Wednesday, March 12, 2008

Persatean, Persotoan, Persatuan

Belakangan ini kita dibikin senewen oleh berita klaim sepihak atas kekayaan budaya Indonesia oleh negeri tetangga. Lagu rasa sayange sampai dengan congklak kini telah diakui sebagai milik negeri jiran, seketika pula kita jadi latah, buru-buru mengiventarisir semua aset warisan budaya bangsa. Getir memang, terlebih ketika kita baru tersadar belakangan tentang hal yang selama ini tak kita anggap sebagai penting.

Tapi bagaimana jadinya kalau bangsa China menuntut atas budaya kuliner mereka yang telah jadi bagian kehidupan kita sehari-hari? Alamaak, bisa pusing hidup ini tanpa kwetiau, capcay, soto, sate, bakso di meja makan kita. Kalau Anda jalan-jalan ke berbagai belahan dunia, kita dapat dengan mudah menemukan makanan China. Soal rasa jangan ditanyakan lagi, pasti cocok dengan lidah melayu.

Tapi satu hal yang tak pernah ditanyakan oleh kita sejak kapan gerangan berbagai jenis makanan itu masuk dan diterima di kalangan masyarakat kita? Sebuah pertanyaan yang tak pernah muncul karena biasanya kita langsung main santap zonder pikir panjang lagi.

Soto, makanan yang sangat populer. Hampir di setiap daerah dapat ditemukan soto dengan variasi yang berbeda, disesuaikan dengan selera di tiap-tiap daerah. Soto Banjar tentu berbeda dengan Soto Madura atau dengan Soto Kudus. Tapi kendati berbeda, judulnya tetap sama: soto. Soto kemungkinan besar dibawa oleh masyarakat China yang datang ke Indonesia. Kapan tepatnya, belum ditemukan sumber yang mencatat kedatangan soto ke Indonesia. Namun “saudara kandung” soto, yakni laksa, diperkirakan telah disantap oleh penduduk Nusantara sejak zaman Majapahit. Dalam piagam Biluluk bertahun 1391 disebutkan kata “hanglaksa” yang berarti pembuat laksa, yang berarti juga pada tahun itu laksa telah dikenal oleh masyarakat.

Sate juga tak kalah populernya di Indonesia. Bumbu kacang pada sate cukup digemari tidak hanya oleh masyarakat Indonesia, tapi juga wisatawan asing yang datang ke Indonesia, “saus yang eksotik,” kata mereka. Sate memang bervariasi. Di Banten ada sate yang tak dilengkapi dengan dengan bumbu kacang, panggang namanya. Di purwakarta juga terkenal dengan sate marangginya. Sate Madura dan sate Betawi adalah dua jenis sate yang paling terkenal dari semua sate di Indonesia.

Ngomong-omong soal bumbu kacang, tentu pelengkap hidangan sate itu takkan ada, kalau kacang tanah tak tersedia. Nah, bagaimana sejarah kehadiran kacang tanah di Indonesia? Menurut Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya kacang tanah dikenal di Nusantara sejak abad ke-17, karena ditemukan pemeriannya di dalam flora Rumphius.

Sementara itu hal yang sama juga diungkapkan oleh Jan Hooyman, seorang tuan tanah di Pondok Gede, dalam Verhandeling over de tegenwoordigen staat van den landbouw in de ommelanden van Batavia (Pembahasan mengenai status pertanian di pinggiran Batavia). Ia mengatakan kalau kacang tanah dibawa masuk ke Batavia oleh orang China sekitar 1755 .

Kalau membicarakan soal persatuan Indonesia agaknya harus juga mengingat soal soto yang menyatukan Indonesia. Karena soto bisa ditemukan hampir di setiap daerah di Indonesia, sehingga soto turut pula menyumbangkan identitas ke-Indonesia- an.

Sementara persatuan Indonesia hendaknya tidak perlu dipaksakan untuk bersatu seperti pada sate. Karena kalau dipaksakan, terlebih secara fasistis, bukan persatuan namanya, tapi persatean. Persatuan harus dibina berdasarkan saling pengertian dan keadilan sosial-ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti bunyi Pancasila sila ke-lima. Hidup Soto! Hidup Sate! Hidup Indonesia!

No comments: