dia dipaksa mengakui bahwa novel Bumi Manusia mengandung “sastra marxisme”, lebih-lebih tuduhan itu didasarkan oleh “perasaan” saja. Isak cuma manusia biasa, yang amat mungkin jadi emosional dan melontarkan cercaan kepada jaksa. Tapi sebandingkah cercaan itu dengan apa yang dialami oleh Isak: dipenjara 10 tahun; tanpa cukup makan; mendapat stigma buruk; dan dijadikan warga negara kelas kambing oleh rezim Orde Baru?

Sekira Januari 2007, saya pernah mendengar langsung kisah interogasi itu dari Isak. Ia memang terlihat marah. Dan kata dungu itu terlontar begitu saja, melambangkan betapa sebalnya dia kepada Kejaksaan Agung. Tentu saja waktu itu saya tak sadar kalau di kemudian hari cerita ini jadi perkara yang melibatkan rekan seprofesi saya, Bersihar Lubis.

Pada 12 Januari 2008, ketika dalam perjalanan menuju Banten, saya ditelpon oleh Bersihar Lubis. Dia menanyakan apakah saya bersedia menjadi saksi yang meringankan dirinya dalam persidangan yang bakal digelar pada 17 Januari. Saya jawab: siap. Selain saya, Bersihar menghadirkan dua saksi lainnya, yakni Direktur Utama PT Tempo Inti Media Bambang Harimurti dan Pemred Koran Tempo S Malela Mahargasarie. Saya dihadirkan dengan pertimbangan pernah menulis hal yang sama dengan apa yang pernah ditulis oleh Bersihar di Koran TEMPO edisi 17 Maret 2007. Saya menulis artikel Tragika Sejarah dan Libido Kekuasaan untuk koran Jurnal Nasional, 18 November 2007.

Dalam sidang saya memberi kesaksian bahwa apa yang dikutip oleh Bersihar itu benar adanya. Dan saya sendiri pernah mendengar langsung dari Isak bahwa dia mengatakan sebagaimana apa yang dikutip oleh Bersihar Lubis dalam tulisannya di Koran Tempo. Tapi buat saya, demikian kata saya kepada majelis hakim, itu tidak penting. Yang harus dipersoalkan adalah pelarangan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung. Persoalan buku sejarah adalah wacana akademik, bukan politik. Penulisan sejarah tak boleh diintervensi oleh kekuasaan, apalagi digunakan untuk melegitimasi kekuasaan sebuah rezim, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.

Saya sendiri melihat ada ketidakberesan dalam sidang itu. Paling tidak dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh jaksa kepada saya. “Saudara saksi mengatakan bekerja sebagai redaktur di Jurnal Nasional, apakah jabatan Anda di sana?,” tanya Jaksa Tikyono pada saya. Pertanyaan itu tak saya jawab, karena bingung harus jawab apa. Tampak kalau jaksa tak menguasai perkara yang ditanganinya; paling tidak semestinya dia memahami seluk beluk dunia jurnalisitik: bahwa redaktur itu adalah jabatan dalam sebuah media massa.

Bersihar Lubis akhirnya divonis bersalah oleh majelis hakim PN Depok pada 20 Februari 2008. Dia dihukum satu bulan penjara dengan tiga bulan masa percobaan. Bagi saya ini sebuah keputusan yang menciderai rasa keadilan. Seharusnya hakim dan jaksa merujuk kepada UU Pokok Pers No 40/1999 bukan KUHP dan pihak Kejaksaan Agung semestinya menggunakan hak jawab untuk menyangkal argumen Bersihar Lubis dalam tulisannya.

Proses pengadilan itu juga saya ceritakan pada Joesoef Isak ketika saya menjenguknya. Lagi-lagi dia menceritakan pada saya tentang apa yang dialaminya selama interogasi dengan Kejaksaan Agung tahun 1982 yang lampau. Seperti biasa, Isak selalu bersemangat.

Buat saya, Joesoef Isak orang hebat, kaliber internasional. Dia adalah wartawan yang tak patah semangat, tiada peduli sepatu lars kekuasaan Orde Baru pernah menginjak-injak haknya sebagai manusia merdeka. Satu hal yang selalu saya ingat kalau sedang mampir ke rumahnya, ia selalu memberi wejangan yang bernada provokasi kepada saya, “Bung harus terus berlawan!” kata dia bersemangat sambil mengepulkan asap rokoknya.

Baik, Pak Joesoef, saya akan terus berlawan! Semoga lekas sembuh.

Persatean, Persotoan, Persatuan

Belakangan ini kita dibikin senewen oleh berita klaim sepihak atas kekayaan budaya Indonesia oleh negeri tetangga. Lagu rasa sayange sampai dengan congklak kini telah diakui sebagai milik negeri jiran, seketika pula kita jadi latah, buru-buru mengiventarisir semua aset warisan budaya bangsa. Getir memang, terlebih ketika kita baru tersadar belakangan tentang hal yang selama ini tak kita anggap sebagai penting.

Tapi bagaimana jadinya kalau bangsa China menuntut atas budaya kuliner mereka yang telah jadi bagian kehidupan kita sehari-hari? Alamaak, bisa pusing hidup ini tanpa kwetiau, capcay, soto, sate, bakso di meja makan kita. Kalau Anda jalan-jalan ke berbagai belahan dunia, kita dapat dengan mudah menemukan makanan China. Soal rasa jangan ditanyakan lagi, pasti cocok dengan lidah melayu.

Tapi satu hal yang tak pernah ditanyakan oleh kita sejak kapan gerangan berbagai jenis makanan itu masuk dan diterima di kalangan masyarakat kita? Sebuah pertanyaan yang tak pernah muncul karena biasanya kita langsung main santap zonder pikir panjang lagi.

Soto, makanan yang sangat populer. Hampir di setiap daerah dapat ditemukan soto dengan variasi yang berbeda, disesuaikan dengan selera di tiap-tiap daerah. Soto Banjar tentu berbeda dengan Soto Madura atau dengan Soto Kudus. Tapi kendati berbeda, judulnya tetap sama: soto. Soto kemungkinan besar dibawa oleh masyarakat China yang datang ke Indonesia. Kapan tepatnya, belum ditemukan sumber yang mencatat kedatangan soto ke Indonesia. Namun “saudara kandung” soto, yakni laksa, diperkirakan telah disantap oleh penduduk Nusantara sejak zaman Majapahit. Dalam piagam Biluluk bertahun 1391 disebutkan kata “hanglaksa” yang berarti pembuat laksa, yang berarti juga pada tahun itu laksa telah dikenal oleh masyarakat.

Sate juga tak kalah populernya di Indonesia. Bumbu kacang pada sate cukup digemari tidak hanya oleh masyarakat Indonesia, tapi juga wisatawan asing yang datang ke Indonesia, “saus yang eksotik,” kata mereka. Sate memang bervariasi. Di Banten ada sate yang tak dilengkapi dengan dengan bumbu kacang, panggang namanya. Di purwakarta juga terkenal dengan sate marangginya. Sate Madura dan sate Betawi adalah dua jenis sate yang paling terkenal dari semua sate di Indonesia.

Ngomong-omong soal bumbu kacang, tentu pelengkap hidangan sate itu takkan ada, kalau kacang tanah tak tersedia. Nah, bagaimana sejarah kehadiran kacang tanah di Indonesia? Menurut Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya kacang tanah dikenal di Nusantara sejak abad ke-17, karena ditemukan pemeriannya di dalam flora Rumphius.

Sementara itu hal yang sama juga diungkapkan oleh Jan Hooyman, seorang tuan tanah di Pondok Gede, dalam Verhandeling over de tegenwoordigen staat van den landbouw in de ommelanden van Batavia (Pembahasan mengenai status pertanian di pinggiran Batavia). Ia mengatakan kalau kacang tanah dibawa masuk ke Batavia oleh orang China sekitar 1755 .

Kalau membicarakan soal persatuan Indonesia agaknya harus juga mengingat soal soto yang menyatukan Indonesia. Karena soto bisa ditemukan hampir di setiap daerah di Indonesia, sehingga soto turut pula menyumbangkan identitas ke-Indonesia- an.

Sementara persatuan Indonesia hendaknya tidak perlu dipaksakan untuk bersatu seperti pada sate. Karena kalau dipaksakan, terlebih secara fasistis, bukan persatuan namanya, tapi persatean. Persatuan harus dibina berdasarkan saling pengertian dan keadilan sosial-ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti bunyi Pancasila sila ke-lima. Hidup Soto! Hidup Sate! Hidup Indonesia!