Friday, November 10, 2006

Tirto Adhi Soerjo

Tanggal 10 November 2006 lalu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menetapkan Tirto Adhi Soerjo sebagai pahlawan, sebuah gelar yang layak dianugerahkan kepada Sang Pemula ini.

Dari sekian banyak tokoh jurnalis di negeri ini, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo adalah salah satu tokoh pribumi yang merintis dasar-dasar kebangsaan Indonesia. Keberaniannya dalam membela kepentingan rakyat telah menyentuh sisi-sisi yang saat itu terlupakan oleh rakyat Hindia Belanda: sebagai bangsa yang terjajah.

RM. Tirto Adhi Soerjo alias Raden Djokomono dilahirkan di Blora pada 1880. Dari garis ibu, ia adalah keturunan Mangkunegara I dan berada di derajat ke-4 dari Keraton Surakarta sekaligus keturunan ke-4 dari R.M.AA. Tjokronegegoro, Bupati Blora. Ayah Tirto adalah R. Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero, kolektor Kantor Pajak.

Setelah lulus dari Europeesch Lagere School (ELS) Tirto melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia. Sebagai seseorang yang berasal dari kalangan priyayi tinggi, menjadi siswa STOVIA tentu menjadi sebuah kejanggalan. Karena, seperti biasanya, seorang priyayi meneruskan studinya di OSVIA (sekolah calon pangreh praja pribumi). Namun demikianlah kehendak yang diinginkan oleh Tirto.

Semasa kuliah di Batavia, Tirto melepaskan diri dari segala macam aturan ningrat yang mengekangnya. Ia menenggelamkan diri ke dalam kalangan masyarakat yang lebih luas, tak peduli dari strata sosial mana mereka berasal.

Keterlibatannya di dalam dunia jurnalistik sudah dia mulai sejak duduk di kelas persiapan STOVIA (1894-1895). Pada saat itu Tirto rajin mengirimkan tulisannya ke berbagai media massa di Batavia.Kemudian pada tahun 1888 – 1897 ia bekerja sebagai wartawan pembantu di koran Hindia Olanda pimpinan Alex Regensburg. Setelah koran ini tak terbit lagi, Tirto pindah ke koran Pembrita Betawi (1884 – 1916) pimpinan Overbeek Bloem dengan posisi yang sama.

Dedikasi kerja jurnalistik yang ditunjukkan oleh Tirto membuat ia dipercaya sebagai redaktur-kepala (hoofd redacteur) Pembrita Betawi. Pada saat itu ia berkenalan dengan Karel Wijbrands, pimpinan redaksi harian De Sumatra Post (1899-1942) yang terbit di Medan. Wijbrands kemudian pindah ke Batavia untuk bekerja di Nieuws van den Dag dan semenjak itu Tirto menjalin hubungan dekat dengannya. Pertemanannya dengan Wijbrands ternyata berpengaruh besar pada hidup dan karir Tirto. Sebelumnya Tirto hanya dikenal sebagai “penjual tulisan” namun setelah ia bergaul dengan Wijbrands wawasan dan kualitas dirinya mengalami peningkatan.

Karena terlalu menyibukkan diri di dalam pekerjaannya sebagai wartawan, Tirto akhirnya dikeluarkan dari STOVIA setelah belajar di sana selama enam tahun. Pramoedya Ananta Toer, penulis biografi Sang Pemula ini punya tesis lain tentang penyebab dikeluarkannya Tirto dari STOVIA: kemungkinan besar penyebabnya adalah karena dia kedapatan mengeluarkan resep untuk teman Tionghoanya yang miskin, padahal saat itu ia belum berhak mengeluarkan resep.

Tirto amat meneladani Multatuli (Eduard Douwes Dekker, asisten residen Lebak, Banten). Hampir setiap tulisannya menyebut nama Multatuli. Pembelaan Multatuli pada rakyat Lebak menjadi inspirasi buat Tirto untuk membeberkan kepincangan-kepincangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat pada masa kolonial. Jika Multatuli memberikannya inspirasi untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa dari Wijbrands ia belajar tentang pentingnya strategi dalam menghantam penguasa yang zalim.

Sebagai wartawan yang intim dengan keadaan masyarakat di Hindia Belanda, Tirto tak ragu-ragu untuk membongkar skandal-skandal yang melibatkan banyak pejabat. Salah satu kasus yang mencuatkan namanya adalah kasus “Skandal Donner.” Skandal ini melibatkan nama Asisten Residen Madian J.J. Donner yang pada saat itu berupaya menurunkan Bupati Madiun, Brotodiningrat. Untuk melancarkan usahanya Donner bersekongkol dengan Patih dan Kepala-Jaksa Madiun, Mangoen Atmodjo dan Adipoetro (Toer, 1985: 28). Donner lantas mengirimi surat yang memfitnah Brotodiningrat sebagai orang yang bertanggungjawab di dalam berbagai kerusuhan di Madiun.

Tirto yang mengetahui seluk-beluk tipu muslihat Donner itu meminta pemerintah melakukan penyelidikan. Brotodiningrat akhirnya diajukan ke pengadilan. Namun dengan kekuasaannya sebagai residen, Donner mempergunakan berbagai cara untuk menghalang-halangi hadirnya saksi yang membela Brotodiningrat.

Untuk membongkar kasus itu kepada khalayak luas Tirto lantas menulis berita secara berturut-turut di koran Pembrita Betawi bawah rubrik “Dreyfusiana.” Tulisan yang menggemparkan ini lagi-lagi membawa namanya dikenal sebagai wartawan muda pribumi yang berani menentang pemerintah kolonial. Namun begitu Brotodiningrat yang menurut Snouck Hurgronje kolega dekat Tirto tetap dinyatakan bersalah dan harus menjalani buangan ke Padang.

Dalam sebuah laporannya kepada Gubernur Jenderal, Snouck Hurgronje menulis bahwa Tirto adalah pemuda yang “cacat pada wataknya.” Pendidikan dan kepandaiannya berbicara, menurut Hurgronje, menyebabkan dia selalu merasa lebih benar ketimbang orang lain.

Pada tahun 1907 atas bantuan dana sebesar f 1.000 dari Bupati Cianjur R.A.A. Prawiradiredja dan Sultan Bacan, Oesman Sjah sebesar f 500, Tirto kemudian mendirikan surat kabar Medan Prijaji. Surat kabar ini dicetak di percetakan Kho Tjeng Bie di Pancoran, Batavia. Faktor utama yang membuat koran ini segera diterima oleh masyarakat karena Medan Prijaji memuat rubrik tetap tentang mutasi pegawai negeri, memuat lembaran negara setiap kali terbit dan memberikan bantuan hukum (konsultasi) kepada para pembacanya.

Tiga tahun setelah terbit, yakni pada tahun 1909, Tirto melalui koran in kembali membongkar skandal pemerintahan. Kali ini ia mengungkapkan skandal Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon, yang berkolusi dengan wedana dalam hal pengangkatan lurah Desa Bapangan. Tentu saja hal ini membuat heboh kalangan dunia pers di Hindia Belanda. Pengungkapan kasus ini semakin menempatkan Tirto sebagai wartawan yang tak pernah kompromi pada segala macam bentuk penyelewengan di dalam pemerintahan.

Namun satu hal yang membuat langkah Tirto terseok-seok: ia dikenal kurang cakap dalam mengelola keuangannya. Belum genap setahun Medan Prijaji berjalan, kesulitan keuangan mendera koran ini. Tirto terbelit hutang sebesar – kurang lebih – f 7.000. Penyebab hutang yang menggunung itu kemungkinan karena ambisi Tirto yang ingin segera membuat koran ini terkenal dengan cara meningkatkan kuantitas cetaknya. Ongkos produksi yang tinggi dan tidak diimbangi dengan pelanggan yang banyak. Namun masalah itu dapat diatasi dengan bantuan modal dari H.M. Arsad.

Lepas dari masalah hutang, Tirto yang kritikus sejati itu seakan tak putus dirundung malang. A. Simon tidak terima atas pemberitaan di Medan Prijaji yang menyebutnya sebagai “snot aap” (monyet ingusan). Baik Tirto maupun Simon saling melancarkan gugatan ke pengadilan, Tirto menuduh Simon sebagai pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya, sedangkan Simon menggugat Tirto karena melakukan penghinaan.

Hubungan dekat yang dijalin antara Tirto dengan Gubernur Jenderal Van Heutz ternyata menguntungkannya. Perkara Tirto versus Simon ini akhirnya ditangguhkan. Untuk sementara kemenangan ada di tangan Tirto.

Tapi keadaan segera berbalik kembali ketika kedudukan Van Heutz sebagai gubernu jenderal digantikan oleh Idenburg. Atas seijin Idenburg, A. Simon yang masih menaruh dendam pada Tirto kembali melaporkan perkara penghinaan dirinya oleh Tirto ke pengadilan. Pengadilan menghukum Tirto dua bulan dibuang ke Lampung.

Pada 22 Agustus 1912 surat kabar nasional ini akhirnya dibreidel. Berhentinya penerbitan Medan Prijaji disebabkan karena kritik-kritik tajamnya kepada pemerintah kolonial. Pukulan demi pukulan dilancarkan oleh pemerintah dengan berbagai cara, termasuk melarang perusahaan-perusahaan untuk memasang iklan di harian ini.

Awal tahun 1913 Tirto kembali dihukum atas tuduhan menghina dan memfitnah Bupati dan Patih Rembang. Ia diharuskan menjalani masa pembuangan kedua selama enam bulan ke Ambon. Ia sendiri tak dapat menghadiri proses persidangan karena sedang disandera di Bogor oleh para krediturnya.

Sepulangnya dari pembuangan praktis ia tak bisa lagi menjalankan kegiatannya sebagai jurnalis. Hutang yang melilitnya dan kesehatannya yang memburuk membuatnya terpuruk. Pada 7 Desember 1918 Tirto Adhisoerjo, sang pemula yang mengukir namanya sebagai wartawan peletak dasar-dasar nasionalisme Indonesia meninggal dunia karena sakit disentri. Dan inilah akhir tragis dari seorang pejuang hak-hak dari bangsa yang terjajah.