Monday, March 10, 2008

Culik

Mungkin Anda masih ingat bagaimana cara orangtua melarang kita untuk main: “Awas, nanti ada culik, lho!” Ya, kata culik memang sudah akrab sejak kita masih kecil. Imajinasi kita terhadap culik pun beragam macam bentuknya. Mulai dari kalong wewe gombel, sejenis hantu perempuan berambut panjang yang gemar menculik anak-anak kecil, hingga culik modern yang berambut gondrong lengkap dengan senjata di tangan ala mafioso Sisilia nun di Italia sana.

Boleh percaya atau tidak, sejarah perubahan politik di negeri Indonesia yang tercinta ini selalu bermula dengan hal yang berbau-bau culik-menculik. Mau bukti? Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 diawali dengan peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok oleh para pemuda. Ide penculikan tersebut datang dari pemuda Sukarni, Ahmad Subardjo, Chaerul Saleh dan Adam Malik.

Kemudian, peralihan kekuasaan dari Bung Karno ke Pak Harto juga dimulai dengan peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat ke Lubang Buaya. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai G.30.S 1965. Ada banyak versi yang mengiringi peristiwa itu, mulai dari keterlibatan PKI, CIA sampai dengan intrik Soeharto untuk melakukan kudeta secara merangkak.

Menjelang runtuhnya kekuasaan Pak Harto, urusan culik-menculik ternyata masih terus saja berlangsung. Paling tidak ada puluhan aktivis mahasiswa yang hilang diculik paksa dalam kurun tahun 1997-1998. Tiga belas di antaranya hingga kini belum juga diketahui bagaimana nasibnya.

Bagaimana seandainya peristiwa penculikan tidak mengawali peristiwa bersejarah itu? Mungkin saja jalan sejarah negeri ini akan lain sama sekali dari buku-buku sejarah yang kita baca hari ini. Bak pistol yang meletuskan peluru, ada picu yang memulakannya. Pada tiga periode bersejarah itu, peristiwa penculikan seibarat picu yang mendorong proses sejarah yang terus berlanjut ke masa berikutnya.

Kalau pada peristiwa penculikan yang pertama menghasilkan kemerdekaan dan sukacita bagi bangsa Indonesia, maka pada peristiwa penculikan G.30.S 1965 dan kasus penculikan penghujung kekuasaan Soeharto menyebabkan dukacita yang mendalam.

Peristiwa G.30.S 1965 menjadi titik berangkat kekuasaan Orde Baru untuk menggantikan Soekarno. Peristiwa itu juga, mengutip pendapat Bertrand Russel, menjadi awal dari tragedi kemanusiaan terbesar pada abad ke-20 setelah holocaust di Jerman. Bukan hanya keluarga para jenderal AD yang berduka, tapi juga ribuan keluarga dari berbagai pelosok daerah di Indonesia mesti menanggung derita kehilangan sanak familinya.

Garis linear sejarah ternyata terus sinambung. Tak terputus. Kurun tahun 1997-1998 merupakan satu periode perulangan sejarah, dimana penculikan kembali terjadi. Mereka yang dianggap vokal dan anti pemerintah Soeharto dijadikan sasaran penculikan. Ada yang kembali, ada yang tidak. Hingga kini sekitar 14 aktivis hilang tak tentu rimbanya. Ada kabar penyair Widji Thukul, salah satu korban penculikan masih hidup, tapi sayangnya itu cuma kabar burung yang tak jelas di mana sarangnya. Sembilan tahun sudah penculikan aktivis berlalu, pemimpin datang dan pergi silih berganti, tapi sampai kasus ini belum juga terselesaikan.

Berbagai upaya untuk mencari penculik dan menemukan korban culik selalu menemui jalan buntu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang seyogianya dibentuk untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk untuk urusan penculikan ini, juga sudah wafat.

Lantas yang paling gress baru-baru ini, alih-alih cari jalan keluar, Jaksa Agung dan Komisi III DPR, Senin (29/1) lalu malah saling tunjuk hidung tentang siapa yang semestinya bekerja duluan untuk menyelesaikan perkara ini...weleh... Membaca berita itu mungkin culiknya malah ketawa-ketiwi sambil duduk-duduk, makan kacang goreng pula.

Kita pasti sepakat, bahwa dalam setiap kejadian ada makna yang bisa dipetik dan dipelajari. Manusia memang harus belajar dari kesalahan yang terjadi pada masa lampau, kalau kata orang Yunani Istoria magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan. Seperti juga kata orang Jerman yang sanggup mengatasi beban masa lalunya lewat slogan bewaltigung der vergangenheit.

Manusia memang tempatnya salah, dan seringkali kesalahan itu terjadi pada lubang yang sama. Oleh karena itu, untuk mengakhiri siklus culik-menculik yang mungkin saja terjadi pada peristiwa perubahan politik di masa selanjutnya, penyelesaian secara tuntas melalui jalur hukum. Itulah jalan terbaik yang harus ditempuh. Siapa tahu, ketika Anda melarang anak Anda bermain dengan “teror” yang sama dengan orang tua Anda dulu, anak-anak Anda akan bilang, “culiknya udah ketangkep, kok.” Tabik.

No comments: