Tuesday, May 20, 2008

Wajah Kita Setelah Seratus Tahun


Bersetia kepada suatu peristiwa (l’evenement), kata filsuf Prancis Alain Badiou, adalah bergerak dalam situasi yang disodorkan peristiwa tersebut dengan berpikir...[tentang] situasi tersebut sesuai dengan “peristiwa itu”. Dengan demikian, setiap peristiwa dalam untaian sejarah, adalah tempat di mana kita bersandar dan senantiasa menjadikannya landasan untuk bergerak melanjutkan hidup ke masa yang akan datang.

20 Mei 1908 adalah l’evenement, peristiwa yang melahirkan entitas “kita” untuk menggantikan identitas “kami” yang sebelumnya mewakili beragam etnis dan suku bangsa di dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda. Sebagai kejadian politik pada masanya, peristiwa tersebut memutus hubungan dengan sejarah Hindia Belanda sebagai jajahan dan tampil sebagai singularity baru yang menampilkan dirinya sendiri. Peristiwa itu menyeruak sebagai anti-tesis atas apa yang terjadi di dalam struktur kolonial yang berdasarkan apartheid.

Lahirnya entitas kebangsaan menegaskan persamaan nasib; sekaligus keinginan untuk mengubah nasib itu sendiri dan kebutuhan untuk menjadi satu dalam menghadapi kolonialisme yang – acapkali – brutal. Dengan modal itulah kita menekuni zaman dan kembali bertemu dengan l’evenement yang lain: Manifesto Politik 1925, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan pada akhirnya bermuara pada 17 Agustus 1945. Sejak itulah, Indonesia, meminjam konsep Ben Anderson, sebagai sebuah komunitas yang dibayangkan (an imagined community) lahir.

Namun kini, setelah seratus tahun berlalu semenjak Boedi Oetomo berdiri, 80 tahun sejak Sumpah Pemuda 1928 dan 63 tahun setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, siapakah gerangan diri kita? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab sempurna sejak kali pertama Soedjatmoko melontarkannya pada 1957. “Kita” bukanlah sebuah kata usang yang basi ditelan zaman globalisasi. Menjadi “Kita” merupakan hasil permufakatan besar yang diperjuangkan dengan darah dan airmata. Membangun Indonesia, seperti yang diharapkan oleh seluruh rakyat dan pendiri bangsa, adalah mega-proyek yang harus terus menerus dilakukan sampai pada titik di mana keadilan yang pincang tersisa sebagai kisah kadaluwarsa.

Tentu semua mahfum betul, dalam membangun bangsa ini acapkali kita tersandung, jatuh, tapi kemudian bangkit lagi untuk menyongsong masa depan. Kita pernah terjerumus dalam pergolakan politik yang mengorbankan ratusan ribu jiwa seperti yang terjadi pada 1965-1969; nilai persaudaraan kita pernah porak poranda oleh begitu banyaknya pelanggaran kemanusiaan di Aceh sampai Papua; korupsi bersimarajalela dan bencana alam silih berganti meluluhlantakan bumi Indonesia. Dalam hidup ini, seperti kata penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe, “wir tasten ewig ein problem,” tak ada habis-habisnya kita dihadang masalah.

Pada peristiwa seratus tahun kebangkitan nasional sekarang ini, seyogianya kita merumuskan kembali siapa diri kita, untuk tujuan apa kita menjadi bangsa. Kini adalah momentum yang tepat untuk memutus hubungan dengan masa lalu yang kelam. Bukan berarti melupakannya, tapi belajar dari kesalahan sejarah untuk membuka pintu masa depan yang lebih terang. Semoga.