Indonesia pada masa Orde Baru adalah antitesis kehidupan Soeharto di masa kecil.
“Saya mengalami banyak penderitaan yang tidak mungkin dialami oleh orang-orang lain,” ujar Soeharto dalam otobiografinya. Kehidupan Soeharto memang suram: terlahir dari orangtua yang bercerai dan harus hidup berpindah-pindah asuhan semasa belia samapi dengan remaja. Bahkan sekalipun diukur dari standar kehidupan keluarga di Jawa pada masa itu, ketika perceraian dianggap hal biasa, hidup Soeharto terlalu nelangsa untuk dibandingkan dengan yang lain. Kedua orangtua Soeharto, Kertosudiro dan Sukirah bercerai selang lima minggu setelah kelahirannya pada 8 Juni 1921. Ayahnya menikah lagi, begitu juga dengan Sukirah dua tahun setelah perceraiannya.
Praktis untuk beberapa lamanya Soeharto tumbuh tanpa didampingi ayahnya. Sementara Sukirah yang mungkin mengalami kelelahan mental selama proses melahirkan dan perceraian yang tiba-tiba, menderita tekanan psikis yang cukup berat. Dalam pengertian kedokteran zaman kini kemungkinan ia menderita baby blues syndrom, hal itu pula yang membuatnya meninggalkan Soeharto yang baru berusia 40 hari untuk pergi bertapa ngebleng selama beberapa hari. Sukirah yang “hilang” itu membuat panik keluarga, tujuh hari kemudian ia ditemukan dalam keadaan lemah pada sebuah rumah di dusun Kemusuk.
Keadaan fisik dan psikis demikian membuat Sukirah tak mampu merawat anaknya. Keluarga kemudian memutuskan supaya Soeharto diasuh oleh kakak perempuan Kertosudiro, istri dari Kromodiwiryo, bidan yang membantu proses persalinan Sukirah. Pada usia empat tahun Soeharto kembali diasuh oleh ibunya yang kini telah menikah lagi. Paling tidak sampai menginjak masa remaja, Soeharto selalu mengalami tarik-ulur asuhan antara keluarga ayahnya dengan ibunya sendiri.
Salah satu periode “gelap” dalam sejarah kehidupan Soeharto yaitu soal asal-usulnya sendiri. Ketidakjelasan riwayat Soeharto itu pula yang mendorong awak redaksi Majalah POP di Jakarta menurunkan laporan mengenai asal-usulnya pada 1974. Diberitakan bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipoero, seorang priayi keturunan Hamengkubuwono II yang membuang Soeharto yang berusia enam tahun bersama dengan ibunya kepada seorang penduduk desa Kertorejo. Padmosudiro, ayah Soeharto versi Majalah POP melakukan itu karena harus menikahi putri seorang kepala distrik berpengaruh (RE Elson: 2005, hal 29). Membaca laporan itu Soeharto berang. Ia mengadakan konferensi pers di Bina Graha, membantah gosip yang diembuskan Majalah POP. Belasan orang tua dan kawan sepermainannya dihadirkan di sana, dan mereka serempak mengatakan bahwa Soeharto adalah anak petani dari desa Kemusuk. Majalah POP lantas dibreidel karena dianggap mengganggu stabilitas nasional dan menciptakan ketidakpercayaan pada pemimpinnya.
Kontroversi mengenai asal usul Soeharto tak berhenti di sana. Versi resmi yang mengutip langsung keterangan Soeharto pun tidak menyurutkan kebingungan mengenai siapa orang tua Soeharto yang sebenarnya. Melalui OG Roeder dalam The Smiling General Soeharto mengatakan ibu Kertosoediro (nenek Soeharto dari pihak ayah) sebagai bidan yang membantu kelahirannya, pada lain kesempatan Soeharto mengatakan tante dari pihak ayahnyalah yang menolong Sukirah saat melahirkan Soeharto. Semua pernyataan yang membingungkan itu justru datang dari Soeharto sendiri, sehingga semakin mempertebal dugaan bahwa sebetulnya Soeharto lahir dari keluarga yang lebih dari sekadar biasa-biasa saja.
RE Elson dalam biografi politik Soeharto mengatakan gambaran kabur itu menghasilkan sebuah “kesimpulan” bahwa Soeharto adalah anak dari hasil perkawinan di bawah tangan dari seorang pria berstatus sosial cukup tinggi. Ia memprediksi hal itu dengan melihat kenyataan bahwa ayah biologis Soeharto masih bisa mengawasi dia dari jauh dan tetap turut campur tangan secara tidak langsung di dalam mengasuh Soeharto. Alasan lain yang juga memerkuat dugaan bahwa Soeharto bukan orang biasa adalah standar pendidikan yang ditempuhnya terlalu baik untuk ukuran “anak petani” pada masa itu. Satu kabar mengejutkan datang dari Mashuri, mantan tetangga sekaligus sahabat dekat Soeharto, yang mengatakan bahwa ayah biologis Soeharto adalah pedagang kelontong keturunan China.
Kehidupan yang penuh penderitaan dan masa kanak-kanak Soeharto yang kurang cemerlang membawa dampak psikologis bagi diri Soeharto. Kelak turut memengaruhi berbagai keputusannya yang menyangkut soal perekonomian dan – terutama – soal anak-anaknya. Ia seperti terobsesi pada kemakmuran yang semata-mata ia persempit maknanya menjadi pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan rakyat. Tak aneh jika semasa ia berkuasa, Soeharto menomorsatukan ekonomi ketimbang bidang lainnya. Ia juga tak mau melihat anaknya hidup menderita, sebagaimana yang ia pernah alami semasa kecil.
Berbeda dengan Soekarno atau Sjahrir yang sejak dini telah terbiasa membaca buku, Soeharto hanya akrab dengan filsafat Jawa yang ia pelajari dari Kiai Daryatmo di Wuryantoro. Filosofi hidup Soeharto tidak serumit Soekarno atau Sjahrir yang intim dengan pemikiran Karl Marx atau Ernest Renan. Cukup tiga aja: aja kagetan (jangan kaget), aja gumunan (jangan heran) dan aja dumeh (jangan mentang-mentang), Soeharto meniti jalan hidupnya.
Dengan tiga azimat sakti itu pula ia mengatur strategi ketika meletus peristiwa G.30.S 1965. Kolonel Abdul Latief mengaku telah melapor pada Soeharto perihal akan adanya gerakan dari sebagian perwira Angkatan Darat yang tak puas dengan kepemimpinan beberapa jenderal. Soeharto tidak kaget (aja kagetan), ia tetap menunggu apa yang bakal terjadi keesokan harinya.
Ternyata sejumlah perwira tinggi diculik pada dini hari 1 Oktober 1965. Melalui Hamid, juru kamera TVRI Soeharto mendapat laporan adanya suara tembakan. Beberapa jam kemudian atas perintah Umar Wirahadikusumah, Letkol. Sadjiman melaporkan kepada Soeharto tentang situasi di sekitar Monas yang dipenuhi tentara tak dikenal. Soeharto yang sudah mengetahui informasi hilangnya para jenderal segera mengumpulkan informasi dan tidak merasa heran dengan kejadian itu (aja gumunan). Ia sadar langkah apa yang harus dilakukanya. Merujuk pada kebiasaan di Angkatan Darat, mana kala Jenderal Yani berhalangan tugas, Soeharto mengambilalih posisi pimpinan Komando Angkatan Darat. Pada saat itulah ia melakoni ajaran ketiga dari Kiai Daryatmo: aja dumeh (jangan mentang-mentang).
Jalan berliku yang licin ia tempuh untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno. Dengan janji sanggup mengatasi keamanan dan keselamatan bangsa, ia meminta surat perintah dari Soekarno untuk melakukan semua itu sekaligus mengatakan pada Soekarno ia akan “mikul dhuwur mendhem jero” (memikul setinggi-tingginya jasa orang tua dan memendam sedalam-dalamnya kesalahan orang tua) Berbekal Surat Perintah Sebelas Maret 1966 itulah Soeharto meraih posisi puncak sebagai presiden. Ia tak bergeming betapa pun Soekarno mengemukakan dalam pidato 17 Agustus 1966 bahwa SP 11 Maret bukan suatu “transfer of sovereignity”, bukan peralihan kekuasaan. Para sejarawan menyebut apa yang dilakukan oleh Soeharto itu sebagai kudeta ala Jawa: merangkak pelan, tapi mematikan.
Setelah berkuasa jadi presiden, agaknya Soeharto mulai melupakan ajaran guru spiritualnya. Tahun 1974, ketika terjadi huru-hara 15 Januari (Malari), ia menutup beberapa koran termasuk di antaranya Pedoman milik Rosihan Anwar. Saat ditanya oleh Menteri Penerangan Mashuri SH soal bagaimana tindakan terhadap Pedoman, Soeharto menjawab “wis pateni wae!” (sudah, bunuh/tutup saja!). Soeharto menistakan ajaran aja kagetan, karena peristiwa Malari 1974 dan pemberitaan minor tentang ia dan istrinya di Pedoman membuatnya panik dan marah.
Dresden, 7 April 1995 sekelompok pengunjuk rasa mencaci-maki dan menghalang-halangi rombongan Presiden Soeharto yang sedang berkunjung ke kota itu Dalam perjalanan udara pulang ke Jakarta ia mengatakan kepada pers “akan menggebuk” mereka yang terlibat aksi itu. Beberapa aktivis ditangkap, termasuk di antaranya Sri Bintang Pamungkas. Soeharto tak mawas diri, ia malah heran mengapa ada orang yang begitu membenci dirinya. Lagi-lagi ia lupa soal ilmu aja gumunan yang sebelumnya ia pegang teguh.
Semakin lama ia berkuasa, semakin lupa pula ia menjalankan ajaran terakhir Kiai Daryatmo, aja dumeh. Soeharto menggunakan kekuasaannya untuk memberi izin kepada Tommy Soeharto mengimpor mobil dari Korea tanpa dibebani satu sen pun pajak. Izin itu dituangkan dalam Keputusan Presiden tentang mobil nasional (Keppres) No. 42/ 1996.
Entah karena tulah atau mungkin putaran roda sejarah, kekuasaan Soeharto akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998 setelah didahului oleh krisis ekonomi yang menghumbalang
Indonesia. Ribuan mahasiwa turun ke jalan menuntut Soeharto mundur. Dan ketika kekuasaannya berada di ujung tanduk, Soeharto teringat kembali pada filosofi Jawa yang ia dapat dari Kiai Daryatmo sekian puluh tahun lalu: lengser keprabon, mandeg pandhita.
Monday, March 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment