Monday, March 10, 2008

Tragika Sejarah dan Libido Kekuasaan

Orang Belanda bilang, “In het heden ligt verleden, in het nu wat komen zal”, dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang kita juga mendapati apa yang akan datang.

Pada 2002 sebuah lembaga riset sejarah di Semarang menyelenggarakan penelitian mengenai kesadaran sejarah di kalangan pelajar SMA se-Kotamadya Semarang. Dalam riset itu ditanyakan apa yang pelajar ketahui tentang Bung Hatta selain sebagai proklamator. Hasil penelitian yang dilakukan selama dua minggu itu cukup mengejutkan: 80,1 persen pelajar SMA di Semarang tak kenal Bung Hatta kecuali sebagai proklamator. Titik.

Setelah ditelusuri lebih lanjut, kurangnya bahan bacaan sejarah menjadi faktor utama penyebab rendahnya pengetahuan pelajar SMA terhadap sejarah bangsanya sendiri. Kalau pun buku bacaan sejarah di beberapa sekolah banyak tersedia, buku itu cuma jadi penghias rak perpustakaan saja. Tak menarik minat baca pelajar.

Sejarah memang identik dengan segala soal yang sudah usang, uzur dan tak lagi layak untuk diperbincangkan. Apalagi kalau soal yang usang dan uzur itu mengenai hal yang sangat menyakitkan. Membuat perih untuk dikenang, sehingga ada baiknya untuk dibuang. Namun bagaimana halnya bila peristiwa perih itu menjadi bagian pengalaman dari sebuah bangsa. Apakah perlu dilupakan atau terus diingat seraya mengambil pelajaran dari peristiwa itu untuk tak diulangi pada kini dan yang akan datang? Sebuah pertanyaan klise yang selalu diulang tapi sulit untuk dijawab.

Sejarah seibarat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena dari KTP orang bisa tahu tentang jatidiri seseorang. Begitu pun melalui sejarah, sebuah bangsa bisa tahu identitasnya. Namun sulitnya, sejarah, yang selalu dilupakan oleh manusia itu, acapkali digunakan sebagai alat legitimasi kebenaran seraya memahami sejarah dengan cara pandang yang hitam-putih, jagoan-penjahat.

Hari-hari belakangan ini kita banyak memiliki contoh betapa kita, sebagai bangsa, alpa dalam memahami sejarah sebagai satu pelajaran yang bijak. Pada zaman Orde Baru, kebenaran dalam versi sejarah diklaim sepihak. Penguasa – seakan-akan – tak ingin ada pluralitas narasi sejarah yang mengandung beragam versi dengan klaim kebenaran yang berlainan pula.

Pembakaran buku-buku pelajaran sejarah di beberapa daerah, seperti di Malang pada 12 November kemarin, memerlihatkan betapa sejarah masih dipahami secara hitam dan putih. Seperti diketahui, ihwal pemusnahan buku sejarah itu adalah tak dicantumkannya kata PKI di balik nama peristiwa G.30.S. Buku-buku tersebut dianggap menyesatkan dan memutarbalikan fakta yang terjadi. Hal serupa ini pula yang dilakukan oleh rezim Hittler pada Mei 1938 di Berlin, Jerman. Mereka beramai-ramai membakar buku karya Sigmund Freud, Albert Einstein, Thomas Mann, Jack London, HG Wells serta berbagai penulis lain.

Kesadaran Sejarah

Tanpa kesadaran sejarah, sulit bagi para pendiri bangsa ini untuk melancarkan gerakan kemerdekaan. Soekarno membaca dan kemudian memahami kondisi bangsanya dari kisah penderitaan yang terekam dalam novel karya Max Havelaar. Sementara itu Nehru mencoba menemukan jatidirinya dengan mempelajari sejarah India yang kemudian ia tuliskan dalam buku Discovery of India. Sistem pendidikan kolonial tak memberikan kesempatan kepada masyarakat di koloninya untuk mengenal dan memahami dirinya sendiri. Penguasa kolonial menyebarkan politik alienasi karena dengan demikian masyarakat di bawah sistem kolonial kehilangan kepribadian dan identitasnya.

Penguasa kolonial sekuat tenaga untuk mendistribusikan pelajaran sejarah dengan cara pandang yang mereka miliki. Dalam pelajaran sejarah versi Belanda, Diponegoro bukan seorang pahlawan Jawa nan gagah berani melainkan tak lebih dari seorang pecundang saja. Sehingga atas dalil dan dengan cara apa pun akan dipergunakan oleh rezim kolonial untuk menangkapnya.

Tapi tidak demikian dengan mereka yang telah tersadarkan secara historis. Seorang Diponegoro tetap pahlawan dan penebar semangat perlawanan terhadap kesemenaan bangsa penjajah. Kesadaran ini pula yang lantas ditularkan oleh Soekarno melalui pidatonya, menggenapi bangkitnya kesadaran sejarah masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu.

Berbeda dengan motif pemerintah kolonial yang menguasai kebenaran sejarah demi kelanggengan kekuasaannya, para aktivis politik nasionalis justru menghadirkan wajah lain sejarah bangsanya demi meraih kedaulatan sendiri. Tuduhan menghasut rakyat dan menyebarkan kebencian kepada pemerintah pun mereka terima.

Versi yang kontra dengan sejarah produk kolonial itulah yang kemudian dijadikan mainstream dalam sejarah Indonesia pascakemerdekaan. Melalui kongres sejarawan pada 1957 ditetapkan bahwa penulisan sejarah harus menempatkan tokoh bangsa Indonesia sebagai faktor dalam sejarah, menegasi apa yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah kolonial. Dalam soal ini sejarah berfungsi sebagai fondasi nasionalisme Indonesia yang menstimulasi kesadaran kolektif masyarakat terhadap masa lalu bangsanya sendiri. Pada akhirnya mereka bisa mengenali sekaligus memiliki jati diri yang utuh sebagai bagian dari sebuah bangsa yang merdeka.

Destruksi besar-besaran dalam pengajaran sejarah di Indonesia terjadi pada masa Orde Baru. Sejarah tampil bagaikan doktrin yang tak bisa tidak diperdebatkan “kebenarannya”. Seperti jembatan yang menghubungkan satu tepian sungai ke tepian di seberangnya, Orde Baru mencoba mencari akar legalitas kekuasaannya melalui penulisan kisah masa lalunya sendiri. Pemutaran film Pengchianatan G.30.S/PKI karya Arifin C. Noer juga dilakukan sebagai bagian dari upaya mendominasi ingatan atas peristiwa yang menjadi tonggak awal berdirinya Orde Baru.

Disadari atau tidak, politik penguasaan ingatan melalui karya sejarah itu memengaruhi sikap masyarakat dalam soal mengingat sesuatu. Dengan kata lain masyarakat menderita amnesia yang secara langsung berpengaruh pula pada sikap mereka yang apatis terhadap produksi kesalahan di masa lalu dan reproduksi kesalahan itu di masa kini. Itu bisa terjadi karena masyarakat tak dibiarkan memiliki ingatan dan mengenali sejarahnya sendiri tanpa campur tangan penguasa. Jangankan untuk mengingat atau memertanyakan peristiwa penting yang telah berlalu puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu, peristiwa yang belum lama terjadi pun tak lagi mengisi ruang ingatan masyarakat. Sebut saja kasus kaburnya koruptor Edy Tanzil, tiada satu pun orang di negeri ini yang menanyakan di manakah gerangan kini dia berada.

Distribusi ingatan masa lalu melalui pelajaran sejarah pun dilakukan sepenuhnya atas persetujuan penguasa melalui lembaga-lembaga standarisasi pelajaran. Bahkan pada era Orde Baru, Kejaksaan Agung yang tak memiliki kompetensi dalam soal kurikulum dan keilmuan (sejarah) pun bisa memberangus buku sejarah tanpa harus mengetahui (atau menguasai) kaidah ilmu sejarah.

Sebuah cerita lucu – kalau tak boleh disebut konyol – dikisahkan oleh Joesoef Isak, pengelola penerbit Hasta Mitra. Pada suatu hari di era jaya Orde Baru, ia dipanggil oleh Kejaksaan Agung RI utuk diminta pertanggungjawabannya atas penerbitan novel Pramoedya Ananta Toer. “Novel (Tetralogi Buru) ini mengandung ajaran komunisme yang dilarang pemerintah,” kata sang jaksa kepada Isak. “Bagaimana Anda tahu?” tanya Isak. Jaksa itu pun segera membalas,“Ya, saya tahu, perasaan saya mengatakan demikian”.

Jaksa tadi, dalam beberapa hal, mirip dengan anak-anak SMA di Semarang yang tak mengenal Bung Hatta kecuali sebagai proklamator. Bedanya, pelajar SMA itu mengenal Bung Hatta sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia bukan berdasar pada perasaan mereka. Dengan demikian, agenda terpenting yang harus dilakukan kini adalah terus memberikan wawasan sejarah kepada masyarakat agar mereka tak jadi alien di tengah bangsanya sendiri. Tentu saja sejarah yang dipisahkan dari kepentingan politik dan libido kekuasaan.

No comments: