Bangsa Indonesia adalah bangsa pelupa. Penyakit lupa itu tidak terlepas dari politik ingatan yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru melalui rekayasa penulisan sejarah. Ingatan yang ditampilkan oleh Orde Baru seringkali bersifat selektif, parsial dan selalu mengacu pada pernyataan resmi pemerintah.
Semisal, pada masa Orde Baru, hari kesaktian Pancasila selalu dirayakan tanggal 1 Oktober setiap tahunnya. Sedangkan hari lahir Pancasila 1 Juni tak pernah diperingati. Soeharto juga digembar-gemborkan sebagai bapak pembangunan, kendati di balik suksesnya pembangunan (ekonomi), masih ada sebagian kelompok masyarakat yang tertindas hak-haknya.
Musuh Orde Baru adalah mereka yang selalu menentang pemerintahan. Kritik dianggap kerikil tajam di jalanan yang mutlak harus dibersihkan demi tinggal landas pembangunan menuju Indonesia yang adil dan makmur. Sehingga mereka yang berpotensi untuk melawan, disingkirkan sesegera mungkin dan takkan dibiarkan bernafas bebas di Bumi Nusantara ini.
Banyak putra-putri terbaik Indonesia yang hingga kini memilih untuk tinggal di luar negeri karena mereka tak diberi tempat di Indonesia. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa ikatan dinas (Mahid), wartawan, dan mantan diplomat Indonesia di era pemerintahan Soekarno. Mereka tak bisa pulang kembali ke tanah air karena perbedaan cara pandang berpolitik dengan pemerintah Orde Baru.
Salah satu dari mereka adalah Soeraedi Tahsin Sandjadirdja (1922-2003) atau dikenal sebagai S Tahsin. Tahsin adalah wartawan kawakan kelahiran Pandeglang, Banten, 6 Juli 1922 dan meninggal di Amsterdam, Belanda, pada 25 Februari 2003. Tahsin bukanlah nama asing dalam dunia kewartawanan Indonesia. Pada zamannya ia seangkatan dengan Djawoto (Antara), Djamal Ali (Pikiran Rakyat), Darsyaf Rachman (Mimbar Indonesia); B.M. Diah (Merdeka), Rosihan Anwar (Pedoman), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), dan Moh. Said (Waspada).
Pada tahun 1945, ketika revolusi fisik dan usaha mempertahankan kemerdekaan berlangsung, ia bersama-sama Roesli Amran dan beberapa kawannya yang lain mendirikan koran harian Berita Indonesia. Putra Banten ini juga tercatat sebagai pendiri Akademi Jurnalistik Dr Rivai. Kampusnya bukan sebuah gedung besar, tapi cukup menempati ruangan beranda rumahnya di jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Tahsin juga berperan di dalam pendirian kantor berita Indonesian National Presse Service (INPS)
Selain itu, Tahsin adalah wartawan senior yang mendirikan sekaligus memimpin harian Bintang Timur. Sebelum tahun 1965, Bintang Timur adalah koran yang terkemuka di Indonesia dan juga tempat Pramoedya Ananta Toer, Hasyim Rahman dan Tom Anwar bekerja sebagai wartawan. Sebagai juruwarta kawakan, Tahsin banyak berperan di dalam mendirikan Persatuan Wartawan Asia Afrika (PWAA).
Peran aktif itu pula yang membawanya diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai duta besar berkuasa penuh untuk Mali yang berkedudukan di Bamako pada 1965. Belum beberapa menduduki jabatan sebagai duta besar, bulan Oktober 1965 terjadi pergolakan politik di Indonesia. Presiden Soekarno digeser secara perlahan. Kekuasaan pun beralih ke tangan Jenderal Soeharto.
Melihat perubahan politik yang drastis dan penangkapan-penangkapan yang membabibuta, Tahsin, disertai dengan istri dan anak-anaknya pindah menuju Paris, Prancis dan menetap di sana untuk beberapa lama sebelum akhirnya pindah ke China. Di negeri tirai bambu itu Tahsin dan keluarga menetap selama 10 tahun. Dari China mereka kemudian pindah ke Negeri Belanda, di mana pemerintah Belanda memberikan suaka politik pada Tahsin.
Semasa masih hidup, Tahsin dikenal sebagai orang yang berwatak keras di dalam memertahankan prinsipnya. Darah Banten yang mengalir dalam diri Tahsin kemungkinan memengaruhi sifat keras kepala dan non kompromisnya itu. Keharusan hidup jauh dari tanah air tak berarti putus harap bagi Tahsin untuk membaktikan diri pada Indonesia. Di negeri kincir angin itu Tahsin mendirikan penerbit dan toko buku “Manus Amici” bersama dengan Els, istrinya dan Ibrahim Isa, mantan wartawan yang juga aktif di dalam PWAA.
Penerbit itu berjasa di dalam menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer di luar negeri. Keadaan fisik yang selalu sakit-sakitan, akhirnya membuat Tahsin tak lagi mampu menjalankan aktivitasnya. Ia meninggal pada 23 Februari 2003 di negeri Belanda, sebelum keinginannya untuk pulang ke Banten terpenuhi. Tahsin meninggalkan seorang istri dan empat anak lelaki. Ketika berada di Belanda beberapa waktu lalu, saya sempat menyambangi Tante Els, demikian saya memanggil istri S Tahsin itu. Di kediamannya yang terletak di tenggara Amsterdam, saya mendengar banyak cerita dari Tante Els, bukan tentang Belanda, tapi tentang Banten, kampung halaman yang selalu ia rindukan.
Di rumahnya, saya dipersilakan menyantap makan malam, bukan roti Belanda, tapi gulai kambing khas Indonesia. Kenapa gulai, karena tidak memungkinkan bagi Tante Els untuk memasak rabeg, makanan khas masyarakat Banten. Paling tidak itu yang dia katakan pada saya.
Soeraedi Tahsin Sandjadirdja adalah satu contoh tentang bagaimana seorang wartawan terkemuka yang berjasa bagi bangsanya namun harus hidup sebagai buangan politik. Indonesia memang sebuah negeri yang penuh dengan ironi. Seperti kata Koes Ploes, “mudah-mudahan ini hanya mimpi”dan tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang. Semoga.
Saturday, April 28, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)