Bung Karno baru digelari pahlawan 14 tahun setelah kematiannya, sedangkan Bung Hatta harus menunggu lima tahun. Bagaimana dengan Soeharto?
Setelah Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari lalu, ada beragam pendapat yang mengemuka: sebagian masyarakat mengenangnya sebagai bapak pembangunan, sementara yang lain mengenangnya sebagai diktator. Bahkan Partai Golkar melalui beberapa petingginya mengusulkan agar mantan Presiden Soeharto digelari pahlawan. Munculnya berbagai kontroversi itu tak lepas dari keberhasilan Orde Baru di dalam mempropagandakan figur Soeharto sebagai penyelamat bangsa dari kehancuran ekonomi dan pencipta stabilitas negara. Ingatan sebagian masyarakat terhadap Soeharto pun tak pernah lepas dari citra yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru.
Pengertian pahlawan menurut Peraturan Presiden No. 33/1964 adalah: a) warga negara RI yang gugur dalam perjuangan dalam membela bangsa dan negara, b) warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannnya. Apakah mantan presiden Soeharto memenuhi ketentuan ini?
Nama Soeharto mulai populer ketika ia disebut-sebut sebagai perwira yang menginisiasi sekaligus memimpin Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Melalui serangan itu tentara Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam sekaligus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih eksis. Pada 1979, untuk menunjukkan peran penting Soeharto dalam SO 1 Maret 1949 itu dibuatlah film Janur Kuning yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja. Film itu kemudian menjadi tontonan wajib bagi semua lapisan rakyat, tak terkecuali siswa SD yang diharuskan menontonnya di bioskop-bioskop. Tak berhenti di sana, versi sejarah itu pun ditulis dalam buku-buku sejarah yang kemudian diajarkan kepada siswa sekolah.
Namun ketika tahun 1998 Soeharto tak lagi menjabat presiden muncul versi lain tentang peran Soeharto dalam SO 1 Maret 1949. Tentu saja versi-versi itu berbeda dengan apa yang selama Orde Baru sajikan kepada masyarakat. Dalam Pledoi Kolonel Abdul Latief misalnya, dikatakan bahwa pada saat serangan itu berlangsung ia menemui Soeharto sedang berada di front belakang sembari menyantap soto babat. Pengakuan lain yang juga berlawanan dengan versi resmi Orde Baru adalah tentang penggagas SO 1 Maret 1949 yang ternyata bukan digagas oleh Soeharto sendiri, melainkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Awal 1956 Soeharto jadi Panglima TT-IV/Diponegoro di Semarang. Pada saat itu, bekerjasama dengan pengusaha Bob Hasan, ia menjalankan aktivitas extra-militer menyelundupkan gula ke Singapura untuk dibarter dengan beras. Kelak Bob Hasan menjadi “partner” bisnisnya ketika ia berkuasa sebagai presiden di masa Orde Baru. Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan penyelundupan itu ia lakukan untuk mengatasi kekurangan pangan di Jawa Tengah. Namun demikian aktivitas extra-militer itu pula yang menyebabkannya diberhentikan sebagai panglima dan diperintahkan untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung.
Robert Elson dalam Biografi Politik Soeharto mencatat pemberantasan korupsi di kalangan tentara tak terlepas dari peran penting Jenderal Nasution yang membentuk Inspektorat Jenderal Angkatan Bersenjata sebagai “tangan kanannya”. Pada April 1957 ia mengeluarkan perintah untuk menyelidiki tindakan korupsi di setiap komando teritorial, termasuk di antaranya TT IV pimpinan Soeharto. Atas mediasi Jenderal Gatot Subroto kepada pucuk pimpinan Angkatan Darat, Soeharto urung dipecat dari kedinasan tentara. Kariernya pun terselamatkan.
Pada saat konfrontasi dengan Malaysia berlangsung, Soeharto dipercaya menjabat Wakil Panglima Komando Siaga Mandala (Kolaga). Dalam pada itu ia telah memperhitungkan kalau kekuatan militer Indonesia tak sebanding dengan Malaysia yang didukung oleh Inggris dan Australia. Upaya penerjunan pasukan infiltran ke wilayah Malaysia seringkali gagal. Melihat beberapa kegagalan itu Soeharto lebih memilih untuk melakukan “jalan lain” di dalam menyelesaikan konfrontasi. Ia menugasi beberapa pembantunya untuk mengadakan kontak dengan pihak Malaysia yang kemudian menjadi langkah awal normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Tentu saja operasi-operasi itu dilakukan tanpa sepengetahuan Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi ABRI.
Pintu menuju kekuasaan semakin terbuka lebar ketika terjadi peristiwa 1 Oktober 1965. Posisi lowong yang ditinggalkan oleh Jenderal A Yani memberikan kesempatan kepada Soeharto untuk melancarkan perang terhadap PKI, musuh bebuyutan Angkatan Darat. Soeharto mengatakan ”....kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka.” Dalam otobiografi yang disusun oleh Ramadhan KH dan G Dwipayana itu pula ia jelaskan taktik Angkatan Darat membasmi komunis, “Tetapi saya tidak mau melibatkan AD secara langsung dalam pertentangan-pertentangan itu, kecuali pada saat-saat yang tepat dan terpaksa. Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya masing-masing...” ujar Soeharto.
Cara yang ditempuh Soeharto itu justru membawa petaka besar bagi bangsa Indonesia. Ratusan ribu orang (sumber lain mengatakan 3 juta) tewas dalam tragedi pembantaian massal sepanjang tahun 1965 - 1969. Sekira 10 ribu anggota dan simpatisan PKI ditahan di Pulau Buru tanpa terlebih dulu melalui proses pengadilan. Mereka dituduh terlibat, baik secara langsung maupun tidak, dalam peristiwa pembunuhan tujuh jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Di banyak daerah, anggota PNI (Ali Sastro-Surachman) pun tak luput dari penangkapan. Beberapa sarjana menyebut peristiwa itu sebagai “periode sejarah tersembunyi” yang tak pernah diungkap secara bebas semasa Soeharto berkuasa.
Konsolidasi kekuasaan Orde Baru membutuhkan kepastian stabilitas politik. Bukan hanya komunisme, semua yang hal yang dinilai bertalian erat dengan kekuasaan Soekarno dan memiliki potensi kontra dengan Orde Baru diminimalisasi sedemikian rupa. Hal itu sesuai dengan tugas Kabinet Pelita I: pemilihan umum; stabilitas politik; pembersihan aparatur negara; dan stabilitas ekonomi serta pembangunan lima tahun pertama.
Atas dasar stabilitas politik pula pemerintah Soeharto melakukan fusi terhadap partai-partai politik di tahun 1973. Golongan Karya jadi mesin politik Orde Baru yang hampir bisa dipastikan selalu memenangkan setiap kali penyelenggaraan pemilu. Soeharto selalu punya argumen bahwa era liberal di tahun 1950-an dengan sistem multipartai tak membawa Indonesia pada kemakmuran.
Pembangunan, stabilitas politik dan keamanan jadi tolok ukur keberhasilan Orde Baru, kendati pencapaian tersebut harus ditempuh dengan cara-cara yang mengabaikan demokrasi dan hak azasi manusia. Keberhasilan pembangunan yang dipuja-puji banyak pihak menjadi selubung penutup penderitaan rakyat di pelbagai sudut lain Indonesia. Harus pula dilihat sebagai sebuah fakta bahwa pembangunan di masa Soeharto berkuasa bertumpu pada “bantuan lunak” lembaga donor internasional yang semakin lama semakin berlipat ganda bunganya. Ketika Soeharto berhenti pada 1998, ia meninggalkan warisan utang (pemerintah dan swasta) sebesar US$ 150 miliar.
Warisan lain yang juga perlu diingat adalah korban pelanggaran kemanusiaan yang sejak Soeharto berkuasa (secara de facto) pada 1965, mulai dari pembantaian massal 1965-1969, pembuangan ke Pulau Buru, terlunta-luntanya nasib eksil di luar negeri, Tanjung Priok, penembakan misterius, Peristiwa Lampung, 27 Juli 1996, korban operasi militer di Aceh dan Papua, penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa Trisakti.
Bahwa ada sebagian orang mengatakan ia pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat sah-sah saja, tapi bagaimana dengan mereka yang justru dirugikan oleh pemerintah Orde Baru? Bukankah Perpres No.33/1964 mengatur bahwa seseorang yang membuat cacat nilai perjuangannnya tak memenuhi syarat untuk jadi pahlawan. Maka demi keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia baik yang sempat merasakan manisnya kue pembangunan maupun yang sebaliknya, cukup rasanya Soeharto dikenang sebagaimana adanya, tidak secara berlebihan apalagi sampai terlontar ide untuk memberinya gelar pahlawan.
Monday, March 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment