Berhulu pada soal pelajaran sejarah, bermuara di sidang pengadilan. Berdamai dengan masa lalu masih sekadar angan.
Sepertinya pita kaset lagu lama sedang diputar ulang di negeri kita tercinta ini. Tapi sayang, pita kaset terlalu kusut untuk dapat distel lagi. Kebebasan berekspresi yang jadi cita-cita utama reformasi 1998 diciderai dengan pengadilan Bersihar Lubis, wartawan senior yang menulis opini tentang pelarangan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dalam tulisannya di Koran Tempo, 17 Maret 2007 ia menyitir kisah Joesoef Isak, pengelola penerbit Hasta Mitra, yang diperiksa oleh Kejaksaan Agung pada 1981 sehubungan dengan penerbitan novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Saat itu jaksa menuduh Joesoef menerbitkan buku yang mengandung ajaran komunisme. Joesoef kemudian balik bisakah jaksa menunjukan kalimat mana yang mengandung komunisme. Jaksa tak bisa menunjukkan kalimat itu, tapi ia yakin bisa merasakannya. Inilah yang kemudian dikatakan sebagai pangkal kedunguan, bisa juga dimaknai sebagai sebuah situasi yang idiotik, tragic comic yang terlalu getir untuk diulang lagi.
Melalui Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomer No 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 buku sejarah yang tak mencantumkan kata PKI di balik garis miring G.30.S dan tak membahasa peristiwa Pemberontakan Madiun 1948 dilarang beredar. Kemudian atas dasar instruksi Jaksa Agung nomor Ins-003/A/JA/2007 seluruh Kajati dan Kajari di seluruh Indonesia menyita – bahkan – membakar ribuan buku pelajaran sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Beberapa pekan lalu Kejaksaan Negeri Malang, Jawa Timur pun menyita dan membakar ratusan buku pelajaran sejarah dengan alasan yang sama plus alasan lain: ada beberapa buku sejarah yang tak melampirkan peta Indonesia dalam bab tentang Sumpah Pemuda 1928. Padahal tahun 1928 bentuk Indonesia sebagaimana yang kita dapati dalam peta sekarang belum sepenuhnya terwujud. Namun kejaksaan punya pendapat lain.
"Itu pemutarbalikan fakta sejarah," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin (kini Wakil Jaksa Agung RI) pada 9 Maret 2007 atau beberapa hari setelah keputusan Kejaksaan Agung itu diterbitkan. Pernyataan itu mengindikasikan kekurangpahaman institusi Kejaksaan Agung kepada arti sejarah itu sendiri. Seharusnya kalau pihak Kejaksaan Agung mampu menunjukan fakta sejarah yang diputarbalikan, maka seharusnya pula ia bisa menulis sejarah yang dianggap obyektif dan faktual. Sehingga masyarakat, khususnya para pelajar di sekolah tidak dibuat semakin bingung.
Penulisan Sejarah atau “Cuci Piring” Dulu?
Dalam era transisi menuju demokrasi ada dua jalan yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan kasus-kasus masa lalu warisan rezim otoriter. Pertama, pemerintah di era transisi memutuskan secara politik penyelesaian kasus masa lalu kemudian proses penulisan sejarah yang lebih fair dimulai. Atau, kedua, penulisan sejarah dulu baru kemudian pemerintah memutuskan secara politis untuk menyelesaikan kasus masa lalu.
Di Indonesia proses penulisan sejarah menyoal pergolakan politik tahun 1965-1970 dengan versi yang variatif sudah dimulai sejak masa reformasi. Pasca reformasi 1998 beragam buku sejarah yang memuat berbagai macam versi sejarah tentang peristiwa 1965 terbit secara luas. Para sejarawan pun melakukan berbagai penelitian menyangkut peristiwa tersebut. Buku-buku itu diharapkan dapat menyeimbangkan cara pandang masyarakat terhadap pergolakan politik yang terjadi pada masa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pelajaran sejarah di masa Orde Baru dinilai terlalu berpihak pada kekuasaan yang menjadikan PKI dan pengikut Soekarno sebagai lawan politik yang harus diberangus.
Fakta bahwa PKI terlibat di dalam perstiwa Madiun 1948 itu benar terjadi. Bahwa kemudian ada sebagian kecil unsur PKI yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan jenderal Angkatan Darat pada malam 1 Oktober 1965 itu pun betul. Namun permasalahannya, tragedi kemanusiaan yang terjadi pascainsiden berdarah 1 Oktober 1965 pun jauh lebih dahsyat: tak kurang dari 500 ribu orang tewas, 10 ribu orang ditahan di Pulau Buru tanpa didahului proses peradilan dan korban itu belum termasuk terlantarnya sanak keluarga mereka yang tewas dan ditahan. Ini juga fakta sejarah, dan fakta ini pula yang hampir selama 30 tahun Orde Baru berkuasa disembunyikan dari buku sejarah yang mereka tulis sendiri.
Beberapa studi dari sarjana ahli Indonesia seperti Harold Crouch, Ben Anderson, Cathy Kadane, WF. Wertheim dan lain-lain tentang peristiwa 1965 menyebutkan ada beragam faktor yang bermain. Mulai dari keterlibatan PKI, CIA, Soeharto, konflik internal Angkatan Darat dan Soekarno sendiri. Namun hingga hari ini belum ditemukan data yang memunculkan fakta sejarah sahih bahwa salah satu dari nama-nama di atas ialah dalang utama pembunuhan para jenderal. Sehingga kalau salah satu nama di atas itu ditetapkan sebagai satu-satunya dalang peristiwa jelaslah merupakan hasil dari keputusan menduga-raba, gegabah dan ahistoris. Sejarawan Kuntowijoyo menamakan ini sebagai kesalahan interpretasi sekaligus juga mengandung kesalahan reduksionis.
Bahwa PKI seharusnya tidak dicantumkan di balik nama peristiwa G.30.S, itu bisa terjadi karena gerakan Letkol. Untung sendiri hanya menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September, tidak ditambahi atau dikurangi. Penamaan peristiwa dalam sejarah tidak boleh digondeli atas dasar kepentingan politik dengan tujuan legitimasi kekuasaan dikuatirkan bermuara pada fitnah. Tetapi harus berdasar pada fakta yang telah diuji validitasnya. Pencatuman kata PKI di balik kata-kata G.30.S malah justru sebuah pengaburan fakta sejarah, karena kalau mau adil seharusnya semua faktor hasil temuan para peneliti sejarah tersebut disebutkan di balik garing miring setelah kata G.30.S.
Semestinya dalam soal pelajaran sejarah ini Kejaksaan Agung tak perlu mencampuri terlalu jauh. Biarkan para sejarawan bekerja dan Departemen Pendidikan Nasional menentukan bagaimana mestinya pelajaran sejarah diberikan kepada pelajar. Ada begitu banyak kasus yang jauh lebih relevan dengan tugas Kejaksaan Agung yang mesti lekas diselesaikan. Menyelesaikan kasus korupsi BLBI dan menuntaskan kejahatan ekonomi rezim Orde Baru jauh lebih terhormat ketimbang membakar buku pelajaran sejarah.
Satu hal lain, terlepas dari persoalan fakta sejarah, semua persoalan yang mengemuka ini membuktikan bahwa kita belum siap menerima perbedaan. Sementara itu upaya untuk berdamai dengan masa lalu pun hanya tersisa sebagai mimpi dalam tidur panjang yang entah kapan bisa dibangunkan. Padahal, bangsa yang mampu menatap masa depannya dengan optimis adalah bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalunya sendiri. Tengok Jerman yang luluh lantak akibat Perang Dunia II dan holocaust Nazi Jerman tetap bangun dan berdiri tegak tanpa harus saling cakar, saling tuduh dan bisa mereka pun mengoreksi kesalahan yang dibuat oleh para pendahulunya.
Suatu kebiasaan dalam masyarakat kita jika seseorang akan merasa diolok-olok apabila orang lain mengatai-ngatai keadaan yang sesungguhnya dari orang itu. Semisal, etnis Tioghoa di Indonesia akan tersinggung jika dikatakan “Cina”, seorang yang cacat pun amat tersinggung jika dikatakan sebagai cacat, begitu juga si Fulan akan marah bila orang secara jujur mengatakan pada dirinya bahwa dia bodoh. Dalam kasus Bersihar Lubis saya melihat persoalan yang ia kemukakan dalam opininya tersebut tak lain sebagai kritik membangun kepada segenap korp kejaksaan untuk semakin meningkatkan mutu sumber daya manusianya. Sehingga ke depan, takkan ada lagi jaksa yang mengatakan sebuah buku mengandung ajaran komunisme berdasarkan perasaannya.
[] L A I N N Y A []
Jalan Berliku Anak Kemusuk
Indonesia pada masa Orde Baru adalah antitesis kehidupan Soeharto di masa kecil. >> Lanjut
Tragika Sejarah dan Libido Kekuasaan
Orang Belanda bilang, “In het heden ligt verleden, in het nu wat komen zal”, dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang kita juga mendapati apa yang akan datang. >> Lanjut
Monday, March 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment