Senin pagi ini (17/03/08), saya memutuskan untuk berangkat ngantor pagi-pagi. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan: mulai dari menulis kolom, menyunting tulisan sampai dengan menulis kata pengantar buat buku biografi Mawie Ananta Jonie, penyair yang kini bermukim di Belanda. Semua harus beres hari ini juga.
Bangun tidur pukul 5:00, saya bergegas mandi, buru-buru berkemas dan langsung ngacir pukul 5:30 subuh. Saya tinggal di Cimanggis, Depok. Sebenarnya kalau hari libur dan jalanan tidak macet, hanya dibutuhkan 40 menit saja via jalan tol untuk mencapai kantor saya di Rawamangun, Jakarta Timur. Tapi hari Senin begini jalanan hampir dipastikan macet. Jadi, cara terbaik menghindari kemacetan adalah berangkat pagi.
Ternyata yang punya pikiran sama dengan saya banyak juga. Jalanan ramai. Masuk ke pintu tol Cibubur pun padat merayap oleh mobil. Dalam hati saya memaki-maki sejadi-jadinya. “kurang pagi...harusnya tadi berangkat jam lima. Lain kali tak boleh lambat,” kata saya membatin.
Sekira 20 meter dari pintu masuk tol Cibubur, ada truk air mineral yang mogok di tepi kiri jalan. Ternyata ini penyebab kemacetan pagi itu. Saya lega. Laju mobil kembali lancar. Saya tak lagi memaki-maki karena dugaan berangkat telat tak terbukti. Sepanjang perjalanan saya mendengarkan siaran Indonesia radio Deutsche Welle. Sejak dulu saya memang maniak Jerman: kursus bahasa Jerman walaupun tak tamat dan sempat bercita-cita sekolah ke Jerman walaupun tak pernah kesampaian. Tapi paling tidak kalo ada orang Jerman yang “ngerasani” saya, saya bisa jitak kepalanya karena saya ngarti sedikit-dikit bahasa Jerman.
Siaran Deutsche Welle kali ini memberitakan tentang banyaknya penduduk Laos terkena ranjau darat. Mereka mencari nafkah dengan cara mengumpulkan rongsokan ranjau sisa perang Vietnam. Dalam hati saya berujar, “buset dah...susah amat nyari makan, sampai taruhan nyawa.” Tapi itu kenyataan hidup di belahan negara dunia ketiga, di mana batas mati dan hidup tipis sekali. Bahwa nyawa adalah sesuatu yang harus dipertaruhkan untuk menyambung hidup. Ironis.
Jalanan ternyata lancar. Keputusan saya berangkat pagi sudah tepat. Di pintu tol Cawang/Cililitan sedikit antre. Pada hari kerja, di pintu tol ini macet parah. Sumber kemacetan terdapat di persimpangan tol arah Tanjung Priok dan Grogol (Tol Dalam Kota). Pagi ini jalan sedikit merayap di sana. Saya tak aneh karena memang begitu biasanya. Tapi saya tengok jarak antara mobil tak terlalu rapat. Saya mulai curiga dan bertanya ada apa gerangan di depan?
Benar saja. Pukul 06:15, sekitar 300 meter selepas pintu tol Cawang, arah menuju Rawamangun/ Tanjung Priok, sebelah kanan jalan, saya lihat ada beberapa pecahan benda plastik. “Mungkin mobil tabrakan,” kata saya dalam hati. Saya terus bergerak perlahan. Beberapa meter kemudian, saya melihat ada sobekan baju dan sebuah benda menyerupai helm (belakangan dari detik.com saya ketahui ternyata benda itu adalah topi). Saya mulai bertanya-tanya, kok bisa-bisanya ada pengendara sepeda motor masuk ke jalan tol. Tapi saya sendiri kurang yakin apakah itu helm atau bukan. Yang pasti saya melihat ada kaca pelindung sebagaimana yang terdapat pada helm.
Yang berani masuk tol biasanya Cuma motor voorijder pengawal presiden. Maklum, rumah Presiden SBY ada di Cikeas. Jadi setiap pagi kalo berangkat ngantor dia selalu lewat Tol Jagorawi. Kalaupun itu adlah mayat pengendara motor Voorijder, pasti helmnya warna putih, bukan hitam seperti yang saya temui. Lagipula tak ada motor tergeletak di sana. Sementara itu presiden juga sedang berada di luar negeri untuk mengikuti konferensi OKI, jadi tak mungkin voorijder iseng-iseng lewat jalan tol.
Saya kembali jalan perlahan sambil melihat terus ke sisi kanan jalan. Ada potongan daging dan darah segar yang tercecer. Saya masih menduga-duga, “oh mungkin ada binatang yang ketabrak.” Saya sering temui ada anjing, kucing atau kambing yang ketabrak mobil di jalan tol. Tapi kali ini saya benar-benar terkejut. Saya melihat ada sepotong kaki tanpa tubuh di sana. Berturut-turut saya melihat ada benda menyerupai tempurung kepala dan tulang, lantas beberapa meter kemudian ada potongan kaki lain sebatas betis dan usus yang terburai. Darah...darah...berceceran mewarnai jalan dan trotoar pembatas jalan tol.
Saya mulai pusing. Mual dan lemas. Saya lihat baru ada seorang petugas jalan tol yang berjalan menuju lokasi. Seorang rekannya yang lain tampak berjalan menyusul. Salah seorang di antaranya memegang handy talky, dan terus berkomunikasi. Saya tak kuat melihat semua ini. Perlahan saya terus berjalan sambil istighfar tiada henti. 25 meter dari TKP saya liha ada dua polisi berjalan terburu-buru. Sebuah mobil yang ternyata dikemudikan oleh polisi, juga berhenti menghampir dua rekan seprofesinya itu. Dia tampak kaget.
Otak saya terus berputar, berpikir, dan menduga-duga penyebab tewasnya mayat tadi. Saya menduga manusia malang itu adalah korban tabrak lari. Tapi dugaan saya itu juga meragukan, karena kalau pun dia korban tabrak lari apakah mayatnya sampai sedemikian hacurnya? Ah..saya kembali menduga, mungkin dia korban pembunuhan yang mayatnya dibuang di jalan tol satu atau dua jam sebelum saya melintasinya. Yang jelas saya tak menemukan kepala korban di sana. Mungkin korban mutilasi. Mungkin....mungkin...mungkin...
Hari ini, saya kehilangan mood untuk menulis, terlebih untuk sarapan. Saya berpikir alangkah sedihnya keluarga korban saat mendengar anggotanya meninggal secara mengenaskan. Setibanya di kantor saya mencoba mengetahui apa yang terjadi lewat situs berita detik.com. Berita baru saya akses sekira pukul 07: 42 atau hampir sejam setelah saya melihat mayat itu. Dari keterangan polisi yang saya baca di detik.com, mayat itu bernama Tatang Sulaeman, warga Paledang Kaler, Sukabumi, Jawa Barat.
Di sekitar ruas jalan tol Cawang sering saya temui orang menyebrang sembarangan. Begitu juga di ruas tol Jakarta-Merak, khususnya saat memasuki wilayah Serang. Padahal pengumuman dilarang menyeberang sudah terpasang di mana-mana. Tapi tetap saja orang menyeberang dan kerap terjadi kecelakaan. Di ruas jalan tol Cawang juga sering saya temui pedagang asongan yang hilir mudik menyeberang jalan untuk menjajakan dagangannya. Dari peristiwa ini saya kembali ingat apa yang disiarkan oleh Deutsche Welle beberapa menit sebelum saya melihat mayat tercabik itu: Di Indonesia ini, sebagaimana mereka yang di Laos, nyawa adalah sesuatu yang harus dipertaruhkan untuk menyambung hidup. Sungguh ironis.
Monday, March 17, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)