Monday, March 10, 2008

Burjo, Tauge, Kucai

Jika Anda hidup di Pulau Jawa sebelum abad 19 jangan pernah berharap bisa menyantap bubur kacang hijau. Bubur kacang hijau atau beken disebut burjo yang dibuat dari kacang hijau dicampur gula merah, santan dan ketan hitam memang belum hadir di nusantara pada abad itu. Karena kacang hijau (phaseolus radiatus) bahan baku utama makanan tersebut baru hadir dan dikenal luas di Jawa sekira pertengan abad 19.

Jan Hooyman, seorang tuan tanah di Pondok Gede yang mencatat budi daya varietas tanaman dalam Verhandeling over de tegenwoordigen staat van den landbouw in de ommelanden van Batavia (Pembahasan mengenai status pertanian di pinggiran Batavia) belum menyebut-nyebut kacau hijau sebagai tumbuhan yang mulai ditanam di Batavia. Sementara itu Isaac Titsingh, pemimpin loji di Deshima, Jepang sejak 1780 – 1785 menulis sebuah artikel di Verhandelingen terbitan 1781 tentang pengolahan kacang hijau di Jepang. Verhandeling adalah laporan pembahasan di mana Hooyman turut pula menulis di sana. Kemungkinan besar, merujuk pada interpretasi sejarawan Dennys Lombard, kacau hijau belum masuk ke Jawa pada tahun itu.

Namun demikian dalam dagregister (laporan) VOC bertanggal 31 Juli 1670 - 31 Juli 1675 ditemukan kata-kata groene cadjangh yang juga bisa berarti kacang hijau. Tapi budidaya kacang hijau baru menyebar luas setelah orang-orang Tionghoa membawa dan menanamnya di Pulau Jawa. Sir Thomas Raffles, Gubernur Jenderal Hindia di bawah Inggris dalam History of Java menyebutkan bahwa orang-orang China menanam kacang hijau yang dibawa dari Jepang ke Jawa.

Dari beberapa literatur klasik itu bisa dimungkinkan jika kacang hijau dibawa dari Jepang dan orang-orang Chinalah yang berjasa di dalam mengembangkannya di Jawa. Kacang hijau kemudian melahirkan beberapa produk makanan turunannya, sebut saja semisal bakpia dan bakpao. Dua kue yang kini populer di kalangan masyarakat Indonesia itu pun, dilihat dari namanya, sudah pasti diperkenalkan oleh bangsa China. Kacang hijau pada masa kolonial dijadikan ransum yang praktis bagi militer dan para pelaut di zaman kolonial.

Produk turunan lain dari jenis tumbuhan yang bernama kacang hijau adalah tauge atau dan kecambah. Jadi kalau Anda juga hidup pada zaman sebelum abad 19, jangan pernah berharap bisa menikmati sayur tauge atau mungkin tahu goreng isi tauge. Tapi tahu sendiri sudah ada sejak 902 Masehi (824 Saka), sebagaimana disebutkan dalam sebuah piagam berbahasa Jawa kuno dari Jawa Timur bahwa tahu telah dihidangkan sebagai makanan dalam sebuah pesta makan.

Selain tauge ada satu lagi jenis sayuran yang juga dibawa dan diperkenalkan oleh orang-orang China, kucai. Sama dengan tauge, kucai juga kerapkali dihidangkan dengan cara ditumis dicampur dengan tahu. Tauge goreng makanan (yang diklaim) khas Kota Bogor malah memertemukan sekaligus beberapa jenis kuliner China: mie, kucai, tauge dan tauco. Baik burjo, tauge atau pun kucai sama-sama baiknya buat kesehatan. Satu yang pasti makanan-makan itu bisa terjangkau oleh semua kalangan. Menyantap burjo di kalangan mahasiswa dilakukan demi penghematan. Selain karena murah harganya, juga lezat rasanya. Pada saat yang bersamaan muncul sindiran kepada mereka tentang hadirnya sebuah kelas sosial baru dalam masyarakat, yakni burjois: suatu kelas masyarakat yang hanya mampu menyantap burjo saja. Tentu saja kelas burjo berbeda dengan mahasiswa kelas borju(is) yang tak kuatir menyantap apa pun karena jatah kiriman lancar dan selalu berlebih.

1 comment:

radjimo Sastro Wijono said...

benar,

burjo memang enak.

bapaknya siraj,matari,zonnig
gangraflesia.blogspot.com