Monday, March 10, 2008

Dari Nyi Loro Kidul sampai Soeharto

Kedudukan sejarah di dalam masyarakat sama pentingnya dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang memuat informasi tentang asal-usul seseorang. Begitupula sejarah, ia memberikan informasi mengenai dari mana dan bagaimana sebuah masyarakat bisa timbul dan menempati sebuah wilayah tertentu. Tak bisa dibayangkan bilamana ada sekelompok masyarakat yang tidak bisa menjelaskan dari mana mereka berasal, siapa pendahulu mereka di masa yang lalu. Mungkin saja bisa ada: mereka yang terdiri dari sekumpulan orang-orang yang mengidap amnesia.

Di negara kita sejarah selalu saja jadi urusan. Bukan apa-apa, bila perdebatan sudah mengarah kepada sejarah, yang muncul hanyalah klaim sepihak (legitimasi). Masing-masing pihak berlomba-lomba untuk mengklaim bahwa merekalah yang paling berjasa di masa lalu. Ujung-ujungnya bisa ditebak, pemuasan libido kekuasaan yang jadi tujuan.

Sejarah yang terbakukan di negeri ini memang erat kaitannya dengan kekuasaan. Tradisi penulisan semacam ini diwarisi sejak zaman para pujangga istana menulis babad mengenai para raja. Menurut Sartono Kartodirdjo (2005), apologisme atau legitimisme hadir secara menonjol sekali dalam historiografi tradisional. Kesemuanya melacak asal mula wangsa yang memerintah ke sumber yang mistis atau legendaris. Tentu saja hal itu ditujukan untuk melegitimasi sebuah kekuasaan.

Dalam proses memperkuat legitimasi wangsa Mataram misalnya, diciptakanlah mitos Nyi Loro Kidul yang disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawi sebagai pasangan abadi para raja-raja Mataram. Padahal menurut Pramoedya Ananta Toer, mitos Nyi Loro Kidul diciptakan oleh para pujangga istana sebagai jalan mengalihkan kekecewaan rakyat karena Sultan Agung gagal total menguasai Laut Jawa. Tak mengapa Laut Jawa lepas, karena toh Mataram masih punya Laut Selatan, di mana bersemayam Nyi Loro Kidul. Kemudian tercipta pula mitos turunannya: tabu mengenakan baju hijau di wilayah pantai selatan. Pemberlakuan tabu itu ditujukan untuk memutus asosiasi orang (Mataram) pada seragam hijau pasukan kompeni Belanda.

Pada masa kolonial para sejarawan Belanda menulis sejarahnya sendiri. Mereka mencoba menjelaskan kehadiran bangsa kulit putih dari negeri atas-angin sebagai satu tugas suci untuk memakmurkan rakyat Hindia sekaligus membuatnya beradab. Salah satu buku yang melegitimasikan kehadiran kaum kolonialis di negeri ini adalah “Geschiedenis van Nederlandsch-Indie” karya FW. Stapel.

Uniknya, sementara kehadiran Belanda mengancam legitimasi kekuasaan Mataram, pujangga istana pun menyusun serat Baron Sakender yang melegitimasi kehadiran Murjangkung (Jan Pieterszoon Coen) sebagai kekuasaan alternatif setelah Mataram. Dalam serat Baron Sakender itu Murjangkung disebut-sebut sebagai anak lelaki yang lahir dari perkawinan Sukmul dengan Putri Sunda. Sehingga wajar jika Murjangkung menguasai dan berkedudukan di Batavia.

Kekuasaan kolonial kemudian runtuh. Republik Indonesia berdiri. Sejarah yang ditulis berdasarkan mitos tidak serta merta berhenti. Bahkan sejarah ditulis untuk memproduksi mitos. Muhammad Yamin menulis 6.000 Tahun Sang Merah-Putih yang menghasilkan mitos bahwa warna merah-putih telah dikenal sejak enam abad lampau. Ia lantas menulis pula bahwa negara Republik Indonesia adalah bentuk pemerintah ketiga di nusantara yang mewarisi kekuasaan Sriwijaya-Syailendra dan kemudian Singasari-Majapahit. Argumentasi itu mengingatkan kita pada mitos The Third Reich milik Adolf Hittler nun pada masa Nazi-Jerman dulu.

Mitos dan legitimisme yang bercampur-aduk di dalam penulisan sejarah tradisional ternyata masih terus saja diadopsi oleh para sejarawan. Di awal kekuasaan Orde Baru muncul nama Nugroho Notosusanto. Ia memimpin sejumlah proyek penulisan sejarah. Salah satu yang dihasilkannya adalah Sejarah Nasional Indonesia (SNI) jilid VI yang melegitimasikan Orde Baru sebagai penguasa pasca keruntuhan Orde Lama. Serangkaian penulisan sejarah dilakukan untuk melegitimasi kepemimpinan Soeharto: ia dinobatkan sebagai pencetus ide Serangan Oemoem 1 Maret 1949, ditampilkan sebagai penyelamat bangsa Indonesia dari bahaya komunisme dan perannya ditonjolkan di dalam berbagai film sejarah. Walhasil, sejarah pun hadir sebagai doktrin kekuasaan ketimbang ilmu pengetahuan.

Setelah Soeharto mundur dari kekuasaan, meminjam istilah sejarawan Australia Gerry van Klinken, penulisan sejarah di Indonesia memasuki tahap “Battle for History”. Pada periode ini setiap kelompok mengajukan versi sejarahnya masing-masing. Korban politik Orde Baru menulis sejarah berdasarkan pengalamannya; sebaliknya lawan politik mereka di masa lalu juga melakukan hal yang sama. Hersri Setiawan menulis memoarnya selama ditahan di Pulau Buru, sementara itu Taufik Ismail menulis Katastrofi Mendunia.

Jika membawa perdebatan versi sejarah ini ke dalam ranah akademis yang demokratis, tentu saja hal ini sebuah hal yang menguntungkan. Mengingat selama hampir 30 tahun di bawah kekuasaan Orde Baru, pelajaran sejarah diajarkan secara sepihak, berdasarkan monoversi yang bersandar pada klaim kebenaran penguasa. Di sana-sini memang terjadi kebingungan. Guru-guru kerepotan menghadapi pertanyaan kritis murid-muridnya menyoal peristiwa G.30.S 1965. Tapi tentu itu lebih baik daripada mencekoki mereka (murid sekolah) dengan versi tunggal yang kebenarannya – menurut kaidah ilmu sejarah – masih perlu dipertanyakan kembali.

Pendek kata, pelajaran sejarah di negeri ini, terlebih pasca penarikan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung RI, tidak pernah beranjak lebih baik. Karena lagi-lagi yang diajarkan adalah sejarah yang dipenuhi mitos dan legitimasi kekuasaan. Jadi apa bedanya Nyi Loro Kidul dengan Albert Einstein? Nah lho!

1 comment:

Dildaar Ahmad Dartono said...

Analisa sejarah yang bagus pak.

Gimana Messias ada kegiatan? Kapan ada acara?